Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan cahaya matahari yang difilter (filtered sunlight) efektif dan aman untuk digunakan sebagai terapi alternatif pada bayi dengan ikterus neonatorum derajat ringan-sedang. Hingga kini, fototerapi masih menjadi pilihan dalam penanganan ikterus neonatorum. Namun, ketersediaan fasilitas fototerapi masih menjadi kendala, terutama di negara berpendapatan rendah-menengah seperti Indonesia.[1-5]
Ikterus neonatorum merupakan kondisi pada neonatus yang ditandai dengan warna kuning pada kulit dan sklera akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi. Secara klinis, ikterus akan tampak jika kadar bilirubin dalam darah ≥ 5 mg/dL (86 µmol/L). Bila tidak ditangani, kadar bilirubin yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, yaitu terjadi ensefalopati bilirubin akut dan kernikterus.[5,6]
Cara Kerja Fototerapi pada Ikterus Neonatorum
Fototerapi bekerja dengan mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi produk isomer larut air yang dapat diekskresikan melalui urine dan feses. Menurut American Academy of Pediatrics, fototerapi akan efektif jika dilakukan menggunakan sinar spektrum biru-hijau (panjang gelombang 460-490 nm) dengan irradiance minimal 30 µW/cm2. Fototerapi seharusnya dilakukan dengan menyinari sebanyak mungkin permukaan tubuh bayi.[6-11]
Matahari Untuk Ikterus Neonatorum
Matahari memancarkan sinar dengan panjang gelombang 425-475 nm yang dapat menurunkan kadar bilirubin. Akan tetapi, matahari juga memancarkan sinar inframerah dan ultraviolet yang dapat menyebabkan luka bakar dan eritema, serta meningkatkan risiko keganasan kulit.
Atas alasan tersebut, paparan langsung sinar matahari tidak direkomendasikan sebagai terapi pada ikterus neonatorum. Sebagai upaya untuk dapat tetap memanfaatkan sinar matahari sebagai terapi, cara yang dilakukan adalah dengan melakukan filtrasi agar sinar yang diterima hanya sinar yang bersifat terapeutik.[2,6,8,10,11]
Efikasi Filtered Sunlight Phototherapy pada Ikterus Neonatorum
Sebuah penelitian di Nigeria memanfaatkan kaca film untuk dipasang pada kerangka kanopi yang nantinya akan menyaring sinar matahari yang masuk. Terdapat dua jenis kaca film yang digunakan secara terpisah, yaitu Air Blue 80® dan Gila Titanium®. Kanopi dengan lapisan Air Blue 80® digunakan ketika cuaca mendung, sedangkan kanopi dengan lapisan Gila Titanium® digunakan ketika matahari bersinar cerah.
Keduanya dilaporkan mampu menghalangi 99% sinar ultraviolet dan sebagian radiasi inframerah, sehingga meminimalisir efek berbahaya yang ditimbulkan cahaya matahari. Kemampuan kedua kaca film tersebut dalam mentransmisikan cahaya dengan panjang gelombang 400-520 nm adalah 79% (Air Blue 80®) dan 33% (Gila Titanium®).[1-4]
Sebanyak 227 bayi berusia ≤ 14 hari dengan peningkatan kadar bilirubin serum telah ikut dalam penelitian ini. Terapi ditargetkan untuk dilakukan selama ≥ 5 jam/hari. Kadar bilirubin total serum diukur sebelum dan sesudah dilakukan terapi. Intensitas radiasi cahaya matahari diukur setiap 30-60 menit; serta pemantauan bayi dilakukan setiap jam untuk memeriksa suhu aksila, tanda dehidrasi, dan gejala sunburn. Variabel yang diteliti adalah efikasi dan keamanan terapi.
Efikasi terapi ditandai dengan laju peningkatan bilirubin total kurang dari 0,2 mg/dl/jam pada bayi berusia ≤ 72 jam atau terdapat penurunan kadar bilirubin total pada bayi berusia > 72 jam. Keamanan dinilai berdasarkan ada tidaknya sunburn, instabilitas suhu persisten, serta status hidrasi. Jika ada peningkatan suhu ≥38°C, bayi dibawa ke tempat teduh dan diberikan handuk basah untuk menurunkan suhu tubuh. Jika ada penurunan suhu tubuh ≤35,5°C, bayi segera dipakaikan baju dan dibawa ke ruangan yang lebih hangat.
Hasil studi menunjukkan efikasi FSPT sebesar 92%. Rata-rata intensitas radiasi cahaya matahari di dalam kanopi adalah 38±22 µW/cm2/nm. Sebanyak 33% bayi mengalami perubahan suhu (hipertermia dan hipotermia) yang membaik setelah mendapat penanganan dan dapat melanjutkan terapi dengan FSPT. Tidak didapatkan subjek penelitian yang mengalami efek samping sunburn maupun dehidrasi, sehingga FSPT dianggap aman untuk dilakukan.[2]
Perbandingan Efikasi Filtered Sunlight Phototherapy dan Fototerapi Konvensional pada Hiperbilirubinemia Ringan-Sedang
Penelitian oleh Slusher et al membandingkan efikasi FSPT dengan fototerapi konvensional pada hiperbilirubinemia ringan-sedang. Sebanyak 213 bayi menjalani terapi FSPT dan 220 bayi menjalani fototerapi konvensional. Bayi dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl tidak diikutkan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan kurang lebih sama dengan penelitian sebelumnya, yaitu menggunakan kaca film Air Blue 80® dan Gila Titanium®.
Hasil studi menunjukkan bahwa efikasi FSPT sebesar 93%, sedangkan efikasi fototerapi konvensional sebesar 90%. Hal ini menunjukkan bahwa efikasi FSPT tidak lebih inferior dibandingkan dengan efikasi fototerapi konvensional pada hiperbilirubinemia ringan-sedang.
Sebanyak 61 bayi (29%) pada kelompok FSPT dan 13 bayi (6%) pada kelompok fototerapi konvensional mengalami peningkatan suhu aksila di atas 38°C, tetapi membaik dalam kurun waktu 1 jam setelah mendapatkan penanganan. Tidak didapatkan bayi dengan dehidrasi maupun sunburn pada kedua kelompok.[3]
Hasil Tinjauan Cochrane
Tinjauan Cochrane (2021) mengevaluasi efikasi dan keamanan FSPT dibandingkan fototerapi konvensional atau tanpa terapi dalam mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia pada neonatus aterm dan preterm-late, terutama di negara berpenghasilan rendah-menengah. Peneliti menelaah 3 uji acak terkontrol dengan total 1.103 bayi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa FSPT memiliki efikasi yang sebanding dengan fototerapi konvensional dalam menurunkan kadar bilirubin dan mencegah perlunya transfusi tukar, tanpa adanya peningkatan risiko ensefalopati bilirubin akut atau kematian. Bukti keseluruhan dinilai berkualitas rendah hingga sedang, terutama karena ukuran sampel kecil, potensi bias, dan keterbatasan pengendalian lingkungan paparan cahaya.[5]
Perbandingan Efikasi Filtered Sunlight Phototherapy dan Fototerapi Intensif pada Hiperbilirubinemia Sedang-Berat
Studi lain membandingkan FSPT dan fototerapi intensif pada kasus hiperbilirubinemia sedang-berat. Pada penelitian ini, bayi dengan kadar bilirubin ≥15 mg/dl ikut menjadi subjek penelitian. Terdapat beberapa perbedaan dibandingkan penelitian sebelumnya di Nigeria, yaitu digunakan ruang tertutup yang tersusun dari dinding polikarbonat transparan dengan atap berlapiskan Air Blue 80®, disediakan kipas tenaga surya untuk mengurangi risiko hipertermi, serta target waktu terapi adalah ≥ 4 jam.
Sebanyak 174 neonatus mengikuti penelitian ini, 87 neonatus dimasukkan ke dalam kelompok FSPT dan 87 lainnya ke dalam kelompok fototerapi intensif. Efikasi FSPT dilaporkan sebesar 87,2% dan efikasi fototerapi intensif sebesar 88,8%. Studi ini menyimpulkan bahwa efikasi FSPT tidak lebih inferior daripada fototerapi intensif. Tidak didapatkan hipertermia atau hipotermia persisten, tanda dehidrasi, maupun gejala sunburn, serta tidak ada perburukan menjadi ensefalopati bilirubin akut.[4]
Kelebihan dan Kekurangan Filtered Sunlight Phototherapy
Keunggulan FSPT adalah penggunaannya yang tidak membutuhkan listrik dan biaya yang dikeluarkan tidak sebesar penggunaan fototerapi modern, sehingga dapat diterapkan di daerah terpencil. Selain itu, terapi dapat dilakukan dengan pendampingan oleh ibu, sehingga dapat meningkatkan kedekatan ibu dan bayi.[2,3]
Keterbatasan penggunaan FSPT adalah ketergantungannya terhadap sinar matahari sehingga tidak bisa dilakukan pada malam hari atau saat hujan turun. Intensitas pancaran sinar matahari pada setiap daerah juga tidak sama, sehingga masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait variasi geografis.[2-4]
Kesimpulan
Fototerapi merupakan terapi utama untuk menurunkan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum. Pada daerah yang kesulitan menyediakan fasilitas fototerapi dengan optimal, filtered sunlight phototherapy dapat menjadi alternatif terapi yang aman dan terjangkau. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efikasi FSPT tidak lebih inferior dibandingkan dengan fototerapi modern.
Kelebihan prosedur ini adalah tidak memerlukan rawat inap, dapat menghemat biaya medis, serta dapat dilakukan oleh personil nonmedis dengan prosedur pelatihan yang sederhana. Oleh karenanya, prosedur ini dapat sangat bermanfaat di Indonesia, terutama di area dengan sarana kesehatan yang masih terbatas.
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha
