Oxytocin Intravena Vs Intramuskular sebagai Profilaksis Perdarahan Postpartum

Oleh :
dr. Audiza Luthffia

Pemberian oxytocin yang optimal sebagai profilaksis perdarahan postpartum, apakah intravena atau intramuskular, hingga saat ini belum ada rekomendasi yang jelas. Beberapa studi telah mencoba membandingkan efikasi dan keamanan pemberian oxytocin secara intravena dan intramuskular untuk mencegah perdarahan postpartum.

Oxytocin merupakan agen uterotonik yang paling direkomendasikan dan paling sering digunakan dalam praktik sehari-hari. Selain karena oxytocin tersedia dengan luas, efek uterotoniknya juga baik dan efek sampingnya lebih sedikit daripada agen uterotonik lain. Pemberian oxytocin baik secara intravena maupun intramuskular telah terbukti efektif untuk mengurangi volume perdarahan postpartum.[1-4]

Oxytocin Intravena Vs Intramuskular-min

Sekilas Tentang Oxytocin sebagai Profilaksis Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum adalah perdarahan dari jalan lahir dengan volume ≥500 mL dalam 24 jam pertama setelah persalinan pervaginam atau sectio caesarea. Secara global, perdarahan postpartum menyumbang 25% dari seluruh penyebab kematian maternal. Pemberian agen uterotonik termasuk dalam salah satu manajemen aktif kala III yang terbukti dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum.[1,2]

Oxytocin merupakan hormon yang diproduksi secara alami oleh kelenjar hipofisis. Secara struktur, obat ini merupakan peptida siklik sintetis dari hormon oxytocin dan telah digunakan sebagai agen uterotonik sejak tahun 1953. oxytocin berikatan dengan reseptor pada miometrium lalu menstimulasi kontraksi otot polos.

Mekanisme tersebut meningkatkan durasi dan frekuensi kontraksi uterus, sehingga membantu pelepasan dan ekspulsi plasenta. Dosis oxytocin yang direkomendasikan adalah 10 IU, yang dapat diberikan secara intravena atau intramuskular.

Oxytocin juga memiliki efek antidiuretik sehingga berpotensi menimbulkan hiponatremia, nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang. Beberapa studi observasional menunjukkan bahwa hipotensi dan takikardia mungkin timbul sebagai efek samping yang terkait dengan dosis.[1,2]

Pemberian Oxytocin Intravena

Oxytocin yang diberikan secara intravena memiliki onset segera dengan durasi kerja yang relatif singkat. Konsentrasinya dalam plasma mencapai kadar plateau dalam 30 menit. Efeknya yang cepat dan puncak konsentrasinya dalam plasma yang lebih tinggi menjadikan oxytocin intravena sangat bermanfaat untuk mencegah perdarahan postpartum.

Akan tetapi, rute intravena juga berpotensi menimbulkan efek samping kardiovaskular, yaitu hipotensi, takikardia, dan kegagalan hemodinamik. Pertimbangan tersebut membuat rute intravena lebih jarang digunakan dalam praktik sehari-hari.[1,5,6]

Terdapat dua cara pemberian oxytocin intravena, yaitu secara bolus atau dengan dilarutkan dalam cairan infus yang diberikan dengan tetesan perlahan. Jika dibandingkan dengan pemberian secara infus, injeksi oxytocin intravena secara bolus dianggap memberikan efek yang lebih cepat dan menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi. Dengan begitu, efek uterotoniknya akan lebih kuat.

Namun, pemberian oxytocin secara bolus intravena berisiko menimbulkan efek samping hipotensi, khususnya pada pasien yang menjalani operasi sectio caesarea dengan anestesi umum. Pada persalinan pervaginam, tidak ditemukan efek samping atau luaran maternal buruk yang berkaitan dengan pemberian oxytocin secara bolus intravena.[4,6]

Pemberian Oxytocin Intramuskular

Oxytocin intramuskular memiliki onset yang lebih lambat, yaitu 3–7 menit. Namun, efek uterotonik oxytocin yang diberikan intramuskular dapat bertahan hingga 60 menit. Dalam praktik sehari-hari, injeksi oxytocin intramuskular lebih sering dipilih karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu tidak memerlukan keahlian khusus serta lebih mudah dan praktis, terutama jika jalur intravena belum terpasang.

Sejauh ini, belum terdapat data yang menunjukkan efek samping kardiovaskular yang serius akibat pemberian oxytocin secara intramuskular.[1,4,5]

Pedoman terkait Pemberian Oxytocin saat Persalinan

Pedoman dari Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) merekomendasikan pemberian oxytocin 10 IU secara bolus intramuskular pada kala III persalinan.[7]

Sementara itu, WHO dan American college of Obstetricians and Gynaecologist (ACOG) merekomendasikan pemberian oxytocin 10 IU secara intramuskular atau injeksi intravena pelan.[1,8]

Efikasi Oxytocin Intravena Vs Intramuskular sebagai Profilaksis Perdarahan Postpartum

Pada tahun 2018, sebuah uji acak terkontrol di Irlandia menganalisis perbandingan antara pemberian oxytocin secara intramuskular dan intravena sebagai profilaksis perdarahan postpartum. Pada 1.075 wanita hamil dengan janin tunggal aterm yang menjalani persalinan pervaginam, tidak ditemukan adanya penurunan angka kejadian perdarahan postpartum yang bermakna pada kelompok oxytocin intravena dibandingkan oxytocin intramuskular.

Namun, oxytocin intravena memberikan penurunan yang bermakna pada kejadian perdarahan postpartum ≥1.000 mL dan kebutuhan transfusi darah. Tidak terdapat perbedaan morbiditas maternal yang bermakna antara kedua kelompok.[5]

Tinjauan sistemik yang dipublikasikan tahun 2020 menganalisis 7 uji acak terkontrol untuk mengetahui perbandingan efikasi serta keamanan pemberian oxytocin intravena dan intramuskular pada kala III persalinan pervaginam. Pemberian oxytocin intravena mengurangi risiko perdarahan postpartum ≥500 mL dan menurunkan kebutuhan transfusi darah. Kedua rute pemberian memiliki profil keamanan yang relatif sama.[3]

Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 232 ibu melahirkan cukup bulan tanpa faktor risiko perdarahan postpartum primer, di mana subjek dibagi menjadi kelompok oksitosin intravena (n = 115) dan intramuskular (n = 117) dalam penatalaksanaan aktif kala III persalinan, yaitu dalam 1 menit setelah kelahiran bayi. Semua peserta menerima 10 IU oksitosin, baik intravena atau intramuskular, dan 1 mL air untuk injeksi sebagai plasebo melalui rute pengganti pemberian oksitosin.[10]

Hasil uji menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok sehubungan dengan rata-rata kehilangan darah postpartum, perubahan hematokrit, dan efek samping.[10] 

Namun, penggunaan uterotonika tambahan secara signifikan lebih tinggi pada kelompok intravena (21,73%) daripada kelompok intramuskular (14,53%). Hal ini karena pemberian intramuskular dianggap memiliki ‘pelepasan obat yang berkelanjutan/terus menerus’, sehingga kontraksi uterus yang terjadi akan berkelanjutan juga.[10]

Keamanan Oxytocin Intravena Vs Intramuskular sebagai Profilaksis Perdarahan Postpartum

Iadapo et al mengemukakan bahwa tidak terdapat peningkatan risiko hipotensi yang bermakna pada pemberian oxytocin intravena dibandingkan intramuskular. Komplikasi maternal seperti histerektomi, kerusakan organ, koma, dan kebutuhan perawatan intensif ditemukan lebih tinggi pada pemberian oxytocin intravena, tetapi temuan tersebut tidak bermakna secara statistik.[3]

Sebuah uji acak terkontrol yang melibatkan 4.913 partisipan meneliti pemberian oxytocin 10 IU yang terbagi menjadi tiga kelompok intervensi, yaitu pemberian secara intramuskular, bolus intravena, dan infus intravena.

Jika dibandingkan dengan oxytocin intramuskular, kejadian perdarahan postpartum ≥500 mL dan rerata volume perdarahan ditemukan lebih rendah pada kelompok infus dan bolus intravena. Tidak terdapat efek samping yang bermakna pada ketiga kelompok tersebut. Namun, penyamaran terhadap intervensi tidak dilakukan sehingga terdapat risiko bias pada studi ini.[4]

Meta analisis yang dipublikasikan tahun 2024 meninjau 9 uji klinis acak terkontrol yang meneliti penggunaan oksitosin intravena dan intramuskular dan memberikan setidaknya satu efek samping. Studi ini melibatkan 8.295 peserta, di mana hasil studi melaporkan 10 efek samping, yaitu hipotensi, anemia, takikardia, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, edema uvular, diare, dan demam. Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan efek samping yang signifikan antara pemberian oxytocin intravena dan intramuskular dalam mencegah perdarahan postpartum pada fase ketiga.[11]

Kesimpulan

Pemberian oxytocin merupakan langkah pencegahan utama pada perdarahan postpartum. Pada persalinan pervaginam, berbagai studi terkini menunjukkan bahwa pemberian oxytocin secara intravena lebih efektif untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan intramuskular.

Injeksi oxytocin secara intravena terbukti aman serta tidak meningkatkan risiko efek samping dan luaran maternal yang buruk. Meskipun demikian, kemungkinan efek samping kardiovaskular harus tetap diantisipasi pada setiap pemberian oxytocin.

Selain mempertimbangkan efek klinis, rute pemberian oxytocin hendaknya disesuaikan dengan ketersediaan alat dan bahan, kemampuan tenaga kesehatan, serta preferensi pasien. Masih diperlukan studi lebih lanjut dengan kualitas metode penyamaran, prosedur, dan keseragaman intervensi yang lebih baik untuk mengurangi bias serta menghasilkan bukti ilmiah yang lebih kuat.

Hingga saat ini, belum ada satu pun studi yang menilai kematian maternal sebagai luaran penelitian. Selain itu, perbandingan efikasi dan keamanan oxytocin berdasarkan masing-masing rute pemberian juga perlu diteliti pada wanita yang menjalani sectio caesarea.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi