Dalam praktik klinis sehari-hari, antibiotik topikal umum diberikan pasca biopsi kulit. Walau demikian, penggunannya dinilai tidak berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada, melainkan karena kebiasaan dan pengalaman klinisi.[1, 2]
Penggunaan antibiotik topikal bertujuan untuk mengurangi risiko infeksi pada situs pembedahan kulit (dermatological surgical site infection/DSSI). Namun, perlu diingat bahwa penggunaan antibiotik topikal yang berlebihan dapat meningkatkan resistensi antibiotik, dermatitis kontak alergi, mengganggu proses penyembuhan luka, reaksi anafilaksis, serta meningkatkan biaya medis.[1–4]
Antibiotik Topikal yang Umum Digunakan
Antibiotik topikal yang saat ini banyak digunakan untuk pencegahan infeksi kulit superfisial bervariasi, antara lain basitrasin, mupirosin, dan polimiksin B.
Basitrasin
Basitrasin merupakan antibiotik topikal yang sering dipakai untuk infeksi kulit yang akut dan terlokalisir. Basitrasin berikatan dengan ion metal, seperti mangan, tembangan, atau zinc. Kompleks tersebut akan mengikat C55-isoprenyl pyrophosphate, dan menyebabkan hambatan sintesis dinding sel bakteri.[3,5]
Mupirosin
Mupirosin diindikasikan untuk infeksi kulit akibat kokus gram positif, misalnya Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Mupirocin berikatan dengan enzim isoleucyl transfer-RNA (tRNA) synthetase, sehingga menghambat sintesis protein dan RNA bakteri.[3,6]
Polimiksin B
Polimiksin B bekerja dengan mengganggu membran sel bakteri gram negatif, berikatan dan menetralisir lipopolisakarida sehingga mencegah reaksi terhadap endotoksin, serta menghambat respirasi sel bakteri gram negatif. Polimiksin B efektif terhadap bakteri gram negatif, seperti Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter aerogenes dan Klebsiella.[3,7]
Penggunaan Antibiotik Topikal Pasca Biopsi Kulit
Antibiotik topikal sebaiknya tidak digunakan pada biopsi kulit, karena biopsi kulit merupakan luka pembedahan yang bersih tanpa kontaminasi dan menggunakan prosedur aseptik, serta memiliki risiko infeksi sekunder yang sangat rendah.[4,8,9]
Metaanalisis oleh Saco, et al. pada tahun 2015 menilai efikasi antibiotik topikal untuk mencegah infeksi luka setelah tindakan dermatologi, termasuk biopsi kulit. Hasil analisis menunjukkan tidak didapatkan perbedaan signifikan pada kejadian infeksi luka setelah tindakan antara kelompok yang menerima antibiotik topikal dengan petrolatum atau parafin.[10]
Metaanalisis tersebut mendapatkan baik antibiotik maupun petrolatum memiliki efikasi yang sama untuk mencegah infeksi luka setelah tindakan dermatologi. Pada luka yang berisiko mengalami infeksi, petrolatum lebih direkomendasikan untuk digunakan dibandingkan antibiotik.[10]
Tinjauan sistematis Cochrane pada tahun 2016 menilai penggunaan antibiotik topikal untuk menurunkan insidensi SSI, dan apakah penggunaan antibiotik meningkatkan efek samping yang tidak diinginkan. Tinjauan dilakukan terhadap studi-studi dengan sampel luka kelas 1 atau clean, luka kelas 2 atau clean contaminated, dan kelas 3 atau contaminated.[11]
Hasil tinjauan sistematis menemukan bahwa penggunaan antibiotik topikal pada luka dengan penyembuhan primer akibat tindakan pembedahan dermatologis dapat menurunkan risiko SSI dibandingkan tanpa antibiotik atau dengan antiseptik topikal. Namun, belum dapat ditarik kesimpulan mengenai efek samping tidak diinginkan akibat antibiotik profilaksis karena sampel studi yang terlalu kecil.[11]
Pada luka kelas 1, termasuk biopsi kulit, tingkat infeksi luka sangat rendah, yaitu hanya 1–4%. Oleh sebab itu, kekuatan rekomendasi klinis penggunaan antibiotik profilaksis untuk luka kelas 1 bersifat lemah.[11]
Studi retrospektif oleh Akiyama, et al. tahun 2022 menilai manfaat antibiotik setelah biopsi kulit untuk menurunkan surgical site infections (SSI). Didapatkan dari 75 kasus biopsi kulit dengan metode punch biopsy, tidak ditemukan kasus SSI sama sekali. Berdasarkan studi tersebut, didapatkan insidensi SSI setelah punch biopsy rendah, meskipun tidak diberikan antibiotik profilaksis. Hal ini menandakan penggunaan antibiotik profilaksis tidak diperlukan pada biopsi kulit.[12]
Pemberian antibiotik profilaksis pada tindakan dermatologi lebih direkomendasikan pada pasien dengan penyakit jantung berisiko tinggi, diabetes mellitus, dan pasien pengguna prosthesis yang berisiko mengalami infeksi pada sendi-sendi.[10,12]
Untuk mencegah SSI, antibiotik dapat diindikasikan untuk pembedahan pada ekstremitas bawah dan inguinal, reseksi pada bibir dan telinga, flap nasal, skin graft, dan pada pasien dengan penyakit inflamasi kulit yang ekstensif.[10,12]
Risiko Penggunaan Antibiotik Topikal
Pada praktek klinis, antibiotik profilaksis masih diresepkan secara berlebihan atau secara tidak tepat pada prosedur dermatologis. Penggunaan antibiotik topikal sebetulnya hanya direkomendasikan pada keadaan berisiko tinggi. Penggunaan antibiotik topikal yang berlebihan malah dapat meningkatkan resistensi antibiotik, penyembuhan luka yang terganggu, reaksi anafilaksis, dan dermatitis kontak alergi.[4,11]
Kesimpulan
Antibiotik topikal sebaiknya tidak digunakan pada biopsi kulit, karena dinilai tidak bermanfaat dalam menurunkan risiko infeksi, mengingat luka biopsi adalah luka kelas I yang sejak awal memiliki risiko infeksi sangat rendah. Penggunaan antibiotik sebaiknya hanya pada kasus-kasus berisiko tinggi.
Perawatan luka yang sederhana dengan agen topikal non-antibiotik, misalnya petrolatum, dan menjaga kelembapan area luka sudah terbukti cukup untuk mendukung penyembuhan luka dengan efektif. Peresepan antibiotik seharusnya dilakukan berdasarkan bukti klinis (evidence based).
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra