Effect of Early Treatment with Fluvoxamine on Risk of Emergency Care and Hospitalisation Among Patients with COVID-19: the TOGETHER Randomised, Platform Clinical Trial
Reis G, Dos Santos Moreira-Silva EA, Silva DCM, et al. Effect of early treatment with fluvoxamine on risk of emergency care and hospitalisation among patients with COVID-19: the TOGETHER randomised, platform clinical trial. The Lancet Global Health. 2022 Jan;10(1):e42-e51. PMID: 34717820.
Abstrak
Latar Belakang: bukti terkini mengindikasikan bahwa fluvoxamine mungkin bermanfaat untuk terapi COVID-19. Studi TOGETHER terhadap pasien COVID-19 simtomatik akut ini bertujuan untuk mengevaluasi efikasi fluvoxamine bila dibandingkan plasebo untuk mencegah rawat inap. Rawat inap didefinisikan sebagai retensi di unit gawat darurat COVID-19 atau rujukan ke rumah sakit tersier karena COVID-19.
Metode: penelitian ini merupakan studi acak, terkontrol-plasebo, adaptive platform pada pasien dewasa yang terkonfirmasi positif SARS-CoV-2 di 11 pusat kesehatan di Brasil. Pasien mempunyai faktor risiko progresivitas ke COVID-19 derajat berat. Partisipan yang memenuhi syarat dibagi secara acak ke grup yang mendapat fluvoxamine (100 mg, dua kali sehari selama 10 hari) atau ke grup plasebo dengan komposisi 1:1.
Tim peneliti, staf di lokasi klinik, dan pasien tidak mengetahui alokasi terapi yang diberikan. Luaran primer studi ini adalah gabungan rawat inap yang didefinisikan sebagai retensi di unit gawat darurat COVID-19 maupun rujukan ke rumah sakit tersier akibat COVID-19 hingga 28 hari setelah pengacakan, dengan basis intention-to-treat.
Intention-to-treat yang dimodifikasi juga mengeksplorasi pasien-pasien yang mendapat setidaknya 24 jam terapi sebelum kejadian luaran primer. Sementara itu, analisis per-protokol mengeksplorasi pasien dengan tingkat kepatuhan tinggi (>80%). Peneliti menerapkan Bayesian analytic framework untuk mengukur efikasi dan probabilitas kesuksesan di grup intervensi dan grup plasebo. Uji ini terdaftar di ClinicalTrials.gov (NCT04727424) dan masih terus berjalan.
Hasil: tim studi melakukan skrining terhadap 9.803 partisipan yang potensial untuk uji ini. Uji dimulai sejak 2 Juni 2020, dengan protokol randomisasi fluvoxamine sejak 20 Januari 2021 hingga 5 Agustus 2021. Lalu, uji dihentikan karena terapi dinilai sudah mencapai kriteria superioritas.
Secara acak, 741 pasien dialokasi ke grup fluvoxamine dan 756 pasien dialokasi ke grup plasebo. Umur rata-rata partisipan adalah 50 tahun (rentang umur 18–102 tahun). Sebanyak 58% partisipan adalah perempuan.
Proporsi pasien yang diobservasi >6 jam di unit gawat darurat atau yang dirujuk ke rumah sakit tersier akibat COVID-19 lebih rendah di grup fluvoxamine daripada grup plasebo (79 dari 741 pasien [11%] vs 119 dari 756 [16%]). Risiko relatif adalah 0,68. Sementara itu, 95% Bayesian credible interval (95% BCI) adalah 0,52–0,88.
Probabilitas superioritas 99,8% telah melampaui ambang batas superioritas yang telah ditentukan sebelumnya di angka 97,6% (perbedaan risiko 5,0%).
Dari total kejadian luaran primer gabungan, sebanyak 87% adalah rawat inap. Temuan luaran primer komposit serupa dengan analisis modified intention-to-treat (RR 0,69; 95% BCI 0,53–0,90) dan tampak lebih baik pada analisis per-protokol (RR 0,34; 95% BCI 0,21–0,54).
Ada 17 kematian di grup intervensi dan 25 kematian di grup plasebo pada analisis primer intention-to-treat (odds ratio [OR] 0,68; 95% CI 0,36–1,27). Ada satu kematian di grup fluvoxamine dan 12 kematian di grup plasebo pada analisis per-protokol (OR 0,09; 95%CI 0,01–0,47). Peneliti tidak menemukan perbedaan signifikan antara kedua grup dalam hal efek samping pada pasien-pasien yang diterapi di unit gawat darurat.
Kesimpulan: pemberian fluvoxamine 100 mg sebanyak dua kali sehari selama 10 hari kepada pasien rawat jalan COVID-19 yang berisiko tinggi (early diagnosed) mampu mengurangi risiko rawat inap. Rawat inap didefinisikan sebagai retensi pasien di unit gawat darurat COVID-19 maupun rujukan pasien ke rumah sakit tersier.
Ulasan Alomedika
Meskipun vaksin yang efektif terhadap COVID-19 telah ditemukan, ketersediaan dan distribusi vaksin masih sering menjadi kendala di negara-negara yang bersumber daya terbatas. Oleh sebab itu, studi yang mempelajari repurposing obat-obat yang sudah ada saat ini untuk terapi COVID-19 masih dibutuhkan.
Fluvoxamine merupakan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan agonis alfa-1 reseptor. Mekanisme potensial obat ini untuk terapi COVID-19 adalah efek antiinflamasi melalui regulasi produksi sitokin proinflamasi dan efek antiaktivasi trombosit.
Sebelum ini, studi acak oleh Lenze, et al., melaporkan bahwa fluvoxamine bermanfaat mengurangi perburukan klinis pasien COVID-19 simtomatik yang dirawat jalan. Akan tetapi, studi tersebut memiliki jumlah sampel yang sangat kecil. Studi TOGETHER ini bertujuan untuk mengonfirmasi manfaat fluvoxamine pada pasien rawat jalan COVID-19 yang berisiko tinggi memburuk ke derajat berat dalam skala yang lebih besar.
Ulasan Metode Penelitian
Uji TOGETHER merupakan uji acak, terkontrol-plasebo, adaptive platform dalam pusat kesehatan masyarakat lokal di 11 kota di Brasil. Kriteria inklusi partisipan adalah: (1) pasien berusia >18 tahun; (2) pasien mengalami simtom akut dalam waktu 7 hari masa skrining; (3) pasien terbukti positif SARS-CoV-2; dan (4) pasien mempunyai minimal satu faktor risiko tinggi.
Contoh faktor risiko tinggi yang dimaksud adalah diabetes mellitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru selain COVID-19 (emfisema, penyakit paru fibrosis, asma simtomatik), kebiasaan merokok, obesitas (BMI >30 kg/m2), pasca transplantasi organ, penyakit ginjal kronis tahap IV atau yang sudah memerlukan dialisis, penggunaan terapi imunosupresan atau kortikosteroid, riwayat kanker, dan riwayat belum divaksin.
Kriteria eksklusi mencakup pasien dengan simtom akut menyerupai flu yang negatif SARS-CoV-2, pasien COVID-19 yang sudah menjalani rawat inap, pasien yang sudah tervaksinasi, pasien yang sedang mengalami penyakit klinis akut yang berat, pasien yang sedang menggunakan obat antidepresan golongan SSRI, pasien gangguan psikiatrik atau yang tidak setuju dengan prosedur studi, dan pasien yang sedang hamil.
Pasien yang memenuhi syarat dialokasikan secara acak ke grup intervensi fluvoxamine 100 mg (dua kali sehari selama 10 hari) atau ke grup plasebo. Semua pasien mendapat perawatan standar (usual standard care) untuk COVID-19. Baik tim peneliti, staf di lokasi klinik, maupun pasien tidak mengetahui alokasi terapi yang diberikan.
Ulasan Hasil Penelitian
Luaran primer studi ini adalah endpoint komposit dari rawat inap, yang didefinisikan sebagai retensi di unit gawat darurat >6 jam (waktu observasi klinis, tidak termasuk waktu menunggu) atau rujukan ke rumah sakit tersier akibat progresivitas COVID-19 (hingga 28 hari setelah pengacakan) dengan basis intention-to-treat.
Hasil uji menunjukkan bahwa proporsi pasien yang diobservasi >6 jam di unit gawat darurat atau yang dirujuk ke rumah sakit tersier akibat COVID-19 tampak lebih rendah pada grup intervensi fluvoxamine daripada grup plasebo (11% vs 16%). Probabilitas superior 99,8% telah melampaui ambang superioritas yang ditentukan sebelumnya, yaitu 97,6%.
Menurut model Bayesian beta-binomial, fluvoxamine bermanfaat mengurangi luaran komposit primer rawat inap. Bukti ini konsisten dengan analisis intention-to-treat maupun analisis intention-to-treat yang dimodifikasi. Number needed to treat (NNT) adalah 20. Efek terapi fluvoxamine bahkan lebih baik lagi menurut analisis per-protokol.
Analisis luaran sekunder tidak menemukan perbedaan signifikan antara grup intervensi dan grup plasebo dalam hal klirens virus pada hari ke-7, rawat inap akibat segala penyebab, waktu dirujuk untuk rawat inap, durasi rawat inap, mortalitas, waktu rawat hingga meninggal, jumlah hari dengan ventilator mekanis, waktu pemulihan, maupun PROMIS (patient-reported outcomes measurement information).
Ada 17 kematian di grup intervensi dan 25 kematian di grup plasebo pada analisis primer intention-to-treat. Sementara itu, ada satu kematian di grup fluvoxamine dan 12 kematian di grup plasebo pada analisis per-protokol. Peneliti tidak menemukan perbedaan signifikan antara kedua grup dalam hal efek samping.
Kelebihan Penelitian
Penelitian TOGETHER ini merupakan uji klinis acak terkontrol berskala besar pertama yang mengevaluasi efikasi fluvoxamine untuk terapi akut COVID-19. Studi lain yang dilakukan sebelumnya hanya berskala kecil (misalnya studi Lenze, et al. yang hanya melibatkan 152 pasien). Uji TOGETHER ini bekerja sama dengan 11 pusat kesehatan lokal, sehingga pasien bisa direkrut cepat dalam jumlah banyak (>20 pasien/hari).
Luaran penelitian berupa komposit rawat inap (retensi >6 jam di UGD COVID-19 dan rujukan ke rumah sakit tersier akibat COVID-19) juga merupakan luaran yang bermakna secara klinis dan sesuai dengan tujuan studi, yakni mempelajari apakah fluvoxamine yang diberikan secara akut dapat mencegah progresivitas penyakit pasien rawat jalan. Kriteria inklusi juga yang hanya mengikutsertakan pasien risiko tinggi untuk COVID-19 derajat berat.
Limitasi Penelitian
Limitasi utama penelitian ini berhubungan dengan tantangan dalam menata laksana penyakit dengan karakter yang belum dipahami sepenuhnya. Saat ini belum ada konsensus mengenai terapi standar untuk COVID-19. Oleh karena itu, beberapa pusat kesehatan dalam studi ini menerapkan terapi standar yang berbeda satu sama lain.
Selain itu, faktor risiko progresivitas COVID-19 ke derajat berat juga belum sepenuhnya dipahami karena ternyata ada pasien dengan faktor risiko yang lebih banyak mengalami kesembuhan yang lebih cepat daripada pasien dengan faktor risiko yang lebih sedikit.
Pada saat percobaan ini dimulai, program vaksin belum berjalan luas di Brasil. Namun, seiring dengan berjalannya masa penelitian, program vaksinasi mulai berlangsung luas. Peneliti akhirnya memodifikasi kriteria inklusi studi dan mengikutkan pasien yang telah divaksin. Hal ini mungkin memengaruhi luaran studi.
Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia
Studi TOGETHER ini merupakan studi berskala besar yang berhasil mengonfirmasi temuan studi-studi berskala kecil sebelumnya, yakni temuan bahwa fluvoxamine dapat bermanfaat sebagai terapi COVID-19.
Hasil ini menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia karena fluvoxamine merupakan obat yang sudah tersedia secara luas, mudah digunakan, dan berharga relatif terjangkau. Fluvoxamine berpotensi diberikan kepada pasien COVID-19 akut yang dirawat jalan tetapi memiliki risiko tinggi untuk mengalami progresivitas penyakit ke derajat berat.