Inisiasi cepat terapi antiretroviral (ARV) didefinisikan sebagai inisiasi terapi ARV secepat mungkin setelah diagnosis HIV ditegakkan, setidaknya dalam kurun waktu 7 hari. Saat ini, jumlah penderita HIV dilaporkan semakin meningkat. Di akhir tahun 2017 saja, jumlah penderita HIV di seluruh dunia mencapai 36,9 juta orang. Terapi ARV telah terbukti bermanfaat dalam menghambat perkembangan virus dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pada sebagian kasus, terapi ARV bisa saja diberikan langsung pada hari diagnosis ditegakkan. Tetapi, pada beberapa kasus lain, misalnya ketika ada dugaan atau sudah terbukti pasien memiliki penyakit penyerta seperti tuberkulosis atau meningitis kriptokokus, waktu memulai ARV harus disesuaikan untuk menghindari perburukan yang disebabkan oleh koinfeksi HIV. Inisiasi juga bergantung pada berbagai faktor lain, seperti kesiapan psikologis pasien untuk memulai terapi, kesiapan layanan kesehatan untuk memulai tata laksana, ataupun faktor sosial dan ekonomi.[1-4]
Manfaat dan Risiko Inisiasi Cepat Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV
Pedoman WHO merekomendasikan inisiasi cepat terapi antiretroviral (ARV) untuk diberikan pada seluruh pasien HIV setelah diagnosis dikonfirmasi dan penilaian klinis dilakukan. Inisiasi ARV direkomendasikan untuk dimulai, sebisa mungkin, pada hari yang sama dengan hari diagnosis untuk seluruh pasien yang sudah siap.[2]
Berbagai studi telah mengindikasikan bahwa inisiasi cepat terapi ARV mampu meningkatkan luaran program tata laksana, terutama dalam hal menurunkan loss to care.[5,6] Inisiasi cepat terapi ARV juga telah dilaporkan mampu menekan viral load dalam waktu 12 bulan setelah terapi, serta meningkatkan kepatuhan terapi ARV dalam 90 hari pertama yang bertahan hingga 12 bulan.[1,3,4] Namun demikian, studi oleh Benson el al menunjukkan bahwa hanya 72,1% pasien memulai terapi ARV ≤ 60 hari setelah diagnosis ditegakkan, dan dari jumlah ini hanya 18,3% yang memulai terapi dalam ≤7 hari.[7]
Inisiasi cepat terapi ARV juga dilaporkan mampu menurunkan risiko mortalitas, transmisi mother-to-child, dan transmisi ke pasangan yang negatif HIV. Akan tetapi, beberapa studi juga melaporkan adanya risiko immune reconstitution inflammatory syndrome pada pasien yang mengalami imunosupresi berat, hingga rasa tertekan pada pasien yang merasa belum siap untuk memulai terapi secara psikologis.[2,4]
Pemilihan Agen Antiretroviral
Idealnya, agen antiretroviral yang dipilih haruslah mudah dikonsumsi, diformulasikan sebagai single tablet regimen, memiliki toleransi yang baik, tidak memerlukan pemeriksaan antigen leukosit sebelum digunakan, memiliki interaksi obat yang terbatas, bersifat aktif terhadap virus yang resisten obat, bersifat efektif pada pasien dengan RNA HIV yang meningkat atau hitung CD4 yang sangat rendah, serta memiliki kemampuan tambahan dalam hal supresi koinfeksi hepatitis B. Hingga saat ini, formulasi kombinasi darunavir, cobicistat, emtricitabine, dan tenofovir masih menjadi pilihan.[4]
Aspek Biaya Kesehatan
Dalam pedomannya, WHO mencantumkan sebuah studi di Afrika Selatan yang menemukan bahwa inisiasi cepat terapi antiretroviral sangat bersifat cost-effective, yaitu mampu menghemat USD 1160 per quality-adjusted life year. Namun, perlu diingat bahwa aspek biaya kesehatan ini akan bergantung pada setting klinis, geografis, dan sosiodemografik masing-masing negara.[2]
Inisiasi Terapi Antiretroviral pada Keadaan Khusus
Inisiasi cepat terapi antiretroviral (ARV) dapat mengurangi risiko terjadinya putus terapi. Hal ini sangat berguna dalam menekan jumlah virus, mengurangi kejadian transmisi atau penularan virus, hingga menurunkan angka morbiditas dan mortalitas terkait HIV. Namun, implementasi inisiasi cepat terapi ARV sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama kesiapan dari fasilitas kesehatan, faktor ekonomi. stigma masyarakat, hingga kesiapan dan motivasi pasien untuk segera memulai ARV. Inisiasi terapi ARV juga sering kali tertunda karena adanya komorbiditas seperti tuberkulosis dan meningitis kriptokokus.[1,2]
HIV dengan Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien HIV. Pada tahun 2015, tuberkulosis dilaporkan berkaitan dengan 1/3 kematian akibat HIV. Tuberkulosis juga masih menjadi penyebab utama HIV-associated hospitalization pada anak dan dewasa di seluruh dunia.[2]
Pada pasien dengan suspek tuberkulosis, hal yang perlu diperhatikan sebelum memulai terapi ARV antara lain :
- Skrining gejala tuberkulosis untuk menentukan apakah pasien perlu mendapatkan terapi atau profilaksis tuberkulosis. Pasien suspek tuberkulosis sebaiknya menjalani skrining (misalnya dengan GenExpert) untuk mendeteksi keberadaan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Terapi ARV dianjurkan ditunda selama investigasi pasien dengan gejala tuberkulosis
- Apabila pasien telah dikonfirmasi mengalami tuberkulosis, terapi tuberkulosis sebaiknya dimulai terlebih dahulu, diikuti dengan terapi ARV dalam 8 minggu setelah pengobatan tuberkulosis
- Pasien tuberkulosis dengan HIV dan imunosupresi berat (misalnya CD4 < 50 sel/mm3) harus memulai terapi ARV dalam 2 minggu awal setelah terapi tuberkulosis dimulai
- Pada pasien HIV dengan meningitis tuberkulosis, terapi ARV harus berhati-hati karena dapat meningkatkan risiko munculnya efek samping yang berat
- Setiap anak dengan tuberkulosis harus memulai terapi ARV secepat mungkin dalam waktu 8 minggu setelah pengobatan tuberkulosis dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan stadium klinis ataupun hasil hitung CD4[2]
Meningitis Kriptokokus
Insidensi meningitis kriptokokus dilaporkan masih substansial pada pasien HIV. Diperkirakan Sebanyak 223.100 kasus meningitis kriptokokus terjadi secara global pada pasien HIV di tahun 2014. Inisiasi segera obat antiretroviral dikontraindikasikan pada pasien HIV yang mengalami meningitis kriptokokus. Hal ini karena terdapat risiko timbulnya immune reconstitution inflammatory syndrome yang berpotensi mengancam nyawa.[2]
Pada pasien dengan meningitis kriptokokus, hal berikut perlu diperhatikan :
- Inisiasi ARV ditunda hingga terdapat bukti respon klinis yang baik terhadap terapi antifungal dan setelah 4 minggu terapi berjalan menggunakan regimen kombinasi amphotericin B dengan flucytosine atau fluconazole, atau setelah 4-6 minggu terapi dengan regimen fluconazole dosis tinggi
- Pada pasien yang dicurigai mengalami meningitis, pemberian ARV harus ditunda hingga terdapat hasil pungsi lumbal
- Belum ada bukti yang cukup untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk memulai terapi ARV pada pasien asimptomatik dengan infeksi kriptokokus. Pedoman Southern African HIV Clinicians Society merekomendasikan terapi ARV dimulai setelah pemberian fluconazole selama 2 minggu atau setelah hasil pungsi lumbal menyingkirkan adanya meningitis kriptokokus pada pasien yang hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan positif terhadap antigen kriptokokus[2]
Kesimpulan
Berbagai studi yang ada telah menunjukkan bahwa inisiasi cepat terapi antiretroviral (ARV) berkaitan dengan penurunan mortalitas, penurunan risiko transmisi, perbaikan viral load, dan peningkatan kualitas hidup pasien HIV. Akan tetapi, inisiasi cepat terapi ARV juga berkaitan dengan risiko immune reconstitution inflammatory syndrome pada pasien yang mengalami imunosupresi berat, ataupun rasa tertekan pada pasien yang merasa belum siap untuk memulai terapi secara psikologis.
Pedoman WHO sendiri menyarankan agar ARV diberikan sesegera mungkin pada seluruh pasien HIV setelah diagnosis dikonfirmasi dan penilaian klinis dilakukan. Bahkan WHO merekomendasikan agar ARV, sebisa mungkin, diberikan pada hari yang sama dengan hari diagnosis. Walaupun begitu, pada pasien dengan koinfeksi tertentu, seperti tuberkulosis dan meningitis kriptokokus, berbagai perhatian khusus diperlukan sebelum inisiasi terapi ARV.