Di masa lalu, durasi puasa sebelum operasi yang dianjurkan untuk pasien adalah sejak tengah malam sebelum hari operasi. Namun, rekomendasi terbaru menyatakan bahwa durasi puasa yang berkepanjangan sebenarnya belum terbukti bermanfaat dan justru diduga bisa menimbulkan efek negatif seperti dehidrasi.
Puasa sebelum operasi dilakukan untuk mencegah aspirasi makanan ke saluran napas. Kekhawatiran aspirasi ini muncul di pertengahan abad 19 ketika ada tentara di Burma meninggal setelah operasi akibat adanya muntahan di jalan napas. Walaupun panduan sederhana tentang puasa sebelum operasi telah diperkenalkan sejak awal abad 20, praktik puasa berkepanjangan sejak tengah malam sebelum operasi telah menjadi suatu dogma yang sulit diubah.[1]
Bukti terkini menunjukkan bahwa secara fisiologis, cairan bening dikosongkan dari lambung dalam kurun waktu 2 jam sejak dikonsumsi. Tidak ada perbedaan bermakna volume cairan lambung antara individu yang terakhir minum 2 jam sebelum operasi dan individu yang puasa sejak 12–16 jam sebelum operasi elektif.[2]
Temuan tersebut dan banyak bukti ilmiah lainnya mengantarkan para ahli anestesi modern pada perubahan paradigma tentang durasi optimal puasa bagi pasien yang hendak menjalani operasi, termasuk tipe makanan yang boleh dikonsumsi mendekati waktu operasi dan yang perlu dihentikan sejak beberapa jam sebelumnya.[3,4]
Tujuan Puasa sebelum Operasi
Secara umum, puasa sebelum operasi bertujuan untuk menurunkan risiko terjadinya pneumonia aspirasi. Insiden dan keparahan pneumonia aspirasi pascaoperasi diduga berkaitan dengan volume dan keasaman cairan lambung yang masuk ke jalan napas. Namun, karena alasan etik, belum ada penelitian pada manusia yang mempelajari pengaruh berbagai volume dan tingkat keasaman cairan lambung yang masuk ke saluran napas terhadap kejadian pneumonia aspirasi.
Pada akhirnya, para ahli berpendapat bahwa pH cairan lambung >2,5 dan volume cairan lambung <25 ml menjadi batasan konvensional yang aman (berisiko rendah aspirasi). Untuk menurunkan volume cairan lambung dan menjaga tingkat keasaman yang tepat, puasa pre-operative menjadi rekomendasi bagi semua pasien dari berbagai kelompok usia.[5,6]
Efek Puasa sebelum Operasi terhadap Volume Plasma dan Status Hidrasi
Puasa sebelum operasi (pre-operative) diduga memiliki efek negatif berupa dehidrasi dan hipovolemia. Namun, hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan volume darah sebelum dan setelah puasa untuk menguji dugaan tersebut.
Terdapat data dari penelitian terhadap 53 pasien wanita yang menjalani pembiusan umum yang didahului puasa pre-operative selama 10 jam. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa rerata volume plasma para partisipan tidak berbeda bermakna dengan rerata volume plasma individu sehat yang tidak puasa (4123 ± 589 ml vs 3882 ± 366 ml; p > 0,05).[7]
Namun, hasil tersebut perlu dicermati secara hati-hati mengingat pengukuran volume plasma sebelum puasa tidak dilakukan dan seluruh partisipan merupakan pasien dengan keganasan serviks yang akan menjalani histerektomi, sehingga bersifat tidak representatif untuk spektrum pasien pembedahan lainnya.[7]
Sejalan dengan temuan tersebut, studi lain menemukan bahwa puasa 8 jam sebelum operasi tidak berkaitan dengan perubahan hemodinamik maupun hipovolemia. Dengan menggunakan elevasi tungkai secara pasif sebagai pengganti indikator respons hemodinamik, 100 pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi. Lalu, peneliti menilai respons pasien terhadap uji elevasi tungkai, tekanan pengisian, dan volume sekuncup jantung dengan echocardiography.[7]
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa puasa 8 jam tidak meningkatkan proporsi pasien yang memiliki hasil uji elevasi tungkai positif. Selain itu, tidak ada perubahan bermakna pada indikator hemodinamik saat echocardiography. Temuan ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa belum ada bukti tegas tentang pengaruh puasa pre-operative secara negatif terhadap perubahan volume plasma dan status hidrasi pasien pembedahan.[7]
Bukti Ilmiah tentang Durasi Puasa sebelum Operasi yang Aman
Walaupun puasa hingga 8–10 jam pre-operative tidak menunjukkan efek fisiologis yang membahayakan status volume plasma pasien, hal tersebut bukan menjadi landasan bukti ilmiah utama dan aman untuk menyarankan pasien puasa sejak tengah malam sebelum operasi.
Bukti tentang Durasi Puasa sebelum Operasi pada Orang Dewasa
Untuk puasa pada orang dewasa, bukti terkini bahkan menunjukkan bahwa konsumsi cairan bening (air, jus bening, kopi, dan teh tanpa susu) hingga 2 jam sebelum operasi dianggap aman untuk dilakukan oleh pasien yang akan menjalani operasi elektif.[3,4]
Hal ini didasarkan pada temuan meta analisis yang menyatakan bahwa puasa 2–4 jam sebelum operasi, dibandingkan puasa >4 jam seperti sebelumnya, berkaitan dengan penurunan keluhan haus dan lapar secara subjektif. Puasa hanya 2–4 jam juga berkaitan dengan indikator risiko aspirasi yang minimal (volume cairan lambung <25 ml serta pH lambung >2,5).[4]
Namun, untuk saat ini, belum ada bukti ilmiah untuk menegaskan batasan waktu puasa makanan padat yang aman sebelum operasi. Suatu studi menunjukkan bahwa makanan ringan (roti panggang dan teh) yang dikonsumsi 2–4 jam sebelum operasi tidak meningkatkan volume cairan lambung saat induksi anestesi dilakukan.
Namun, hubungannya dengan risiko pneumonia aspirasi masih perlu diteliti lebih lanjut karena masih terdapat kemungkinan adanya residu makanan padat di lambung yang belum dapat dievaluasi secara sempurna berdasarkan metode yang ada saat ini. Atas pertimbangan tersebut, para ahli menetapkan konsensus untuk membatasi asupan makanan padat setidaknya 6 jam sebelum operasi.[3]
Bukti tentang Durasi Puasa sebelum Operasi pada Anak-Anak
Bukti ilmiah tentang batasan waktu puasa makanan dan minuman pre-operative bagi anak-anak yang akan menjalani pembedahan menunjukkan bahwa konsumsi cairan 2 jam sebelum operasi tidak berkaitan dengan penurunan volume cairan lambung saat induksi anestesi.
Lebih lanjut lagi, tidak ada perbedaan bermakna volume lambung setelah konsumsi makanan ringan baik 4 jam maupun 6 jam sebelum operasi. Akibatnya, sebagian ahli mempertimbangkan kembali ke praktik puasa total (nil by mouth) untuk mengurangi risiko aspirasi. Sebagian ahli lain justru berpendapat bahwa durasi puasa diperpendek menjadi 2 jam saja mengingat hal tersebut tidak berkaitan dengan penurunan volume lambung yang menjadi prediktor risiko aspirasi.[8]
Anak-anak secara fisiologis memiliki laju metabolik yang lebih tinggi dan cadangan glikogen yang lebih rendah daripada orang dewasa. Hal tersebut meningkatkan risiko hipoglikemia akibat puasa yang terlalu lama sebelum operasi. Bahkan, terdapat bukti insiden hipoglikemia sebesar 28% pada balita-balita yang dipuasakan ≥6 jam sebelum operasi.
Atas pertimbangan tersebut, pasien anak yang akan menjalani pembedahan disarankan untuk puasa makanan padat (termasuk makanan semi padat dan produk susu) sejak 6 jam dan puasa cairan bening sejak 2 jam sebelum induksi anestesi. Hal ini dianggap bermanfaat untuk memastikan agar pasien anak menjadi tenang, tidak rewel akibat lapar maupun haus berlebihan, serta terhindar dari risiko gangguan metabolik akibat puasa yang berkepanjangan.[8]
Kesimpulan
Pasien dewasa dan anak-anak disarankan untuk puasa minum cairan bening (termasuk air, teh, dan kopi tanpa susu) sejak 2 jam sebelum induksi anestesi. Sementara itu, puasa makanan padat (termasuk makanan semi-padat dan produk susu) pada pasien dewasa dan anak-anak sebaiknya dilakukan sejak 6 jam sebelum induksi anestesi.
Namun, penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk mengevaluasi apakah durasi puasa makanan dan minuman pada anak-anak dapat lebih dipersingkat. Selain itu, studi yang meninjau ulang relevansi parameter tradisional (volume dan keasaman lambung) yang selama ini dijadikan indikator risiko pneumonia aspirasi juga masih perlu dilakukan.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur