Sejak pertama kali terdeteksi pada Desember 2020, virus COVID-19 varian delta telah menjadi salah satu variants of concern. COVID-19 varian delta ini menimbulkan pertanyaan mengenai proteksi vaksin COVID-19 yang beredar saat ini terhadap varian delta.
Sampai saat ini, virus SARS-CoV-2 telah mengalami berbagai mutasi dan menghasilkan lebih dari 4,000 varian yang terdeteksi di seluruh dunia. Variasi genom pada virus yang telah bermutasi menyebabkan perubahan karakteristik fenotip virus terutama pada aspek kemampuan transmisi virus, derajat manifestasi klinis yang ditimbulkan, serta respon terhadap vaksinasi dan regimen terapi standar. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam menentukan strategi penatalaksanaan dan pencegahan dari infeksi COVID-19.[1-3]
Virus SARS-CoV-2 varian B.1.617.2 yang lebih dikenal dengan varian Delta pertama kali ditemukan di India dan telah menyebar dengan cepat ke 96 negara di dunia distribusi terbanyak di negara Asia. Tidak hanya mendominasi di India dan Inggris, varian delta juga termasuk kedalam salah satu variants of concern atau varian yang diwaspadai oleh WHO. Memahami varian Delta atau mutasi yang terjadi pada varian delta menyebabkan virus ini mampu menular lebih cepat dan menyebabkan manifestasi klinis yang lebih berat dibanding varian-varian sebelumnya, serta memiliki kemampuan untuk menghindar dari respon imun.[3-7]
Program vaksinasi adalah salah salah satu upaya penting untuk memutus rantai penularan COVID-19. Vaksin COVID-19 dikembangkan berdasarkan pengenalan protein spike sebagai faktor virulensi utama virus SARS-CoV-2. Mayoritas vaksin yang ada saat ini menggunakan genom virus SARS-CoV-2 yang diisolasi pada fase awal pandemi sebagai prototipe pengembangan vaksin. Berbagai jenis dan tipe vaksin COVID-19 yang sudah melewati uji klinis kini telah digunakan di seluruh dunia. Namun, penelitian masih terus berlanjut untuk mempelajari apakah vaksin yang tersedia saat ini cukup efektif terhadap virus SARS-CoV-2 yang telah bermutasi, khususnya varian yang termasuk dalam variants of concern.[3,8,9]
Mutasi Pada SARS-CoV-2 Varian Delta
Virus SARS-CoV-2 merupakan virus RNA untai tunggal positif yang memiliki stabilitas rendah sehingga sangat rentan terhadap mutasi. Struktur virus SARS-CoV-2 tersusun dari 2 jenis protein, yaitu structural proteins (SP) dan non-structural proteins (NSP). Structural proteins terdiri 4 jenis gen, yaitu gen E (envelope), S (spike), dan N (nucleocapsid). Mayoritas varian yang termasuk kedalam variants of concern mengalami mutasi pada protein spike, khususnya subunit S1.[3,7]
Mutasi Protein Spike
Protein spike terletak pada lokasi pengikatan antigen yang merupakan lokasi pengenalan antibodi penetral (neutralizing antibody), yaitu antibodi yang berfungsi untuk menetralkan atau membunuh virus. Mutasi pada lokasi tersebut sangat berdampak pada virulensi virus, juga kemampuan transmisi dan reaksinya terhadap respon imun manusia. Protein spike yang terdiri dari subunit S1 dan S2 memiliki peranan penting dalam proses masuknya virus ke dalam tubuh manusia melalui reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2). Receptor binding domain (RBD) merupakan bagian dari subunit S1 yang secara langsung berikatan dengan reseptor ACE2 dan merupakan target utama dalam pengembangan antibodi penetral terhadap virus SARS-CoV-2.[3,7]
Virus SARS-CoV-2 varian delta mengalami 3 jenis mutasi pada unit RBD, yaitu mutasi E484Q dimana asam glutamate E disubstitusi oleh glutamine Q, mutasi L452R dimana leusin L digantikan oleh arginin R, dan mutasi T478K dimana treonin T digantikan oleh lisin K. Mutasi-mutasi tersebut secara signifikan meningkatkan afinitas RBD terhadap reseptor ACE2, namun secara bersamaan menurunkan afinitasnya terhadap antibodi penetral sehingga meningkatkan kemampuan transmisi dan virus SARS-CoV-2.[3]
Selain mutasi pada unit RBD, mutasi D614G merupakan mutasi yang terjadi pada 99% varian virus SARS-CoV-2. Berbeda dengan mutasi pada RBD, mutasi ini meningkatkan transmisi dan virulensi virus melalui peningkatan jumlah serta integritas protein spike. Mutasi ini juga meningkatkan stabilitas virus sehingga menghasilkan titer virus yang lebih tinggi pada saluran napas atas sekaligus lebih resisten terhadap agen proteolitik. Mutasi lain diluar unit RBD adalah delesi pada unit recurrent deletion regions (RDR) yang terletak pada ujung N subunit S1. Delesi pada RDR meningkatkan kemampuan virus untuk menghindar dari respon imun tubuh manusia termasuk antibodi penetral yang dihasilkan dari riwayat infeksi sebelumnya maupun vaksin.[3,10]
Pengaruh Mutasi SARS-CoV-2 Varian Delta Terhadap Efikasi Vaksin
Seluruh vaksin yang tersedia saat ini menggunakan protein spike sebagai target utama karena protein tersebut merupakan faktor virulensi utama pada permukaan virus SARS-CoV-2. Pengembangan vaksin mengacu pada genom virus SARS-CoV-2 yang diisolasi pada masa awal pandemi, yaitu varian yang belum mengalami mutasi dan mungkin memiliki genom berbeda dengan varian yang ada saat ini.[3,10]
Jenis-jenis Vaksin yang Tersedia Saat ini
Saat ini terdapat 3 kelompok vaksin yang sudah melalui uji klinis dan digunakan di seluruh dunia. Kelompok vaksin yang pertama adalah vaksin berbasis mRNA yang diproduksi oleh Pfizer dan Moderna. Vaksin mRNA mengandung mRNA SARS-CoV-2 untuk menghasilkan spike protein. Spike protein kemudian dikenali oleh Sel B dan Sel T untuk mengaktifkan sistem humoral dan adaptif.[1,3]
Kelompok kedua adalah vaksin yang menggunakan adenovirus, seperti vaksin AstraZeneca dan vaksin Janssen. Rekombinan adenovirus akan mengekspresikan protein spike yang kemudian menstimulasi antibodi penetral (neutralising antibody) dan respon imun seluler.
Ketiga adalah vaksin yang menggunakan virus SARS-CoV-2 bentuk inaktif seperti vaksin Sinopharm dan CoronaVac/Sinovac. Vaksin dengan virus inaktif ini akan merangsang respon imun yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada protein spike, tapi juga pada protein virus SARS-CoV-2 lainnya seperti protein E, N, dan juga protein pada matriks.[1,3,8]
Vaksin Pfizer dan AstraZeneca Melindungi dari Varian Delta Walaupun Memiliki Penurunan Efektivitas
Sebuah studi di Glasgow, Inggris membandingkan kemampuan netralisasi virus SARS-CoV-2 dan efektivitas vaksin antara varian delta dengan varian Wuhan-Hu-1 yang merupakan prototipe pengembangan vaksin yang beredar saat ini.
Sampel penelitian diambil dari serum 156 resipien vaksin jenis Pfizer atau AstraZeneca. Secara umum, kemampuan netralisasi terhadap varian delta ditemukan lebih rendah 5,11% bila dibandingkan dengan netralisasi terhadap varian Wuhan-Hu-1 pada individu yang mendapat vaksin tanpa melihat jenis vaksin.
Terdapat perbedaan jumlah penurunan pada jenis vaksin Pfizer dan AstraZeneca. Pada subjek yang mendapat 2 dosis vaksin Pfizer, ditemukan penurunan netralisasi dari varian Wuhan-Hu-1 terhadap varian delta sebesar 11,3 kali lipat. Sementara, pada pasien yang mendapat 2 dosis vaksin AstraZeneca, angka penurunan ditemukan lebih rendah yaitu 4,01 kali. Walaupun menimbulkan respon netralisasi yang lebih rendah, pemberian 2 dosis vaksin Pfizer menghasilkan jumlah rerata titer antibodi yang lebih tinggi dibanding AstraZeneca. Perbedaan kemampuan netralisasi yang dihasilkan oleh kedua jenis vaksin dapat dipengaruhi oleh distribusi usia subjek penelitian, dimana pada studi ini kelompok AstraZeneca memiliki rerata usia 15 tahun lebih tua dibanding kelompok Pfizer.[11]
Penelitian di Orleans juga menunjukkan penurunan titer antibodi penetral pada resipien vaksin Pfizer dan AstraZeneca terhadap varian delta. Terdapat penurunan sebesar 3 kali lipat pada resipien vaksin Pfizer dan 5 kali lipat pada resipien vaksin AstraZeneca. Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa dosis vaksin sangat menentukan efektivitas vaksin, dimana dosis tunggal vaksin Pfizer dan AstraZeneca kurang efektif untuk netralisasi varian delta. Efektivitas netralisasi terhadap varian delta meningkat sampai 60% dan 88% setelah pemberian dosis kedua pada resipien vaksin AstraZeneca dan Pfizer secara berurutan.[10]
Studi lain di Inggris juga mengungkapkan hal serupa, dimana vaksin Pfizer dan AstraZeneca masih tetap efektif terhadap varian delta meskipun dengan tingkat proteksi yang lebih rendah. Efektivitas vaksinasi dalam hal pencegahan hospitalisasi pada infeksi COVID-19 varian delta adalah 96% setelah 2 dosis vaksin Pfizer dan 92% setelah vaksin AstraZeneca.[2]
Studi lain di California, Amerika membandingkan efek netralisasi vaksin terhadap virus SARS-CoV-2 varian delta dengan varian WA1/2020 yang dinilai berdasarkan Geometric Mean Titer (GMT). Baik vaksin Pfizer maupun Moderna keduanya menimbulkan efek netralisasi yang lebih rendah pada varian delta. Pada resipien vaksin Pfizer, terdapat penurunan GMT dari 776 (95% CI; 571-1056) pada varian WA1/2020 menjadi 235 (95% CI; 164-338) pada varian delta. Sementara, untuk resipien vaksin Moderna terdapat penurunan GMT dari 1062 (95% CI; 773-1460) menjadi 350 (95% CI; 229-535). Meskipun mengalami penurunan GMT, pada seluruh serum resipien masih terdeteksi adanya aktivitas penetralan yang terdeteksi di atas batas ambang setelah mendapat 2 dosis vaksin.[7]
Saat ini, belum ada studi dari Tiongkok yang dipublikasikan mengenai efektivitas vaksin terhadap COVID-19 (Sinovac maupun Sinopharm). Sebuah studi (pre-publishing) dari Thailand melaporkan bahwa serum dari pasien yang divaksinasi dengan Sinovac secara signifikan memiliki proteksi terhadap 3 varian variant of concern dibandingkan wild type. Sedangkan varian delta memiliki ketahanan terhadap antibodi dibandingkan alfa dan beta.[12]
Kesimpulan
Variants of concern, khususnya varian delta memiliki virulensi serta tingkat transmisi yang lebih tinggi dibanding varian terdahulu pada awal masa pandemi. Vaksinasi yang merupakan salah satu strategi pengendalian rantai penularan COVID-19 telah dilakukan di berbagai negara. Namun, adanya mutasi virus SARS-CoV-2 membuat jumlah kasus terus meningkat meskipun vaksin telah dilaksanakan. Virus SARS-CoV-2 varian delta telah mengalami mutasi pada protein spike yang merupakan lokasi pengenalan antibodi penetral yang dihasilkan oleh vaksin. Mutasi tersebut menyebabkan penurunan pada efek netralisasi virus sehingga virus dapat menghindar dari respon imun tubuh manusia.
Mayoritas vaksin mRNA COVID-19 yang beredar saat ini (Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna) menunjukkan penurunan efek netralisasi terhadap varian delta bila dibandingkan dengan varian yang terdahulu. Tidak ada bukti yang cukup untuk menunjukkan efikasi vaksin Sinovac (CoronaVac) dan Sinopham terhadap varian delta. Namun, berdasarkan studi awal menunjukan pengurangan efektivitas dalam proteksi terhadap varian delta.