Perlindungan jangka panjang dari sebelumnya infeksi COVID-19 masih belum jelas. Pasca infeksi SARS-CoV-2, penyintas umumnya akan mendapatkan imunitas dengan sel imun memori yang dapat mengenali infeksi COVID-19 dengan lebih baik di masa mendatang dan mencegah terjadinya infeksi ulang berkembang menjadi lebih berat.[1-6]
Berdasarkan studi yang ada, IgG terhadap protein spike virus SARS-COV 2 bertahan relatif stabil hingga 6 bulan atau lebih. Sel B memori spesifik Spike ditemukan jauh lebih banyak pada 6 bulan pasca onset gejala dibanding 1 bulan pasca onset gejala COVID-19. Sel T CD4+ dan CD8+ spesifik SARS-CoV-2 berkurang hingga setengahnya dalam 3-5 bulan.[5,6]
Perbandingan Imunitas setelah Infeksi dan setelah Vaksinasi COVID-19
Suatu studi kohort besar membandingkan 2 kelompok dan menilai mereka dari terobosan infeksi COVID-19. Tiap kelompok terdiri dari 16.215 orang. Kelompok pertama adalah orang yang telah divaksinasi lengkap (vaksin Pfizer/BioNTech BNT162b2 mRNA) dan kelompok kedua adalah orang yang sebelumnya telah terinfeksi COVID-19 berdasarkan hasil tes PCR yang tercatat positif.[3]
Hasil penelitian menunjukkan 238 infeksi terobosan terjadi pada kelompok yang divaksinasi dan 19 infeksi terobosan pada kelompok yang sebelumnya terinfeksi. Setelah disesuaikan untuk komorbiditas, peneliti menemukan peningkatan risiko infeksi terobosan yang signifikan secara statistik, yakni 13,06 kali lipat (95% CI, 8,08 hingga 21,11; P<0,001).
Ada 9 kasus rawat inap terkait COVID-19. Delapan di antaranya berada di kelompok yang divaksinasi dan satu berada di kelompok yang sebelumnya terinfeksi. Tidak ada kematian terkait COVID-19 yang tercatat dalam penelitian ini. Varian dominan selama periode penelitian yang menyebabkan infeksi terobosan adalah varian Delta COVID-19.[3]
Studi juga menyebutkan bahwa imunitas yang didapat pasca infeksi alamiah COVID-19 terbukti bertahan lebih lama dan efektif dalam mencegah seseorang untuk mengalami reinfeksi bila dibandingkan dengan imunitas yang didapat dari dua dosis penuh vaksin mRNA COVID-19. Tetapi kelemahan dari infeksi alamiah ini adalah mustahil untuk mendapatkan kekebalan komunitas karena mortalitas akan sangat tinggi.[1,3]
Respon imun dari infeksi alamiah selain lebih superior dalam mencegah reinfeksi dan infeksi berat kedepannya dibanding pasien yang telah mendapat dua dosis penuh vaksin mRNA, respon imun alamiah juga memberikan perlindungan terhadap varian virus SARS-CoV-2 karena epitope sel T CD4+ dan CD8+ T akan tetap dipertahankan.[5]
Hipotesis Keuntungan Imunitas dari Infeksi COVID-19
Keuntungan dari imunitas yang didapat dari infeksi alami dapat dijelaskan oleh hipotesis yang menyebutkan bahwa proses imunitas alamiah pada penyintas yang terbentuk berasal dari proses yang melibatkan protein SARS-CoV-2 yang lebih kompleks, tidak hanya melibatkan imunitas dari protein spike dari aktivasi vaksinasi pada vaksin mRNA. Bahkan sel B memori dari infeksi ringan dapat bertahan sangat lama didalam tubuh untuk mencegah terjadinya reinfeksi.[3,7]
Walaupun begitu, beberapa studi lain justru menyebutkan hasil yang berbeda, bahwa imunitas yang terbentuk dari vaksinasi lebih superior dibandingkan dengan imunitas yang didapat secara alamiah, terutama tingkat serokonvertivitas yang sangat variatif pada penyintas COVID-19. Bahkan terdapat kelompok dengan imunitas sel memori yang sangat rendah walaupun pernah terinfeksi COVID-19 sebelumnya.[4,8]
Peran Vaksin pada Penyintas COVID-19
Terbentuknya kekebalan komunitas di masyarakat merupakan tujuan utama pencegahan pandemi berkelanjutan. Tujuan ini tentunya diharapkan dapat terwujud dari vaksinasi massal yang dilakukan di berbagai negara. Keberhasilannya sendiri sangat bergantung pada efektivitas dan efikasi vaksin yang ada. Faktor yang mempengaruhi tingkat efikasi vaksin antara lain respon sel memori, antibodi penetralisir dan potensi timbulnya varian yang menyebabkan vaksinasi tidak efektif.[3,5]
Dua dosis penuh vaksin COVID-19 terbukti efektif dalam mencegah terjadinya infeksi maupun infeksi berat bila pasien terinfeksi COVID-19 walaupun hanya dalam jangka pendek.[3]
Pada penyintas COVID-19, walaupun telah memiliki imunitas sebagai benteng pertahanan terhadap reinfeksi COVID-19, berdasarkan studi yang ada masih mendapatkan manfaat dari booster vaksinasi. Satu dosis vaksinasi yang diterima penyintas COVID-19, imunitas yang terbentuk dapat menyamai atau lebih baik dari pasien yang telah menerima dua dosis vaksinasi penuh.
Hal ini terutama didorong oleh peningkatan efektivitas imunitas yang terbentuk pasca vaksinasi. Namun, selama pandemi tidak mungkin untuk menguji semua orang sebelum vaksinasi untuk menentukan apakah mereka sebelumnya telah terinfeksi COVID-19, terutama mereka yang mungkin tanpa gejala atau gejala ringan selama infeksi mereka.[3,8,9]
Keterbatasan studi kohort besar ini adalah studi hanya mempelajari orang yang divaksinasi dengan vaksin BioNTech/Pfizer mRNA BNT162b2. Oleh karena itu, studi tidak menilai perlindungan dari vaksin COVID-19 lain atau booster berikutnya (dosis ketiga).
Selain itu, karena penelitian ini merupakan penelitian real-world observational dan bukan merupakan penelitian di mana semua peserta diskrining dengan PCR, penelitian ini mungkin meremehkan jumlah infeksi terobosan asimtomatik.[3]
Kesimpulan
Studi yang ada menyebutkan bahwa imunitas yang terbentuk dari infeksi alamiah COVID-19 dapat bertahan lebih lama dan memiliki efektivitas yang lebih superior dibanding imunitas yang didapat dari vaksinasi dua dosis penuh vaksin COVID-19.
Studi kohort besar menunjukkan 13 kali penurunan risiko infeksi terobosan. Namun, imunitas alami memiliki kematian yang lebih tinggi, terutama pada kelompok berisiko. Individu yang sebelumnya terinfeksi SARS-CoV-2 tampaknya mendapatkan perlindungan tambahan dari vaksinasi.[3]
Studi kohort besar yang sedang berlangsung diperlukan untuk memantau terobosan infeksi COVID-19, terutama pemantauan untuk terobosan infeksi COVID-19 yang menyebabkan penyakit berat yang mengakibatkan rawat inap atau kematian. Pemantauan ini dapat membantu strategi vaksinasi dan kekebalan terhadap varian COVID-19 yang muncul.