Asam traneksamat atau tranexamic acid kadang diberikan untuk mencegah perdarahan postpartum setelah sectio caesarea. Perdarahan postpartum merupakan salah satu komplikasi obstetri yang paling sering terjadi dan menyumbang hingga 12% kasus dari semua kelahiran. Kondisi ini menjadi penyebab utama kematian maternal, terutama di negara bersumber daya terbatas di mana 99% kematian akibat perdarahan postpartum terjadi.[1,2]
Selain risiko kematian, perdarahan postpartum (postpartum hemorrhage atau PPH) juga sering memerlukan perawatan darurat yang mahal, rawat inap berkepanjangan, dan dalam beberapa kasus, histerektomi untuk mengendalikan perdarahan. Hal ini dapat berdampak psikologis serius, termasuk memengaruhi kemampuan ibu untuk menyusui dan menjalin ikatan dengan bayinya.[1,2]
Sekilas tentang Definisi dan Terapi Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum primer umumnya didefinisikan sebagai kehilangan darah >500 mL setelah persalinan pervaginam atau >1000 mL setelah persalinan SC dalam 24 jam pertama. Namun, definisi ini menjadi tantangan pada pasien dengan kondisi seperti anemia atau penyakit kardiovaskular yang lebih rentan terhadap efek kehilangan darah yang kecil sekalipun.[3]
Pendekatan sistematis yang direkomendasikan oleh WHO mencakup pengukuran kehilangan darah secara kuantitatif dan pemantauan status hemodinamik wanita untuk deteksi dini PPH. Penanganan awal meliputi pemberian uterotonik, asam traneksamat, dan respons spesifik terhadap penyebab perdarahan.[3]
Asam traneksamat merupakan obat antifibrinolitik yang menghambat interaksi plasmin dengan fibrin, sehingga mencegah degradasi bekuan darah. Awalnya obat ini dipakai untuk mengatasi perdarahan menstruasi berat dan prosedur bedah. Namun, obat ini juga dilaporkan dapat bermanfaat untuk mengurangi kematian akibat perdarahan berat pada kasus trauma dan persalinan.
Studi besar seperti CRASH-2 dan WOMAN Trial menunjukkan bahwa pemberian asam traneksamat dalam 3 jam pertama setelah onset perdarahan dapat menurunkan risiko kematian akibat perdarahan. Namun, efektivitasnya sebagai profilaksis untuk mencegah PPH setelah SC masih dipertanyakan.[4,5]
Dengan naiknya angka persalinan SC global, termasuk di Indonesia, risiko perdarahan setelah SC dan kontribusinya terhadap mortalitas maternal juga meningkat. Saat ini, penggunaan uterotonik seperti oksitosin menjadi fokus utama dalam pencegahan PPH, tetapi angka kejadian PPH tetap tinggi. Oleh karena itu, diperlukan intervensi tambahan yang efektif. Beberapa studi klinis akhirnya mempelajari efikasi dan keamanan asam traneksamat sebagai profilaksis perdarahan setelah SC.[6]
Efektivitas Asam Traneksamat Mencegah Perdarahan Setelah Sectio Caesarea
Asam traneksamat bekerja dengan cara menghambat fibrinolisis melalui blokade pada interaksi plasmin dan fibrin. Hal ini mencegah degradasi bekuan darah dan membantu mempertahankan hemostasis.[7]
Dalam konteks obstetri, asam traneksamat telah digunakan untuk profilaksis maupun terapeutik untuk mengurangi kehilangan darah. Studi seperti CRASH-2 dan WOMAN Trial telah menunjukkan manfaat asam traneksamat secara terapeutik. Namun, efikasi dan keamanannya sebagai profilaksis pada persalinan SC masih diperdebatkan.[7]
Suatu tinjauan Cochrane (2024) menganalisis 6 uji klinis acak terkontrol dengan total 15.981 pasien. Tinjauan ini mengevaluasi efikasi asam traneksamat sebagai profilaksis pada persalinan SC. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam kejadian perdarahan dengan estimasi kehilangan darah ≥1000 mL antara kelompok asam traneksamat dan plasebo (RR 0.94, 95% CI 0.79–1.11, bukti berkualitas tinggi).[8]
Tampak ada sedikit penurunan kejadian perdarahan dengan kalkulasi (bukan estimasi) kehilangan darah ≥1000 mL pada kelompok asam traneksamat dibandingkan plasebo (RR 0.83, 95% CI 0.76–0.92, bukti berkualitas sedang).[8]
Namun, pemberian asam traneksamat hanya memberikan sedikit atau tidak ada sama sekali perubahan dalam hal kebutuhan transfusi darah (RR 0.88, 95% CI 0.72–1.08, bukti berkualitas sedang). Pemberian asam traneksamat juga tidak memberi perubahan signifikan dalam hal kebutuhan tindakan bedah tambahan untuk mengendalikan PPH (RR 1.02, 95% CI 0.86–1.22, bukti berkualitas tinggi).[8]
Sebagian besar studi melibatkan wanita dengan risiko rendah PPH, sehingga hasilnya tidak bisa digeneralisasi untuk populasi dengan risiko tinggi. Pada populasi risiko tinggi, seperti pasien anemia atau beriwayat PPH sebelumnya, asam traneksamat mungkin menunjukkan hasil yang berbeda, tetapi bukti untuk hal ini masih terbatas.[8]
Profil Keamanan Asam Traneksamat
Salah satu kekhawatiran utama penggunaan asam traneksamat adalah peningkatan risiko tromboemboli, termasuk deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru. Namun, tinjauan terhadap beberapa studi klinis menunjukkan bahwa bukti mengenai risiko tromboemboli masih tidak konsisten dan masih berkualitas sangat rendah, sehingga belum dapat ditegakkan secara pasti.[8]
Efek asam traneksamat pada mortalitas maternal juga belum dapat dipastikan, karena masih tidak cukupnya bukti. Dalam hal keamanan untuk bayi yang baru lahir dan bayi yang menyusui, bukti klinis juga masih terbatas. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi dampak asam traneksamat pada neonatus, khususnya dalam konteks paparan in utero.[8,9]
Kesimpulan
Asam traneksamat hanya memberikan sedikit atau bahkan tidak ada manfaat dalam pencegahan perdarahan berat setelah SC pada populasi risiko rendah. Oleh sebab itu, pemberian asam traneksamat sebagai profilaksis perdarahan postpartum pada pasien SC secara universal belum bisa direkomendasikan. Studi lebih lanjut masih diperlukan dan pemberian bersifat selektif, sesuai dengan tingkat risiko perdarahan setiap pasien.
Pada populasi pasien yang berisiko rendah perdarahan postpartum setelah SC, terapi profilaksis dengan asam traneksamat juga tidak mengurangi kebutuhan transfusi darah dan kebutuhan tindakan bedah tambahan untuk mengendalikan PPH secara bermakna.
Bukti mengenai keamanan asam traneksamat, khususnya terkait risiko tromboemboli dan dampak pada neonatus, masih sangat tidak pasti. Penggunaan asam traneksamat sebaiknya didasarkan pada penilaian risiko individual dan pertimbangan yang matang berdasarkan temuan operasi.