Nyeri pada dismenore primer (primary dysmenorrhea) harus ditangani baik dengan terapi nonfarmakologi maupun farmakologi. Bila tidak ada perbaikan klinis setelah 3−6 bulan pengobatan, maka perlu diperiksa lebih lengkap lagi untuk mengetahui kemungkinan adanya penyebab kelainan panggul atau dismenore sekunder.[1]
Dismenore primer didefinisikan sebagai nyeri menstruasi yang tidak disertai adanya kelainan atau patologi panggul, seperti infeksi, inflamasi, endometriosis, tumor, atau kanker. Gejala dismenore primer adalah kram dan sakit perut dengan intensitas sedang sampai berat selama menstruasi. Kondisi ini merupakan faktor yang mendorong seorang remaja berkonsultasi ke dokter spesialis ginekologi.[1-3]
Etiologi dan Prevalensi Dismenore Primer
Dismenore primer pada umumnya terjadi pada usia remaja, setelah muncul siklus ovulatorik. Rasa sakit saat menstruasi disebabkan kadar prostaglandin yang tinggi saat terlepasnya endometrium. Prostaglandin menyebabkan hiperkontraktilitas miometrium sehingga otot rahim mengalami hipoksia dan iskemia yang kemudian menimbulkan persepsi nyeri.[1,2,4]
Prevalensi dismenore primer cukup tinggi, tetapi tidak terdiagnosis dengan baik dan tidak mendapatkan terapi pengobatan yang optimal. Pasien kadang tidak menghiraukan kondisi tersebut karena menganggapnya sebagai gejala wajar yang memang harus dirasakan selama menstruasi. Penelitian oleh Hong et al melaporkan bahwa 16−90% wanita usia reproduksi pernah mengalami dismenore primer.[2,6]
Dampak Buruk Dismenore Primer
Gejala khas dismenore primer adalah nyeri perut bagian bawah atau panggul, yang dapat menjalar ke pinggang sampai ke paha. Gejala biasanya mulai timbul sekitar 6−12 bulan setelah menarch, atau sebagian penulis mengatakan 6−24 bulan setelah menarch. Insidensi dismenore primer gejala sedang sampai berat akan menurun bersamaan dengan bertambahnya umur.[2-4]
Nyeri biasanya terjadi pada permulaan menstruasi, dan dapat dirasakan selama 8−72 jam. Gejala lain yang mungkin muncul adalah nyeri punggung bawah, sakit kepala, diare, fatigue, mual, atau muntah. Gejala akan menghilang pada hari ke-2 atau ke-3 siklus menstruasi.[2-4]
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dismenore primer dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas hidup, termasuk ketidakhadiran sekolah. Dismenore merupakan penyebab paling umum remaja perempuan tidak datang ke sekolah. Hong et al melaporkan bahwa sekitar 2−29% perempuan dengan dismenore mengalami nyeri yang cukup berat sehingga harus istirahat di tempat tidur.[1,2,5,6]
Penanganan Dismenorea Primer
Penanganan dismenorea primer dibutuhkan pemahaman dan kerjasama yang baik antara pasien yang umumnya remaja, orang tua dan keluarga, serta petugas kesehatan, agar pasien mendapatkan pengobatan yang optimal dengan efek samping yang minimal. Tujuan utama terapi adalah mengurangi nyeri dan gejala lain, sehingga kegiatan dan aktifitas harian bisa dilakukan, serta kualitas hidup pasien terjaga dengan baik.[4,7]
Pasien dismenore primer dapat diberikan terapi untuk menghambat produksi prostaglandin dan menghambat sensasi nyeri. Terapi dapat berupa nonfarmakologi dan farmakologi. Terapi farmakologi terdiri dari obat hormonal dan nonhormonal.[7]
Penanganan Farmakologi Hormonal
Pilihan terapi hormonal untuk dismenore primer adalah pil kontrasepsi, yang berfungsi untuk menghambat ovulasi, mencegah endometrium berproliferasi, serta menurunkan kadar prostaglandin dan vasopressin. Terapi hormonal bisa diberikan secara oral, transdermal, intravaginal, dan intrauterin.[2,4,8]
Terapi hormonal mempunyai dua keuntungan, yaitu mengobati dismenore dan memperbaiki gangguan menstruasi yang ada. Namun, beberapa kekurangan dari terapi ini adalah bukti terkait manfaat pil kontrasepsi sebagai terapi dismenore primer masih terbatas, umumnya disertai pemberian obat analgesik, dan risiko efek samping seperti penambahan berat badan dan tromboemboli vena.[7]
Obat-obat hormonal yang dianjurkan adalah pil kontrasepsi kombinasi, baik monofasik atau multifase, yaitu:
- Norgestimate/ethinyl estradiol: 0,25 mg / 0,035 mg
- Norethindrone/ethinyl estradiol: 1 mg / 0,035 mg
Levonorgestrel/ethinyl estradiol: 90 mcg / 20mcg[3]
Atau kontrasepsi hormonal lainnya seperti:
- Implant mengandung etonogestrel, seperti Nexplanon®
- RIng vagina/pessarium mengandung etonogestrel/ethinyl estradiol 0,12 mg atau 0,015 mg
- Intrauterine device (IUD) mengandung progestin, seperti Mirena®
- Injeksi medroksiprogesteron 150 mg, seperti Depo-Provera®[3]
Penanganan Farmakologi Nonhormonal
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dapat menghambat jalur enzim siklooksigenase (COX)-1 dan COX-2, sehingga terjadi inhibisi metabolisme asam lemak dan asam arakidonat menjadi prostaglandin. Menghambat prostaglandin akan menurunkan kontraksi miometrium yang merupakan mekanisme dismenore.[7-9]
Obat dan dosis yang direkomendasikan adalah:
Ibuprofen: dosis 800 mg, dilanjutkan 400−800 mg setiap 8 jam
- Naproxen: dosis 400−550 mg, dilanjutkan 220−550 mg setiap 12 jam
Asam mefenamat: dosis 500 mg, dilanjutkan 250 mg setiap 6 jam
- Natrium diklofenak: dosis 100 mg, dilanjutkan 50 mg setiap 6−8 jam[7-9]
Dianjurkan untuk mengonsumsi 1−2 hari sebelum menstruasi, selama 2−3 hari pertama menstruasi, atau selama nyeri haid dirasakan. Pengobatan OAINS untuk dismenore setidaknya diberikan selama 3 periode siklus menstruasi.[7,9]
Khusus untuk OAINS COX-2, seperti celecoxib, rofecoxib, dan valdecoxib, tidak dianjurkan untuk dismenore primer. Walaupun efektif tetapi mempunyai efek samping dan komplikasi ke jantung.[7]
Cochrane pada tahun 2015 melaporkan studi analisis terhadap 80 uji coba terkontrol secara acak mengenai penggunaan OAINS pada 5820 wanita dengan dismenore primer. Didapatkan uji coba yang membandingkan 20 jenis OAINS dengan plasebo, parasetamol, atau satu sama lain obat. Kesimpulan studi melaporkan bahwa OAINS dapat menjadi pengobatan yang sangat efektif untuk dismenore. Namun, perlu mewaspadai risiko efek samping obat serta tidak ada cukup bukti untuk menentukan salah satu obat yang yang paling aman dan paling efektif. Kualitas bukti uji coba rendah untuk sebagian besar uji, terutama karena pelaporan metode yang buruk.[12]
Penanganan Nonfarmakologi
Upaya menangani dismenore selain obat-obatan di antaranya akupunktur dan yoga. Beberapa penelitian memberikan hasil bahwa akupunktur atau yoga efektif sebagai modalitas manajemen nyeri akibat dismenore primer. Namun, kebanyakan penelitian hanya melibatkan jumlah subjek yang kecil sehingga memiliki banyak keterbatasan, bias, dan masih perlu ditelaah.
Akupunktur
Penelitian oleh Shetty et al pada tahun 2018 menunjukkan adanya penurunan dan pengurangan gejala-gejala klinis secara signifikan seperti nyeri, kram, sakit kepala, pusing, diare, pingsan, perubahan suasana hati, kelelahan, mual, dan muntah pada kelompok yang diberikan terapi akupunktur dibanding kontrol. Subjek penelitian hanya 60 sampel yang dibagi dua kelompok, pada kelompok studi diberikan akupunktur 20 menit/hari, selama 15 hari/bulan, dan dilakukan hingga 90 hari. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan metode blinding, baik pada subjek maupun peneliti.[10]
Yoga
Banyak penelitian yang melaporkan yoga dapat mengurangi nyeri haid. Teknik yoga merupakan kombinasi dari senam dengan berbagai posisi badan, teknik pernafasan, dan meditasi atau relaksasi. Yoga dipercaya dapat meningkatkan kebugaran badan serta menghilangkan stress. Olahraga ini sudah sering digunakan untuk terapi komplemen pada pasien hipertensi, hiperkolesterolemia, migrain, sakit kepala, asma, sakit punggung, diabetes mellitus, dan sindrom menopause.[11]
Penelitian oleh Yonglitthipagon et al. pada tahun 2017 melaporkan bahwa yoga dapat mengurangi nyeri haid dan dapat memperbaiki kualitas hidup penderita. Penelitian ini melibatkan 34 sampel usia 18−22 tahun, dan dibagi menjadi dua kelompok. Pada kelompok studi diberikan pelatihan yoga selama 20 menit/hari, 2 kali/minggu, selama periode 12 minggu. Penelitian ini juga tidak dilakukan metode blinding pada subjek dan peneliti, sehingga meningkatkan risiko bias.[11]
Kompres Hangat
Penelitian oleh Yani Widyastuti et al, terhadap 44 responden remaja dengan dismenore primer, menunjukkan adanya penurunan rasa nyeri yang signifikan setelah pemberian terapi kompres hangat/warm compress dan aromaterapi lavender. Namun, pemberian kompres hangat lebih efektif daripada aromaterapi lavender.[13]
Thabet et al. melibatkan 90 mahasiswi dengan dismenore primer sedang hingga berat pada November 2019 ‒ Februari 2020 untuk meneliti peran nonfarmakologi dalam penanganan nyeri haid. Peserta secara acak dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok eksperimen posisi lutut-dada dan kelompok kompres hangat, serta kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok kompres hangat lebih signifikan untuk mengurangi nyeri haid.[14]
Penelitian lain, yang melibatkan 150 siswa keperawatan di Mesir, bahkan menganjurkan untuk menggunakan metode tradisional pada awal menstruasi untuk meredakan dismenore, termasuk mandi air hangat, memijat perut, dan ramuan alami.[15]
Pijat/Massage
Salah satu metode alternatif yang digunakan untuk mengurangi nyeri saat haid adalah aromaterapi yang dengan cara dioleskan/dipijat pada perut. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa pijat dengan minyak lavender dapat lebih mengurangi nyeri pada dismenore primer daripada pijat dengan minyak plasebo.[16-18]
Kesimpulan
Dismenore primer merupakan masalah yang sering dihadapi oleh wanita usia remaja, yang bila tidak mendapatkan pengobatan dengan baik dapat mengganggu kualitas hidupnya. Banyak dari remaja yang tidak bisa hadir ke sekolah atau aktifitas lainnya, karena merasakan nyeri yang hebat dan harus istirahat di tempat tidur. Tujuan pengobatan dismenore primer adalah untuk menghambat produksi prostaglandin dan menghambat sensasi nyeri.
Penanganan nyeri pada pasien dismenore primer terdiri dari terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi farmakologi terdiri dari obat hormonal yaitu pil kontrasepsi kombinasi, dan obat nonhormonal dengan pilihan pertama adalah obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Pemberian obat-obatan harus diperhatikan risiko efek samping.
Berdasarkan beberapa penelitian, terapi nonfarmakologi yang dipercaya dapat mengurangi nyeri haid di antaranya akupunktur, yoga, kompres hangat, dan pijat/massage. Namun, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang terbaru mengenai efektivitas masing-masing teknik tersebut sebagai pilihan terapi dismenore primer.