Suplementasi vitamin D diduga bermanfaat dalam mengurangi mortalitas akibat infeksi COVID-19. Ini berkaitan dengan efek vitamin D terhadap sistem imun, dimana vitamin D telah diketahui dapat menghambat ekspresi dan mengurangi transkripsi beberapa sitokin proinflamasi. Vitamin D juga meningkatkan sitokin T helper yang bersifat antiinflamasi, serta memiliki efek antiproliferatif yang poten pada sel T dan menurunkan produksi antibodi sel B.[1]
Peran Vitamin D pada Sistem Imun dan Saluran Pernapasan
Pada sistem imun, vitamin D memiliki peran pensinyalan dalam modulasi sistem imun adaptif dan bawaan. Vitamin D dalam bentuk kalsitriol akan berinteraksi dengan reseptor vitamin D nuklir (nVDR) yang diekspresikan pada limfosit B dan T, neutrofil, monosit, serta sel dendritik.[1]
Di saluran pernapasan, vitamin D telah dilaporkan memiliki efek protektif terhadap infeksi saluran napas. Banyak studi telah menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D secara signifikan meningkatkan risiko infeksi saluran napas, seperti community-acquired pneumonia (CAP).
Selain itu, protein pengikat vitamin D atau vitamin D binding protein (DBP) merupakan protein multifungsi yang tidak hanya berperan dalam resorpsi tulang tetapi juga dalam aktivasi makrofag. Kadar DBP yang normal adalah sekitar 300-900 mg/L, dan konsentrasi yang rendah telah dikaitkan dengan dengan peningkatan kejadian acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada pasien cystic fibrosis.[1-3]
Bukti Ilmiah Peran Vitamin D pada Infeksi COVID-19
Sebuah tinjauan sistematik dan meta analisis (2021) mengevaluasi hasil dari 14 studi dengan total 91.120 partisipan. Tinjauan ini menunjukkan bahwa individu dengan defisiensi vitamin D berisiko lebih tinggi mengalami infeksi COVID-19 dibandingkan individu dengan kadar vitamin D normal.[5]
Hasil serupa dilaporkan dalam tinjauan sistematik lain (2021) terhadap 14 studi dengan total 999.179 partisipan. Tinjauan ini menyimpulkan bahwa rendahnya kadar serum 25(OH)D berhubungan dengan kejadian infeksi COVID-19, keparahan, dan mortalitas yang lebih tinggi.[7]
Sejalan dengan hasil tersebut, sebuah tinjauan sistematik (2022) dari 28 studi menyimpulkan bahwa COVID-19 tidak bisa dieliminasi dengan vitamin D, tetapi defisiensi vitamin D dapat meningkatkan risiko infeksi, keparahan, dan mortalitas akibat COVID-19. Studi ini beranggapan bahwa suplementasi vitamin D 1000-2000 IU/hari bermanfaat mencegah infeksi berat dan mortalitas akibat COVID 19 pada individu risiko tinggi.[4]
Efikasi Suplementasi Vitamin D pada Infeksi COVID-19
Sebuah tinjauan (2022) merangkum hasil dari 10 tinjauan sistematik mengenai efikasi suplementasi vitamin D pada pasien COVID-19. Dalam studi ini, meta analisis dari 7 tinjauan sistematik menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D mengurangi risiko mortalitas. Suplementasi vitamin D juga menurunkan kebutuhan perawatan intensif dan ventilasi mekanik. Meski begitu, studi yang dievaluasi memiliki tingkat bukti berbeda-beda dan sedikit uji klinis dengan blinding sehingga risiko bias menjadi tinggi.[6]
Studi lain berupa kohort retrospektif (2022) melibatkan populasi veteran dengan 220.265 orang mendapat suplemen vitamin D3, 34.710 mendapat vitamin D2, dan 407.860 tidak mendapat suplementasi. Studi ini menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D2 dan vitamin D3 berkaitan dengan penurunan kejadian infeksi sebesar 28% dan 20%. Selain itu, suplementasi vitamin D2 berkaitan dengan penurunan mortalitas sebesar 25% dan vitamin D3 berkaitan dengan penurunan 33%.
Namun hasil ini perlu dipertimbangkan secara hati-hati karena desain penelitian memiliki risiko bias dengan perbedaan antara kelompok yang diobati dengan vitamin D dan kelompok kontrol, termasuk penyakit penyerta, status sosial ekonomi, dan lokasi geografis yang semuanya dapat mempengaruhi risiko COVID- 19 dan luaran klinis.[12]
Bukti Yang Tidak Mendukung Efikasi Suplementasi Vitamin D pada Infeksi COVID-19
Hasil studi yang telah disebutkan di atas masih diragukan karena kurangnya bukti berkualitas tinggi, yakni uji klinis dengan blinding. Uji klinis CORONAVIT (2022) merupakan uji klinis landmark dengan blinding dan pengacakan yang melibatkan 6200 orang usia 16 tahun ke atas untuk mendapat terapi (vitamin D tingkat tinggi, vitamin D rendah) atau kelompok kontrol. Uji klinis ini tidak menemukan perbedaan bermakna dalam kejadian atau tingkat keparahan COVID-19 akut atau gejala COVID-19 yang berkepanjangan.[8]
Tinjauan Cochrane (2021) juga tidak menemukan manfaat dari suplementasi vitamin D dalam penanganan COVID-19. Tinjauan ini mengevaluasi 3 uji klinis dengan total 356 partisipan. Tinjauan ini menyatakan bahwa bukti ilmiah yang tersedia masih belum cukup untuk menyatakan adanya manfaat dari suplementasi vitamin D pada COVID-19, termasuk untuk mortalitas dan keparahan infeksi.[9]
Risiko Suplementasi Vitamin D
Meskipun vitamin D telah banyak dikaitkan dengan berbagai manfaat kesehatan, suplementasi yang berlebihan dapat menyebabkan toksisitas. Intoksikasi vitamin D dapat menyebabkan kerusakan organ, hiperkalemia berat, hiperfosfatemia dan hiperkalsiuria.
Sebagai alternatif, untuk mencukupi kebutuhan vitamin D dan menghindari risiko toksisitas, pasien di Indonesia bisa disarankan melakukan sunbathing atau berjemur. Telah banyak studi menyimpulkan bahwa paparan matahari di waktu yang direkomendasikan dapat meningkatkan kadar vitamin D endogen dalam kulit.[10,11,13]
Kesimpulan
Beberapa bukti ilmiah menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D dalam darah berkaitan dengan peningkatan kejadian infeksi, keparahan penyakit, kebutuhan perawatan intensif, kebutuhan alat bantu napas mekanik, dan mortalitas akibat infeksi COVID-19. Meski demikian, basis bukti yang menunjukkan manfaat suplementasi vitamin D masih lemah karena kebanyakan merupakan studi observasional dan memiliki risiko bias yang tinggi.
Besar kemungkinan bahwa defisiensi vitamin D merupakan penanda komorbiditas dan gaya hidup atau pola makan yang buruk, sehingga kondisi tersebut yang akan menyebabkan peningkatan risiko infeksi dan perburukan luaran COVID-19. Terlalu menyederhanakan untuk menganggap bahwa pemberian vitamin D sintetik saja akan mengatasi faktor risiko ini. Uji klinis acak terkontrol dengan desain studi yang baik telah melaporkan bahwa suplementasi vitamin D tidak membawa perbedaan bermakna dalam hal angka infeksi, keparahan, dan mortalitas.