Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang diberikan terapi bronkodilator kerja panjang seperti long acting β agonist (LABA) dan long acting muscarinic antagonists (LAMA) memiliki dampak peningkatan kejadian kardiovaskular hingga 1,5 kali lipat pada 30 hari pertama pemberian terapi.
Bronkodilator kerja panjang yaitu long acting β agonist (LABA) dan long acting muscarinic antagonists (LAMA) adalah obat utama untuk penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau pada pasien dengan nilai FEV-1 kurang dari 50% nilai prediksi. Contoh dari kedua obat ini:
LABA: formoterol, salmeterol, indacaterol, olldaterol dan vilanterol
LAMA: tiotropium, aclidinium, glikopironium bromida, dan umeklidinium[1]
Pilihan obat untuk penyakit paru obstruktif kronis beragam dan tergantung dari derajat keparahannya. Untuk efeknya sendiri terhadap eksaserbasi akut dari PPOK dan peningkatan fungsi paru, kombinasi LABA dan LAMA (indakaterol dan glikopironium) lebih baik dibandingkan dengan kombinasi LABA dan kortikosteroid inhalasi. Selain itu, kombinasi LABA dan kortikosteroid inhalasi juga ditemukan meningkatkan risiko terjadinya pneumonia dibandingkan kombinasi LAMA dan LABA.[2]
Bronkodilator bekerja dengan cara “membuka” jalan napas sehingga mengurangi udara yang terperangkap di dalam paru akibat obstruksi. Meskipun masih diperdebatkan, kedua golongan obat ini memiliki efek samping terhadap sistem kardiovaskular. Karena itu, penggunaan bronkodilator terutama pada pasien penyakit paru obstruktif kronis dengan penyakit kardiovaskular penyerta.
Efek Samping Kardiovaskular Obat Golongan Beta Adrenergik
Efek agonis obat golongan beta adrenergik terhadap sistem kardiovaskular bergantung pada potensi obat, absorpsi sistemik, farmakokinetik, farmakodinamik dan durasi pengobatan.[3]
Reseptor beta adrenergik di dalam tubuh terbagi menjadi 2 yaitu beta-1 dan beta-2. Kedua reseptor ini tersebar pada paru, jantung dan jaringan lain di tubuh. Pada jantung, reseptor beta-1 lebih mendominasi sedangkan pada paru, reseptor beta-2 lebih mendominasi. Efek beta-2 pada jantung adalah respon inotropik positif dan kronotropik positif.[4].
Dalam sebuah meta analisis, pemberian agonis beta-2 dapat dilihat menyebabkan efek samping kardiovaskular, terutama takikardia. Peningkatan detak jantung dapat memicu peningkatan permintaan oksigen dan dapat berujung pada iskemia, perburukan dari gagal jantung ataupun kematian mendadak. Selain itu, pemberian agonis beta-2 dapat menyebabkan hipokalemia yang mengganggu irama jantung pada pasien-pasien tertentu.[2]
Penggunaan obat beta-2 agonis dilaporkan dapat meningkatkan risiko infark miokard, henti jantung dan kematian terkait jantung dengan odd ratio 1.3–3.4.[2]
Dalam studi lain oleh Brook et. al, ditemukan bahwa pemberian LABA (vilanterol) dengan atau tanpa kortikosteroid (flutikazon furoat) pada pasien penyakit paru obstruktif kronis dengan risiko kardiovaskular yang tinggi tidak mempengaruhi kejadian penyakit kardiovaskular.[5]
Efek inhalasi beta-2 agonis terhadap gagal jantung sendiri masih belum ada cukup data untuk menyimpulkannya. Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi < 45% yang mendapatkan terapi inhalasi beta-2 agonis dalam 3 bulan, terjadi peningkatan angka rawat inap dalam pola yang bergantung pada dosis yang digunakan.[3]
Efek Samping Kardiovaskular Obat Golongan Antagonis Antimuskarinik
Aktivitas parasimpatik akan menyebabkan kontraksi dari otot-otot pada saluran napas dan sekresi mukus. Aktivitas ini dipicu oleh aktivitas dari reseptor muskarinik. Reseptor muskarinik tersebar pada saluran pernapasan sebagian besar adalah M1, M2 dan M3. Reseptor muskarinik M3 merupakan target utama dari LAMA karena mengatur sekresi mukus dari glandula submukosa dan kontraksi dari sel otot polos pada saluran pernapasan.[2]
Dengan adanya antagonis antimuskarinik, maka terjadi penekanan saraf parasimpatetik dan sebagai konsekuensinya, terjadi peningkatan aktivitas simpatetik. Tiotropium ditemukan dapat meningkatkan interleukin 8 pada sputum. Keberadaan IL-8 pada darah ditemukan dapat meningkatkan infark miokard.[6-8]
Risiko Kejadian Kardiovaskular pada Pemberian LABA dan LAMA
Pemberian LAMA dan LABA memiliki risiko kardiovaskular yang sebanding seperti infark miokard akut, stroke, gagal jantung atau aritmia.[9]
Dalam jangka waktu pemberian LABA atau LAMA selama 30 hari, terjadi peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yang berat hingga 1,5 kali lipat. Risiko ini akan turun seiring dengan pemberian LABA atau LAMA dalam jangka panjang, tetapi tidak berhubungan dengan riwayat penyakit kardiovaskular sebelumnya dan eksaserbasi akut dari penyakit paru obstruktif kronis[10].
Penemuan ini juga didukung oleh studi lain yang mengatakan bahwa pemberian LABA dalam jangka panjang dianggap aman untuk sistem kardiovaskular, namun perhatian klinis harus terpusat pada fase awal pemberian terapi, yaitu 3 bulan pertama terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner.[3]
Dalam penelitian lain, risiko kejadian kardiovaskular meningkat 3,5 kali lipat pada pasien yang memiliki riwayat kardiovaskular dan sedang dalam pengobatan dalam waktu 90 hari pemberian bronkodilator kerja panjang. Gagal jantung dan aritmia merupakan penyebab utama admisi ke unit gawat darurat pada penelitian ini.[4]
Implikasi Klinis
Penyakit paru seperti PPOK dan penyakit kardiovaskular memiliki faktor risiko yang serupa, contohnya adalah merokok. Sering kali kedua penyakit dalam sistem respirasi dan kardiovaskular juga memiliki gejala yang sama. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis atau masalah jantung dapat datang dengan keluhan yang serupa misalnya dispnea dan cepat lelah. Diagnosis yang tepat akan mengarahkan pada tata laksana yang tepat.
Pemberian obat-obatan untuk PPOK pada pasien dispnea yang ternyata disebabkan oleh gagal jantung tentu akan melanggar etika kedokteran “do no harm”. Untuk itu, evaluasi dan pemilihan pengobatan perlu benar-benar mempertimbangkan efek samping dan risk and benefit dari terapi tersebut.[3,5]
Pemberian bronkodilator kerja panjang seperti LABA dan LAMA untuk terapi pada penyakit paru obstruktif kronis, meskipun dalam bentuk sediaan inhalasi, perlu diperhatikan efek samping terhadap sistem kardiovaskular. Untuk itu, kewaspadaan saat memberikan terapi sangat diperlukan. Pemeriksaan sistem kardiovaskular dasar terutama denyut nadi dan elektrokardiogram (EKG) juga kadar kalium perlu dievaluasi sebelum dimulainya terapi dengan LABA dan LAMA. Pasien yang mendapat terapi ini perlu diberikan edukasi mengenai tanda dan gejala dari penyakit kardiovaskular, terutama dalam 30 hari pertama pemberian LABA dan LAMA dan pada pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.[7]
Kesimpulan
Bronkodilator kerja panjang yaitu long acting β agonist (LABA) dan long acting muscarinic antagonists (LAMA) adalah obat utama untuk penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Efek beta-2 pada jantung adalah respon inotropik positif, kronotropik positif dan hipokalemia sehingga berpotensi menyebabkan takiaritmia. Anti muskarinik bekerja dengan cara menghambat aktivitas parasimpatik sehingga meningkatkan aktivitas simpatetik
Tiotropium ditemukan dapat meningkatkan interleukin (IL) 8 pada sputum. Bila terdapat di plasma, IL-8 dapat meningkatkan risiko infark miokard. Dalam pemberian LABA atau LAMA, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yang berat hingga 1,5 kali lipat pada puncaknya terjadi dalam 30 hari pertama. Risiko ini dapat meningkat apabila pasien memiliki penyakit kardiovaskular yang menyertai. Pasien dengan penyakit paru seperti penyakit paru obstruktif kronis dan jantung dapat datang dengan gejala yang sama atau mirip, misalnya dispnea. Diagnosis yang tepat sebelum pemberian terapi sangat diperlukan.
Pemeriksaan sistem kardiovaskular dasar terutama denyut nadi dan elektrokardiogram (EKG) juga kadar kalium perlu dievaluasi sebelum dimulainya terapi dengan LABA dan LAMA. Selain itu, pasien yang dalam terapi bronkodilator perlu diberikan edukasi mengenai tanda dan gejala dari penyakit kardiovaskular sejak pemakaian pertama.
Direvisi oleh: dr. Andrea Kaniasari