Dolutegravir (DTG), suatu Integrase strand transfer inhibitor (INSTI) merupakan salah satu terobosan baru dalam pengobatan HIV. Hal ini dikarenakan obat tersebut memiliki efikasi yang non-inferior dibandingkan obat yang saat ini beredar seperti efavirenz, efek samping, dan interaksi obat yang minimal.[1]
Departemen kesehatan pada Amerika Serikat dan Britania Raya telah merekomendasikan DTG sebagai terapi lini pertama dengan kombinasi dengan 2 macam obat Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI).[2,3]
Hingga saat ini, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah menjadi masalah kesehatan global. Namun, seiring dengan kemajuan pengobatan, infeksi HIV telah menjadi penyakit infeksi kronis yang dapat diobati dengan kombinasi obat Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Walaupun kombinasi obat HAART sukses dapat menekan jumlah virus yang beredar dalam darah, namun risiko terjadinya efek samping pengobatan meningkat mengingat konsumsi obat tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang lama.[4]
Artikel ini akan membahas peran DTG pada pasien HIV mengingat DTG telah direkomendasikan oleh WHO sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan infeksi HIV-1 dan diterbitkannya surat edaran dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia No: PM.02.04/III/4184/2020 mengenai optimalisasi pemberian terapi antiretroviral pada pasien HIV yang merekomendasikan penggunaan DTG di Indonesia.[5,6]
Efikasi Dolutegravir pada Kasus Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Sejak ditemukan, dolutegravir telah memiliki efikasi klinis yang menjanjikan, baik dalam percobaan in vitro maupun in vivo pada manusia. Suatu penelitian kohort dari Italia yang melibatkan 4139 pasien HIV-1 yang mendapatkan kombinasi DTG dengan berbagai obat HAART lainnya melaporkan hanya 1 kejadian kegagalan virologis (gagalnya kadar mRNA ≤50 kopi/mL setelah 6 bulan pengobatan.[7]
Penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Cruciani et al., pada tahun 2019 melaporkan bahwa kombinasi 2 macam NRTI dan DTG memiliki efikasi klinis dalam menurunkan viral load hingga mencapai target virologi yang diharapkan (<50 kopi/mL) dibandingkan dengan regimen lain dalam pengamatan selama 48 minggu (RD: 0,05, 95%IK: 0,03/0,08; p=0,0002) dan 96 minggu (RD: 0,06, 95% IK: 0,03-0,10; p<0,0001) pada pasien HIV-1 yang naïve terhadap pengobatan.[4]
Selain itu, suatu tinjauan sistematik yang dilakukan oleh Rutherford dan Horvath pada pasien HIV-1 yang naïve terhadap pengobatan, melaporkan bahwa kombinasi DTG dengan 2 NRTI lebih superior terhadap kombinasi efavirenz (EFV) dan 2 NRTI yang merupakan terapi kombinasi yang dianut sampai saat ini dalam menurunkan viral load dalam 48 minggu (RR: 1,10, 95%IK: 1,04-1,16) maupun 96 minggu (RR: 1,12, 95%IK: 1,04-1,21). Selain itu, kombinasi DTG dengan NRTI juga lebih superior terhadap kombinasi yang mengandung EFV dalam hal kepatuhan terhadap pengobatan dalam 96 minggu (RR: 0,27, 95% IK: 0,15-0,50).[8]
Efikasi Dolutegravir pada Skenario Lain
Sebagai terapi lini pertama, DTG telah diteliti memiliki efikasi yang baik. Hal tersebut membawa bagaimana efikasi DTG pada kasus infeksi HIV-1 yang mengalami kegagalan virologis. Mencoba menjawab hal tersebut, Aboud et al., pada uji klinis yang melibatkan 968 pasien HIV-1 yang mengalami kegagalan virologis dengan berbagai regimen HAART lini pertama. Uji klinis tersebut memberikan kombinasi DTG dengan 2 NRTI dibandingkan dengan kombinasi lopinavir/ritonavir dengan 2 NRTI sebagai terapi lini kedua saat ini. Secara kuantitas, jumlah keberhasilan target pengobatan pada minggu ke-48 didapatkan sebanyak 84% pada kelompok kombinasi DTG dan 70% pada kelompok dengan lopinavir/ritonavir.[9]
Pada skenario lain, van Wyk et al., pada uji klinis tahun 2020 mencoba menjawab efikasi kombinasi DTG pada pasien yang telah mengalami keberhasilan terapi secara virologis dengan regimen kombinasi regimen yang mengandung tenofovir alafenamide (TAF) dengan periode observasi selama 48 minggu. Dalam periode tersebut, peningkatan viral load HIV-1 RNA pada kelompok kombinasi DTG didapatkan pada 1/369 (0,3%) pasien dan 2/372 (0,5%) pada kelompok kombinasi TAF (RD: -0,3, 95%IK: -1,2-0,7). Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelompok kombinasi DTG non-inferior dibandingkan dengan kelompok TAF bila digunakan pada pasien yang mengganti regimen dan telah mengalami supresi viral load.[10]
Efek Samping Dolutegravir
Setiap kombinasi pengobatan akan memiliki efek samping, pun hal tersebut juga berlaku pada kombinasi regimen yang mengandung DTG. Brehm et al., melaporkan gejala neuropsikiatri ringan (depresi, vertigo, gangguan tidur) pada pasien yang mengonsumsi kombinasi DTG selama 12 bulan pengamatan. Namun, gangguan tersebut tidak sampai membuat pasien menghentikan pengobatan.[11]
Dolutegravir Tidak Berkorelasi dengan Neural Tube Defect
Zash et al., pada tahun 2018 melaporkan adanya asosiasi penggunaan kombinasi DTG pada saat konsepsi dengan kejadian neural tube defect. Didapatkan prevalensi kejadian neural tube defect sebesar 0,94% dibandingkan dengan regimen lain (0,12%) pada pengamatan di Botswana.[12] Namun dalam pengamatan lebih lama dengan sampel lebih besar, angka neural tube defect pada pemberian kombinasi DTG saat konsepsi tidak sebesar dari hasil awal, yaitu 0,3%.[13]
Suatu penelitian lain yang dilakukan Kintu et al., melakukan uji efikasi terapi kombinasi DTG dibandingkan dengan terapi kombinasi EFV pada populasi ibu hamil yang baru terdiagnosis terinfeksi virus HIV-1 pada usia kehamilan minimal 28 minggu. Hal ini dilakukan mengingat rerata kunjungan antenatal pertama pada ibu hamil di Afrika Selatan umumnya terjadi pada saat usia kehamilan 28 minggu. Dalam median rerata 55 hari, penurunan viral load pada 74% kelompok kombinasi DTG menjadi <50 kopi/mL dibandingkan 43% subyek kelompok kombinasi EFV (RR: 1,64; 95% IK: 1,31-2,06).[14]
Dari penelitian tersebut, didapatkan 3 bayi lahir mati pada kelompok pemberian DTG dan hal tersebut berkaitan dengan adanya sifilis maternal, sehingga hal tersebut belum dapat disimpulkan dengan pasti. Selain itu, tidak dijumpai adanya kejadian neural tube defects pada subyek yang mendapatkan DTG maupun EFV.[14] Hal tersebut mendukung pernyataan dari WHO yang tetap merekomendasikan DTG sebagai lini pertama pada berbagai populasi pasien.[6]
Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, penggunaan DTG saat ini telah diindikasikan sebagai lini pertama pada pasien HIV-1 yang naïve terhadap pengobatan. Selain itu, dalam surat edaran tersebut, Kementerian Kesehatan RI menyarankan transisi secara bertahap pada pengguna regimen non-DTG menuju ke regimen kombinasi DTG. Penggunaan DTG pada pasien naïve adalah 50 mg/24 jam sedangkan pada pasien yang telah mengalami resistensi terhadap INSTI dapat ditingkatkan menjadi 50 mg/12 jam.[5,15]
Kesimpulan
Kemajuan teknologi dalam pengobatan HIV telah memungkinkan suatu kelas obat baru, yaitu INSTI sebagai pilar dalam tatalaksana HIV. Salah satu INSTI yang memiliki efikasi yang menjanjikan baik dalam uji in vitro maupun uji klinis adalah dolutegravir.
Dalam berbagai penelitian DTG memiliki efikasi yang baik pada berbagai pasien HIV-1 yang naïve terhadap pengobatan maupun pada berbagai skenario lain, seperti pada pasien yang mengalami kegagalan virologis atau pasien dengan keberhasilan terapi yang dilakukan penggantian regimen.
Efek samping yang banyak didapatkan adalah gejala neuropsikiatri ringan yaitu depresi, gangguan tidur, maupun vertigo yang tidak menyebabkan penurunan kepatuhan terhadap pengobatan. Sesuai dengan anjuran dari WHO, dolutegravir direkomendasikan menjadi obat lini pertama dalam berbagai skenario, salah satunya kehamilan.