Pendahuluan Flat Foot
Flat foot atau pes planus, atau dalam bahasa awam disebut kaki rata, adalah kondisi deformitas yang ditandai dengan tidak ada atau penurunan dari arkus longitudinal medial kaki, yang menyebabkan kontak antara lengkungan telapak kaki dengan lantai. Faktor yang meningkatkan risiko flat foot adalah kelebihan berat badan, inflamasi sendi, serta berbagai kelainan ligamen kongenital yang terkait dengan sindrom Down dan sindrom Marfan.[1]
Penyebab dari flat foot dapat dibagi menjadi etiologi kongenital dan didapat. Flat foot kongenital terjadi pada anak-anak, yang mana pada usia 10 tahun mayoritas menghilang sendiri sebagai akibat dari perkembangan arkus longitudinal medial dan merupakan variasi anatomi normal yang tidak memerlukan terapi. Sementara itu, flat foot didapat terjadi pada dewasa, yang disebabkan oleh disfungsi pada tendon posterior tibia.[1,2]
Pasien flat foot didapat bisa mengeluhkan nyeri pada area medial kaki, kelelahan setelah aktivitas, dan kesulitan berjalan. Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi untuk melihat apakah lengkung longitudinal medial menurun saat berdiri, serta uji toe raise untuk menilai fleksibilitas kaki. Palpasi dilakukan untuk mendeteksi nyeri sepanjang tendon posterior tibia.
Rontgen kaki akan sangat bermanfaat untuk menilai berbagai sudut kelengkungan kaki. Rontgen juga bisa menilai adanya trauma, deformitas, ataupun artritis yang mungkin menjadi penyebab flat foot. MRI atau CT scan dapat dilakukan jika dicurigai adanya patologi tarsal coalition atau kelainan jaringan lunak, meskipun tidak secara rutin diperlukan.[1-4]
Penatalaksanaan flat foot dibagi menjadi pendekatan non-bedah dan intervensi bedah. Beberapa tindakan non-bedah yang dapat dilakukan adalah penggunaan ortosis, modifikasi aktivitas, dan penggunaan obat pereda nyeri. Pada anak dengan flat foot, penggunaan ortosis tidak direkomendasikan karena bukti terkait manfaatnya masih belum jelas. Intervensi bedah dilakukan apabila nyeri dan keluhan tetap persisten setelah melakukan pendekatan non-bedah.[1-3]