Hasil studi terbaru menunjukkan bahwa azithromycin tidak bermanfaat sebagai terapi coronavirus disease 2019 (COVID-19) derajat ringan dan sedang. Temuan ini sejalan dengan hasil studi yang telah ada sebelumnya yang melaporkan bahwa azithromycin juga tidak bermanfaat bagi pasien COVID-19 derajat berat.
Azithromycin adalah salah satu antibiotik golongan makrolida sintetis yang memiliki efek antibakteri, antiinflamasi, dan antiviral. Beberapa studi in vitro melaporkan bahwa obat ini dapat beraksi melawan infeksi virus tertentu. Namun, hasil uji klinis pada manusia yang mendukung manfaat ini sebenarnya masih amat terbatas.
Hasil Studi In Vitro tentang Mekanisme Kerja Azithromycin
Pada penelitian in vitro, azithromycin terlihat memiliki efek antiviral yang luas terhadap rhinovirus, virus Zika, enterovirus, virus Ebola, SARS-CoV, dan SARS-CoV-2. Obat ini bekerja dengan cara menurunkan replikasi virus. Selain itu, obat ini tergolong murah, aman, dan mudah didapatkan, sehingga obat ini sempat dinyatakan sebagai kandidat terapi COVID-19 pada awal tahun 2020.[1,2]
Meskipun efek antiviral dari azithromycin menurun bila sudah terjadi penyakit dengan gejala berat setelah viremia, efek antiinflamasi azithromycin dilaporkan dapat menekan ekspresi limfosit perforin dan berbagai sitokin proinflamasi, seperti interleukin (IL-1β), IL-6, IL-8, IL-18, dan tumor necrosis factor (TNF).[3,4]
Hasil Uji Klinis Azithromycin pada Pasien COVID-19 Derajat Berat
Uji klinis tentang efektivitas azithromycin sebagai terapi COVID-19 awalnya dilakukan pada populasi pasien COVID-19 dengan gejala berat, yakni dengan mortalitas 17–40%. Pada populasi ini, pemberian azithromycin tidak bermanfaat mengurangi kematian, kebutuhan ventilasi mekanik, dan durasi rawat di rumah sakit. Selain itu, azithromycin juga tidak dapat memperbaiki gejala klinis pasien yang dirawat di rumah sakit.
Uji klinis COALITION II mempelajari 447 pasien COVID-19 dengan gejala berat yang dirawat di rumah sakit di Brasil. Pasien dibedakan menjadi dua grup, yaitu grup yang menerima azithromycin 500 mg/hari selama 10 hari beserta terapi standar, atau grup yang hanya menerima terapi standar. Hydroxychloroquine yang sebenarnya telah terbukti tidak bermanfaat bagi COVID-19 juga digunakan karena termasuk dalam terapi standar COVID-19 di Brasil saat studi dilakukan.
Hasil studi COALITION II tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara kedua grup dalam hal status klinis pasien setelah 15 hari terapi (OR 1,36; 95% CI 0,94–1,97; p=0,11). Studi ini berkesimpulan bahwa penambahan azithromycin ke dalam terapi standar tidak memperbaiki luaran klinis pasien dengan COVID-19 yang berat.
Studi RECOVERY juga meneliti 9.433 pasien COVID-19 rawat inap yang memenuhi syarat uji klinis azithromycin. Pasien dibedakan menjadi grup yang menerima terapi standar saja, atau grup yang menerima terapi standar dan azithromycin 500 mg/hari (oral atau intravena) selama 10 hari.
Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan mortalitas 28 hari antara kedua grup (RR 0,97; 95% CI 0,87–1,07; p=0,50). Durasi rawat inap dan penggunaan ventilasi mekanik juga tidak berbeda signifikan. Hasil studi RECOVERY ini menyimpulkan bahwa azithromycin hanya diberikan pada pasien COVID-19 rawat inap bila ada indikasi antibakterial.[5-8]
Hasil Uji Klinis Azithromycin pada Pasien COVID-19 Derajat Ringan dan Sedang
Uji klinis PRINCIPLE mempelajari efektivitas azithromycin pada 2.265 pasien dengan gejala suspek COVID-19 di Inggris. Pasien dibagi menjadi grup terapi standar, grup terapi standar serta terapi tambahan lain, dan grup terapi standar serta azithromycin 500 mg/hari selama 3 hari. Hasil tidak menemukan perbedaan kecepatan kesembuhan maupun risiko rawat inap pada grup azithromycin dan grup terapi standar.
Dua penelitian lainnya menggunakan azithromycin singkat, yaitu 500 mg selama 1 hari diikuti 250 mg selama 4 hari. Studi Q-PROTECT meneliti pria yang positif SARS-CoV-2 di tempat karantina di Qatar. Hasil penelitian ini tidak menemukan perbedaan waktu kesembuhan dan tingkat rawat inap di semua kelompok. Namun, studi ini memberikan azithromycin bersamaan dengan hydroxychloroquine yang sebenarnya telah terbukti tidak bermanfaat untuk COVID-19.[5,9]
Uji klinis acak lain (ATOMIC2) juga telah dilakukan di Inggris untuk meneliti manfaat azithromycin dibandingkan dengan terapi standar pada pasien COVID-19 ringan hingga sedang. Uji klinis ini mengevaluasi apakah pemberian azithromycin dapat mengurangi angka progresivitas penyakit yang menyebabkan pasien menjalani rawat inap di rumah sakit atau kematian. Penelitian ini menginvestigasi populasi berisiko menengah dalam tahap awal penyakit yang memiliki risiko perburukan gejala.
Uji klinis tersebut dilakukan pada orang berusia >18 tahun yang sudah terdiagnosis COVID-19 dengan gejala <14 hari, yang dinyatakan cocok melakukan rawat jalan. Para peserta diberikan azithromycin 500 mg/hari secara oral selama 14 hari ditambah terapi standar atau terapi standar saja. Penelitian ini dilakukan pada 292 peserta.[5]
Hasil uji klinis ATOMIC2 menunjukkan bahwa 15 (10%) dari 145 peserta yang diberikan azithromycin dan 17 (12%) dari 147 peserta yang hanya diberikan terapi standar mengalami perburukan gejala dan akhirnya dirawat di rumah sakit atau meninggal (OR 0,91; 95% CI 0,43–1,92; p=0,80). Studi ini berkesimpulan bahwa azithromycin tidak memberikan manfaat klinis yang bermakna pada pasien COVID-19 yang mengalami gejala ringan hingga sedang yang melakukan rawat jalan.
Penambahan azithromycin pada tata laksana standar pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga sedang tidak menurunkan risiko rawat inap maupun risiko kematian. Oleh karena itu, studi ini tidak mendukung pemberian azithromycin pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan sampai sedang.[5]
Kesimpulan
Berbeda dengan hasil studi in vitro yang menunjukkan bahwa azithromycin mungkin bermanfaat untuk terapi COVID-19, hasil berbagai uji klinis pada pasien COVID-19 menunjukkan bahwa azithromycin tidak memiliki manfaat klinis pada pasien COVID-19 derajat ringan, sedang, maupun berat.
Pemberian azithromycin pada pasien COVID-19 derajat berat tidak menurunkan angka kematian, kebutuhan ventilasi mekanik, dan durasi rawat di rumah sakit. Sementara itu, pemberian azithromycin pada pasien COVID-19 derajat ringan hingga sedang tidak menurunkan risiko rawat inap maupun risiko kematian. Oleh karena itu, berbagai studi yang ada saat ini tidak menyarankan pemberian azithromycin pada pasien COVID-19 kecuali bila ada indikasi perlu antibakteri.[5-9]
Pada Juli 2021, lima organisasi profesi kesehatan Indonesia juga telah mengeluarkan revisi protokol tata laksana COVID-19. Kelima organisasi tersebut adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, serta Ikatan Dokter Anak Indonesia. Azithromycin saat ini hanya dianjurkan untuk diberikan bila pasien COVID-19 memiliki koinfeksi dengan bakteri atipikal.[10]