Perubahan pola makan saat bulan puasa dikhawatirkan dapat membangkitkan keluhan atau meningkatkan derajat keparahan gastroesophageal reflux disease, yang disingkat dengan GERD, sehingga manajemennya perlu dipahami oleh dokter.
GERD merupakan suatu kondisi naiknya asam lambung sampai ke esofagus. Gangguan gastrointestinal ini cukup sering terjadi dengan prevalensi mencapai 18,1–27,8% di Amerika Utara dan 2,5-7,8% di Asia Timur.[1,2]
Beberapa studi menyebutkan bahwa puasa, atau kondisi tidak makan dan minum dari subuh sampai dengan matahari terbenam atau magrib, dapat mengganggu kondisi pH lambung. Hal ini tentunya dapat berpengaruh pada pasien yang mempunyai riwayat GERD. Walaupun begitu, beberapa studi lain justru menyatakan bahwa puasa mempunyai efek baik terhadap GERD.[1-3]
Kontroversi Dampak Puasa Ramadan terhadap Keluhan GERD
Penelitian menunjukkan hasil yang kontroversial terhadap pengaruh puasa pada GERD. Beberapa studi menyatakan puasa dapat meningkatkan kejadian GERD tetapi studi lain justru menyatakan bahwa puasa dapat mengurangi keluhan GERD.
Sebuah tinjauan sistematik oleh Seifi et al. yang menelaah tentang pengaruh puasa Ramadan terhadap gangguan gastrointestinal menyatakan bahwa selama puasa Ramadan terjadi peningkatan asam lambung dan sekresi pepsin. Puasa Ramadan dapat bermanfaat bagi individu yang sehat. Namun, pada pasien dengan gangguan gastrointestinal, puasa Ramadan dapat meningkatkan keluhan, seperti dispepsia, dan risiko komplikasi gangguan gastrointestinal. Studi ini menyarankan agar pasien yang memiliki keluhan gastrointestinal, termasuk GERD, agar sebaiknya mendapatkan obat-obatan sebelum memulai puasa.[3]
Studi longitudinal yang dilakukan di Indonesia meneliti 130 subjek, dengan 66 subjek di antaranya menjalani puasa Ramadan dan sisanya tidak menjalani puasa Ramadan. Keluhan GERD dievaluasi dengan menggunakan kuesioner GERD-Q, yaitu kuesioner yang sering digunakan untuk memprediksi kondisi GERD. Pada kelompok yang menjalani puasa Ramadan, didapatkan perubahan skor GERD-Q pada >55 subjek (83%) dan 15 di antaranya mengalami pengurangan skor GERD-Q ≥3, yang artinya keluhan GERD berkurang pada kelompok yang menjalani puasa Ramadan.
Selain itu, didapatkan pula nilai median yang berbeda bermakna antara kelompok yang menjalani puasa Ramadan dan kelompok yang tidak berpuasa. Beberapa faktor dinilai mempunyai pengaruh terhadap penurunan keluhan GERD pada kelompok yang menjalani puasa Ramadan, yakni penurunan jumlah batang rokok serta peningkatan interval antara jam makan terakhir dan tidur, yang merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap GERD. Limitasi studi ini adalah jumlah sampel yang kecil dan tidak dilakukan randomisasi karena subjek sudah terbagi secara otomatis ke dalam kelompok puasa dan tidak puasa.[4]
Studi longitudinal lain yang dilakukan oleh Rahimi et al. meneliti 69 sampel, di antaranya 33 subjek menjalani puasa dan 36 tidak puasa. Tidak ada perbedaan keluhan GERD yang bermakna antara kelompok yang menjalani puasa Ramadan dengan yang tidak puasa. Dengan pertimbangan etik, kedua kelompok diberikan terapi, yaitu obat antisekretori (antagonis reseptor histamin H2 dan PPI). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa puasa Ramadan tidak memiliki efek pada gejala GERD pada pasien yang mendapatkan obat antisekretori. Studi ini memiliki keterbatasan jumlah sampel yang kecil dan kurangnya data jenis obat yang dikonsumsi pasien.[5]
Manajemen GERD
Kondisi GERD yang dikelola secara tepat tentunya dapat membantu pasien yang ingin menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan. Berdasarkan Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan American College of Gastroenterology (ACG), manajemen GERD meliputi tata laksana nonfarmakologi, faramakologi, endoskopi, dan operasi. Target tata laksana GERD yang perlu dicapai adalah menghilangkan keluhan, menyembuhkan lesi esofagus, mencegah kambuhnya penyakit, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah terjadinya komplikasi seperti: Barret esofagus, esofagitis erosif, perdarahan saluran cerna, dan kanker esofagus.[6,7]
Tata laksana nonfarmakologi GERD yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan berat badan, menaikkan kepala setinggi 15-20 menit saat tidur, berhenti merokok dan minum alkohol, mengurangi kebiasaan makan yang dapat menstimulasi peningkatan asam lambung, dan hindari makan dalam 3 jam sebelum jam tidur.[6,7]
Terapi farmakologi GERD meliputi antasida; prokinetik, seperti metoclopramide; antagonis reseptor histamin H2, seperti cimetidine, famotidine, ranitidine; PPI, seperti esomeprazole, omeprazole, lansoprazole; dan baclofen. Namun, untuk penggunaan jangka panjang, perlu dipertimbangkan juga keuntungan dan kerugian penggunaan acid suppressant ini.[6,7]
Dari semua terapi farmakologi yang ada, PPI merupakan obat yang paling efektif dalam menghilangkan keluhan dan menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. PPI bekerja dengan cara menghambat H+, K+ adenosine triphosphatase pada sel parietal lambung sehingga sekresi asam lambung tersupresi. Dari berbagai penelitian, terapi dengan PPI memiliki angka kesembuhan yang lebih tinggi dan dapat menurunkan angka rekurensi yang lebih besar dibandingkan dengan obat antagonis reseptor H2. PPI juga dapat mengurangi keluhan atau gejala hingga 80%.[6,7]
Tata laksana GERD dapat dimulai dengan pemberian PPI setelah diagnosis GERD ditegakkan. PGI merekomendasikan penggunaan PPI dosis tunggal setiap pagi sebelum makan selama 2-4 minggu. Apabila keluhan masih ada, dosis PPI dinaikkan menjadi dua kali sehari sampai keluhan menghilang. Terapi dua kali sehari dapat diberikan selama 4-8 minggu. Setelah keluhan hilang, PPI tidak perlu lagi dikonsumsi secara rutin.[6]
Menurut ACG, penggunaan PPI selama 8 minggu merupakan pilihan terapi untuk mengurangi keluhan dan mengobati komplikasi GERD, seperti esofagitis erosif. Efek PPI akan optimal jika dikonsumsi 30-60 menit sebelum makan. Obat PPI yang lebih baru, seperti esomeprazole, cenderung memiliki waktu optimal yang lebih fleksibel terhadap jam makan.[7]
Dibandingkan dengan obat golongan PPI lainnya, esomeprazole dinilai lebih efektif dalam menjadi stabilitas pH lambung selama 24 jam sehingga dapat membantu pasien GERD yang menjalani puasa Ramadan terhindar dari keluhan atau komplikasi GERD.[1]
Pertimbangan Khusus Manajemen GERD selama Bulan Puasa
Sampai saat ini, belum terdapat petunjuk klinis ataupun konsensus yang spesifik membahas mengenai manajemen GERD selama bulan puasa. Dalam aspek nonfarmakologi, manajemen GERD yang dapat dilakukan selama bulan puasa adalah dengan memodifikasi jenis dan komposisi makanan. Saat sahur, komposisi makanan dapat lebih berat (tinggi kalori) sedangkan saat berbuka, komposisi makanan dapat lebih ringan. Pasien juga perlu menghindari makanan pedas serta makanan yang mengandung lemak tinggi, coklat, dan kafein terutama saat berbuka puasa. Sangat penting pula untuk tidak mengonsumsi makanan dalam 2-3 jam sebelum tidur.[5-7]
Penyesuaian terapi farmakologi GERD selama bulan Ramadan cukup sulit dilakukan. Hal ini disebabkan oleh perlunya jeda waktu antara pemberian obat dengan waktu mulai makan. Terapi PPI paling optimal diberikan 20-30 menit sebelum makan pagi. Terapi ini akan suboptimal apabila tidak dikonsumsi sesuai dengan waktu yang tepat karena dapat mengganggu efektivitas obat, khususnya dalam hal mengatasi keluhan GERD. Hal ini dapat menjadi kendala puasa bagi pasien yang tidak sabar menunggu untuk makan.
Oleh karena itu, terdapat rekomendasi alternatif terapi, yaitu dengan pemilihan PPI dengan frekuensi pemberian yang lebih jarang. Pemberian agen PPI tradisional dengan frekuensi pemberian dua kali sehari dinilai ekuivalen dengan pemberian agen PPI terbaru dengan frekuensi pemberian sekali sehari.[8,9]
Efektivitas Esomeprazole dalam Mengatasi GERD
Sebuah studi oleh Miner P et al. meneliti perbandingan beberapa obat PPI, yaitu esomeprazole, lansoprazole, omeprazole, pantoprazole, dan rabeprazole, terhadap pH intragastrik dari 34 pasien yang menderita GERD. Jumlah rata-rata lamanya pH intragastrik dapat dievaluasi adalah sekitar 24 jam. Pada hari ke-5, pH intragastrik dapat dipertahankan >4,0 selama 14 jam dengan esomeprazole; 12,1 jam dengan rabeprazole; 11,8 jam dengan omeprazole; 11,5 jam dengan lansoprazole; dan 10,1 jam dengan pantoprazole. Kelompok esomeprazole juga mempunyai persentase pasien dengan pH intragastrik >4,0 yang signifikan lebih besar daripada kelompok PPI lainnya. Sedangkan frekuensi efek samping yang timbul sama pada semua kelompok intervensi.[10]
Dapat disimpulkan dari studi ini bahwa esomeprazole 40 mg sehari dapat mengontrol asam lambung lebih efektif daripada PPI lain. Namun limitasi dari studi ini adalah jumlah sampel yang kecil dan tidak meneliti efek terapi pada keluhan dan komplikasi GERD.[10]
Sebuah tinjauan sistematis juga dilakukan oleh Kalaitzakis E et al. yang membahas tentang efektivitas esomeprazole dalam mengatasi keluhan GERD dan menyembuhkan lesi erosif GERD, dibandingkan dengan PPI jenis lain, seperti lansoprazole 15 mg atau pantoprazole 20 mg. Pada tinjauan ini didapatkan bahwa esomeprazole 40 mg sekali sehari lebih efektif dalam menjaga pH intragastrik dibandingkan dengan PPI jenis lain yang berikan sesuai dengan dosis standarnya.[11]
Beberapa studi dalam tinjauan sistematis ini juga menyatakan bahwa setelah 4-8 minggu terapi, esomeprazole 40 mg sekali sehari memberikan angka kesembuhan lesi esofagitis erosif yang lebih besar daripada omeprazole 20 mg, lansoprazole 30 mg, dan pantoprazole 40 mg sekali sehari.[11]
Kesimpulan
Literatur ilmiah masih belum menunjukkan bukti yang pasti apakah puasa selama bulan Ramadan akan meningkatkan atau memperbaiki gejala GERD. Namun, dengan manajemen yang baik, perbaikan gejala GERD selama bulan puasa dapat dicapai. Selama bulan puasa, sebaiknya pasien makan makanan yang tinggi kalori pada saat sahur. Pasien juga sebaiknya mengurangi makanan yang mengandung lemak, coklat, kafein dan makanan yang terlalu pedas pada saat berbuka serta tidak lagi mengonsumsi makanan 2–3 jam sebelum tidur malam.
Esomeprazole dengan dosis standar 40 mg sekali sehari dapat menjadi pilihan obat untuk dikonsumsi di pagi hari sebelum sahur. Esomeprazole dapat menjaga pH intragastrik untuk jangka waktu lebih panjang daripada PPI jenis lain. Selain itu, esomeprazole juga dapat memperbaiki lesi esofagitis erosif. Hal ini dapat membantu pasien GERD yang akan menjalankan puasa selama bulan Ramadan mencegah munculnya keluhan atau komplikasi GERD selama menjalani puasa Ramadan.