COVID-19 rebound dilaporkan terjadi pada beberapa pengguna obat Paxlovid™, yang merupakan suatu antivirus oral yang terdiri dari nirmatrelvir dan ritonavir. Rebound yang dimaksud adalah timbulnya kembali gejala COVID-19 pada pasien yang sebelumnya sudah membaik, atau berubahnya hasil tes antigen dan PCR COVID-19 menjadi positif pada pasien yang sebelumnya sudah menunjukkan hasil tes negatif.[1,2]
Paxlovid™ diindikasikan untuk pasien COVID-19 ringan hingga sedang yang tidak memerlukan rawat inap tetapi memiliki risiko tinggi untuk mengalami progresivitas ke COVID-19 berat. Beberapa contoh faktor risiko yang dimaksud adalah diabetes mellitus tipe 1 atau tipe 2, keganasan, penyakit serebrovaskular, penyakit paru kronis, penyakit jantung, serta obesitas.[1,2]
Studi dari produsen Paxlovid™ menunjukkan penurunan angka rawat inap sekitar 89% pada pengguna Paxlovid™. Namun, studi tersebut dilakukan pada kebanyakan orang yang belum divaksinasi atau belum pernah terinfeksi COVID-19. Studi yang lebih baru saat ini sedang berlangsung untuk mengetahui apakah Paxlovid™ juga memiliki efikasi yang serupa untuk pasien yang sudah divaksinasi atau sudah pernah terinfeksi.
Paxlovid™ diberikan dalam 5 hari sejak onset gejala dan diharapkan dapat mengurangi risiko progresivitas COVID-19. Penggunaan Paxlovid™ telah mendapat izin Emergency Use Authorization dari FDA untuk pasien dewasa dan anak-anak berusia 12 tahun ke atas dengan berat badan minimal 40 kg.[1,2]
Namun, beberapa laporan kasus mendokumentasikan bahwa sebagian pasien yang mendapat Paxlovid™ mengalami COVID-19 rebound sekitar 2–8 hari setelah terapi Paxlovid™ tuntas. Beberapa ahli menduga bahwa hal ini disebabkan oleh Paxlovid™, sedangkan beberapa ahli menduga bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh perjalanan alami penyakit atau oleh reinfeksi SARS-CoV-2.[1,2]
Kemungkinan Penyebab COVID-19 Rebound
Ada berbagai perbedaan pendapat mengenai kemungkinan etiologi COVID-19 rebound. Pada 24 Mei 2022, CDC menyatakan bahwa kembalinya gejala klinis atau rebound mungkin merupakan bagian dari perjalanan alami infeksi SARS-CoV-2 pada sebagian orang, terlepas dari terapi Paxlovid™ maupun status vaksinasinya.[3]
FDA juga menyadari bahwa beberapa pasien yang mendapat Paxlovid™ menunjukkan hasil tes COVID-19 positif setidaknya satu kali setelah memperoleh hasil negatif. Akan tetapi, FDA mengutip data dari uji klinis EPIC-HR (Evaluation of Protease Inhibition for COVID-19 in High-Risk Patients) yang menyatakan bahwa sekitar 1–2% pasien dari grup plasebo maupun grup Paxlovid™ sama-sama memperoleh hasil tes positif setelah sebelumnya negatif. Oleh sebab itu, rebound belum tentu berkaitan dengan terapi.[3,4]
David Ho yang mengamati data National Basketball Association (NBA) yang melakukan tes COVID-19 tiap hari terhadap personelnya memiliki pendapat yang berbeda. Menurut Ho, rebound bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakit alami COVID-19. Dalam pengamatannya sejak 14 Desember 2021 sampai 1 Maret 2022, rebound terjadi di lapangan tetapi tidak terjadi pada 1.000 personel yang tidak mendapat Paxlovid™.[3]
Ho sendiri merupakan salah satu penderita COVID-19 rebound yang dijabarkan dalam analisis tersebut. Ho mengambil sampel virusnya sendiri saat infeksi awal dan rebound, lalu melakukan sequence pada kedua sampel tersebut. Hasil keduanya tampak identik, sehingga menyingkirkan kemungkinan rebound terjadi akibat reinfeksi.[3]
Beberapa ahli penyakit infeksi lain menduga bahwa rebound terjadi karena Paxlovid™ diberikan terlalu dini, sehingga virus langsung tertekan dan sistem imun tidak sempat merespons sebagaimana mestinya. Namun, teori ini juga belum didukung oleh bukti yang adekuat. Suatu studi lain menemukan bahwa rebound juga terjadi dalam tingkat yang serupa pada pengguna molnupiravir.[2,3]
Dampak Klinis dari COVID-19 Rebound
Menurut analisis terhadap 10 kasus rebound dalam studi Charness, et al., viral load SARS-CoV-2 pada masa rebound serupa dengan viral load pada infeksi awal. Hal ini mengkhawatirkan karena pasien yang mengalami rebound mungkin menginfeksi orang lain. Dalam studi ini sendiri, terjadi penularan COVID-19 dari dua pasien rebound ke orang lain.[3,5]
Studi tersebut menyimpulkan bahwa pasien rebound harus diisolasi lagi sampai hasil tesnya menjadi negatif. Namun, tes antigen maupun PCR COVID-19 yang dilakukan secara berulang akan menyia-nyiakan banyak sumber daya, terutama jika hasil tes tidak akan memengaruhi penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien.[3,5]
Menurut laporan-laporan kasus yang ada saat ini, gejala COVID-19 rebound biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam 3 hari (rata-rata) tanpa membutuhkan terapi antivirus lagi. Gejala rebound juga biasanya hanya bersifat ringan, seperti gejala flu-like, fatigue, dan sakit kepala.[1,5,6]
Kesimpulan
Beberapa laporan kasus dan studi kohort retrospektif menunjukkan bahwa sebagian pasien yang sudah membaik setelah terapi Paxlovid™ mengalami rebound gejala COVID-19 lagi. Sebagian pasien juga menunjukkan hasil tes antigen atau PCR yang positif lagi padahal sebelumnya sudah menunjukkan hasil tes negatif.
Penyebab rebound ini belum diketahui dengan pasti karena mayoritas data yang ada saat ini masih berasal dari laporan kasus atau studi preprint dengan jumlah sampel terbatas. Ada studi yang menunjukkan bahwa rebound juga terjadi pada pasien di grup plasebo yang tidak menerima Paxlovid™, tetapi ada studi yang menyatakan bahwa rebound hanya terjadi pada pengguna Paxlovid™. Teori tentang penyebab rebound ini sangat variatif, yaitu efek obat antivirus, perjalanan alami penyakit, atau reinfeksi.
Bila didasarkan pada bukti yang ada saat ini, orang dengan gejala COVID-19 rebound mungkin bisa menulari orang lain, sehingga membutuhkan isolasi lagi. Akan tetapi, tes antigen dan PCR yang dilakukan berulang untuk menentukan kapan isolasi berakhir dapat menghabiskan sumber daya secara sia-sia, terutama bila hasil tes tidak akan memengaruhi penatalaksanaan pasien. Gejala COVID-19 rebound bersifat ringan dan rata-rata akan menghilang dalam 3 hari tanpa memerlukan terapi antivirus lagi.