Pilihan obat rapid sedation atau rapid tranquilization untuk pasien gaduh gelisah harus diketahui karena merupakan kondisi gawat darurat. Agitasi atau gaduh gelisah dapat membahayakan pasien atau lingkungannya. Agitasi bisa muncul dalam bentuk kegelisahan sampai agresi dan perilaku kekerasan.[1]
Rapid sedation menonjolkan penggunaan obat sedatif benzodiazepine, seperti midazolam, lorazepam, dan diazepam untuk mengendalikan kegelisahan dan perilaku mengancam atau merusak pasien. Sementara rapid tranquilization menggunakan obat-obatan antipsikotik yang umumnya mempunyai efek sedasi lebih ringan, seperti haloperidol, ziprasidone, dan olanzapine.[1,2]
Etiologi Agitasi
Agitasi adalah sindrom yang menggambarkan keadaan dimana terjadi aktivitas psikomotor yang tidak terorganisir dan tidak bertujuan akibat adanya masalah fisik atau mental, yang disertai dengan kegelisahan motorik dan peningkatan sensitivitas terhadap stimulus lingkungan.[1]
Agitasi secara umum bisa dibagi menjadi 3 komponen dasar, yaitu adanya emosi yang kuat, perilaku motorik atau verbal yang berlebihan, dan aktivitas motorik yang tidak bertujuan Agitasi bisa timbul sebagai akibat dari intoksikasi alkohol, intoksikasi zat, gangguan psikiatri, penyakit medis, atau campuran dari faktor-faktor ini.[2,4]
Gaduh gelisah dapat disebabkan oleh masalah fisik atau psikis. Pemeriksaan harus dilakukan secara menyeluruh untuk menentukan penyebab agitasi dan memastikan tingkat keparahan agitasi.[5]
Penatalaksanaan Nonfarmakologi Agitasi
Tujuan utama penatalaksanaan agitasi adalah untuk menurunkan risiko cedera pada pasien dan lingkungan sekitarnya. Pada tahap awal, yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi dan menangani dengan segera penyebab timbulnya agitasi.[2,3]
Umumnya pasien agitasi dapat membahayakan diri dan lingkungan, sehingga diperlukan tips untuk menenangkan pasien agitasi. Pasien harus diisolasi dari pasien lain selama periode agitasi sambil memastikan keamanannya. Stimulasi lingkungan, seperti suara televisi, radio, dan bising, sebaiknya dihilangkan. Pada tahap awal, manajemen agitasi dilakukan dengan pendekatan noninvasif, seperti de-eskalasi verbal, menenangkan pasien, restraint fisik, atau seklusi.[3]
Pilihan Terapi Farmakologi untuk Manajemen Agitasi
Indikasi pemberian terapi farmakologis adalah bila upaya-upaya konservatif noninvasif gagal, timbul kondisi bahaya yang mengancam, atau bila agitasi disebabkan oleh intoksikasi zat. Tujuan intervensi farmakologis adalah menenangkan pasien secepatnya untuk menurunkan gejala agitasi dan agresi, tanpa menimbulkan sedasi yang terlalu dalam atau terlalu lama.[6]
Intervensi farmakologis yang ideal adalah yang bisa menenangkan pasien, tetapi pasien tetap sadar atau setidaknya responsif terhadap stimulus lingkungan. Pasien yang masih sadar akan terjaga jalan nafasnya dan resiko terjadinya depresi pernafasan lebih rendah.[6]
Prinsip intervensi farmakologis adalah sebisa mungkin menghindari polifarmasi, menggunakan dosis efektif paling kecil, dan memberikan obat oral. Injeksi intramuskular hanya dipilih apabila obat peroral tidak berhasil.[6]
Dalam setting klinis, pemberian obat kombinasi dan intramuskular lebih sering dilakukan karena pasien agitasi umumnya sulit diberikan sediaan oral. Penggunaan obat kombinasi berhubungan dengan onset sedasi yang lebih cepat, kebutuhan sedasi ulang yang lebih sedikit (durasi yang lebih panjang), dan penggunaan dosis benzodiazepine yang lebih rendah.[4]
Obat-obat yang banyak digunakan ada 4 golongan, yaitu:
- Antipsikotik tipikal: chlorpromazine, haloperidol
- Antipsikotik atipikal: ziprasidone, olanzapine
- Benzodiazepine: midazolam, lorazepam, diazepam
- Barbiturat: tidak lagi direkomendasikan karena profil efek samping yang buruk[1,2,6]
Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik tipikal yang direkomendasikan untuk penanganan agitasi adalah haloperidol dan chlorpromazine. Penggunaan haloperidol harus dibatasi karena memiliki risiko efek samping ekstrapiramidal. Namun injeksi haloperidol tersedia luas, terutama di fasilitas kesehatan di Indonesia, sehingga obat ini masih menjadi pilihan untuk agitasi.
Chlorpromazine tidak lagi direkomendasikan karena efek samping hipotensi ortostatik dan pemanjangan interval QT.[1,2]
Antipsikotik Atipikal
Antipsikotik atipikal yang bisa diberikan pada pasien dengan agitasi adalah ziprasidone, olanzapine, dan aripiprazole. Antipsikotik atipikal saat ini menjadi rekomendasi lini pertama untuk agitasi, khususnya pada pasien skizofrenia dan gangguan bipolar. Olanzapine direkomendasikan karena mempunyai onset yang lebih cepat dibandingkan antipsikotik lainnya.[1,2]
Benzodiazepine
Sediaan benzodiazepine yang sering direkomendasikan untuk pasien agitasi adalah injeksi diazepam, lorazepam, dan midazolam. Keunggulan midazolam adalah efektif untuk mengendalikan agitasi motorik, waktu paruh yang relatif singkat, dan efek sedasi yang adekuat.
Lorazepam adalah sediaan yang cepat diabsorbsi dengan sempurna setelah injeksi intramuskular. Sedangkan diazepam menjadi pilihan bila dibutuhkan sedasi jangka panjang.[1,2]
Patut diketahui bahwa pemberian benzodiazepine hanya menyamarkan dan bukan mengatasi penyebab agitasi. Pada pasien-pasien dengan agitasi yang mempunyai patofisiologi dasar gangguan psikiatri, maka penggunaan antipsikotik lebih direkomendasikan. Pemberian antipsikotik bisa langsung menyasar sumber penyebab agitasi.[6]
Pada pasien agitasi karena gangguan psikotik, tujuan manajemen adalah menenangkan dan bukan menidurkan pasien. Bila memang dibutuhkan sedasi, maka antipsikotik bisa dikombinasi dengan benzodiazepine. Kombinasi dengan benzodiazepine akan meningkatkan risiko efek samping seperti depresi pernafasan atau ataksia, sehingga membutuhkan monitoring. Benzodiazepine juga sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan delirium atau cedera kepala.[1,6]
Perbandingan antara Terapi Farmakologi
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membandingkan efikasi dan keamanan obat-obatan rapid sedation dan rapid tranquilizer dalam penanganan pasien gaduh gelisah.
Penelitian Penggunaan Midazolam
Penelitian oleh Klein et al, pada tahun 2018, melaporkan bahwa efek rapid sedation midazolam superior bila dibandingkan dengan ziprasidone, haloperidol 5 mg, dan haloperidol 10 mg, dalam 15 menit setelah pemberian. Sedangkan dengan olanzapine, efek midazolam setara. Namun, durasi kerja midazolam relatif singkat (waktu paruh 1‒4 jam), sehingga diperlukan dosis tambahan bila ada kekhawatiran rekurensi agitasi.[2]
Hal ini patut dijadikan pertimbangan ketika harus memilih antara midazolam dan haloperidol.[2]
Penelitian terdahulu pada tahun 2013 melaporkan bahwa midazolam akan lebih efektif bila diberikan dalam kombinasi dengan antipsikotik, seperti olanzapine atau droperidol. Pemberian intravena droperidol atau olanzapine setelah sedasi dengan midazolam mempercepat sedasi dan mengurangi keperluan dosis sedatif tambahan. Profil efek samping penggunaan midazolam sebagai agen tunggal dan sebagai kombinasi dilaporkan relatif sama.[4]
Penelitian Penggunaan Droperidol
Droperidol menjadi pilihan untuk kasus-kasus agitasi akibat intoksikasi alkohol. Meskipun droperidol dilaporkan sama efektif dengan olanzapine, tetapi obat ini belum tersedia di Indonesia. Selain itu, obat ini lebih efektif, onset lebih cepat, dan efek samping sindrom ekstrapiramidal (EPS) lebih rendah daripada haloperidol.[6]
Penelitian Penggunaan Aripiprazole
Analisis Cochrane mengevaluasi efek aripiprazole intramuskuler dalam pengobatan agresi atau agitasi yang diinduksi psikosis. aripiprazole dipercaya memiliki efek penenang yang cepat. Hasil analisis menemukan beberapa bukti bahwa aripiprazole efektif dibandingkan dengan plasebo dan haloperidol, tetapi tidak jika dibandingkan dengan olanzapine. Namun, analisis ini hanya berasal dari 3 penelitian, sehingga masih diperlukan uji coba yang lebih berkualitas tinggi.[10]
Penelitian Penggunaan Ketamine
Untuk pasien-pasien agitasi yang sulit ditangani dengan rapid sedation konvensional, maka ketamine bisa menjadi pilihan. Ketamine adalah obat anestesi yang dapat diberikan untuk augmentasi, bila pemberian antipsikotik dan/atau benzodiazepine tidak efektif.[7,8]
Ketamine dilaporkan lebih cepat dalam mengendalikan agitasi dibandingkan benzodiazepine dan haloperidol, terutama pada pasien dengan agitasi berat. Namun, sama seperti benzodiazepine, pemberian ketamine hanya meredakan agitasi dan tidak mengatasi penyebab agitasi. Selain itu, terdapat penelitian yang menunjukkan pasien membutuhkan pemberian ulang ketamine. Efek samping disosiatif akibat pemberian ketamin juga perlu diwaspadai.[7,8]
Penelitian oleh Olives et al menemukan bahwa sebagian besar pasien membutuhkan intubasi (63%) setelah pemberian ketamine untuk mengendalikan agitasi. Walaupun demikian, analisis lanjutan setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor perancu potensial menunjukkan bahwa dosis ketamine tidak berkaitan dengan risiko intubasi.[9]
Monitoring Penggunaan Terapi Farmakologi
Setelah rapid sedation atau rapid tranquilization, maka harus dilakukan monitoring ketat untuk tekanan darah, nadi, temperatur, pernafasan, dan status hidrasi secara teratur. Hal ini penting karena terdapat risiko depresi pernapasan dan hipotensi. Bila tidak terdeteksi dan tertangani secara cepat, maka dapat timbul cardiopulmonary arrest.[1,4]
Pasien harus selalu ditempatkan di lingkungan yang terlindung dan mudah dievaluasi. Bila terjadi efek samping yang berat maka pasien harus segera ditransfer untuk penanganan intensif. Pasca penanganan akut agitasi, bila pasien tetap membutuhkan obat, maka direkomendasikan untuk diberikan sediaan oral.[1,4]
Kesimpulan
Penanganan agitasi harus mengedepankan intervensi noninvasif. Intervensi farmakologis hanya diberikan bila upaya-upaya noninvasif gagal dan ada bahaya yang jelas mengancam pasien. Midazolam dilaporkan superior untuk rapid sedation bila dibandingkan dengan haloperidol dan ziprasidone. Efeknya setara bila dibandingkan dengan olanzapine.
Superioritas midazolam akan lebih terlihat bila digunakan dalam kombinasi dengan olanzapine. Midazolam direkomendasikan untuk agitasi motorik. Bila diperlukan absorbsi intramuskular yang cepat, maka lorazepam bisa menjadi pilihan.
Meskipun midazolam dilaporkan lebih efektif dalam menimbulkan rapid sedation, tetapi pemilihan obat untuk rapid sedation juga harus mempertimbangkan patofisiologi yang mendasari agitasi. Untuk pasien-pasien dengan dasar patofisiologi gangguan psikiatri atau masalah psikologis lainnya, penggunaan antipsikotik akan lebih banyak memberikan keuntungan.
Antipsikotik atipikal merupakan pilihan yang terbaik karena profil efek samping yang lebih aman. Namun mengingat ketersediaan dan biaya, maka antipsikotik tipikal haloperidol juga patut dipertimbangkan, tentunya disertai dengan pemantauan untuk timbulnya efek samping.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini