Intervensi medis diharapkan dapat memperlambat perkembangan miopia dan meningkatkan kualitas hidup anak. Sebagian besar kasus miopia berkembang selama masa kanak-kanak, dimana keparahan pada anak di Asia, termasuk di Indonesia, telah dilaporkan lebih tinggi dibandingkan populasi Eropa seusianya.[1,2]
Miopia atau rabun jauh adalah gangguan refraksi dimana mata tidak mampu memfokuskan bayangan tepat di retina.[3] Berdasarkan data WHO, terdapat 285 juta penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan, dimana prevalensi tertinggi sebesar 43% disebabkan kelainan refraksi. Di Indonesia, kelainan refraksi juga menempati urutan pertama dari penyakit mata, meliputi 25% penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.[4,5]
Mengapa Penting Untuk Memperlambat Perkembangan Miopia pada Anak?
Miopia merupakan faktor risiko dari sejumlah patologi mata yang dapat mengancam penglihatan, termasuk katarak, glaukoma, dan ablatio retina. Pemanjangan aksial yang berlebihan terkait dengan derajat miopia yang lebih tinggi, juga telah dilaporkan dapat meningkatkan risiko stafiloma posterior dan makulopati miopia. Meskipun patologi yang mengancam penglihatan terkait miopia ini umumnya terjadi saat pasien dewasa, kebanyakan kasus miopia berkembang selama masa kanak-kanak. Oleh sebab itulah, diharapkan intervensi yang mengurangi perkembangan miopia dapat mengurangi risiko gangguan penglihatan di masa depan.[6-8]
Intervensi Medis Untuk Memperlambat Perkembangan Miopia pada Anak
Secara garis besar, intervensi untuk memperlambat perkembangan miopia pada anak dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu intervensi optik, farmakologi, dan lingkungan.
Intervensi Optik
Intervensi optik mencakup berbagai desain kacamata dan lensa kontak. Kacamata adalah metode yang disukai karena paling tidak invasif dan paling mudah diakses. Pilihan kacamata termasuk koreksi di bawah refraksi, lensa kacamata yang disesuaikan, serta desain tambahan bifokal dan progresif. Evaluasi miopia pada anak yang menggunakan kacamata dapat dilakukan setiap 6 bulan.
Lensa kontak juga semakin banyak digunakan dalam manajemen miopia pada anak. Desain lensa multifokal lunak jarak tengah bekerja dengan menggabungkan zona pusat untuk koreksi jarak, yang disertai area perifer lensa yang berfungsi meningkatkan daya positif (defocus).
Pilihan lain adalah penggunaan lensa kontak kaku khusus, disebut orthokeratologi, yang dipakai saat tidur untuk mengubah topografi kornea dan memanipulasi defokus retina perifer. Meski demikian, penggunaan lensa kontak perlu memperhatikan kebersihan dan aspek keamanan, karena ada potensi infeksi yang menyebabkan keratitis. Selain itu, terdapat kemungkinan regresi atau rebound setelah penghentian pemakaian lensa kontak.[9-11]
Intervensi Farmakologi
Pada praktik, medikamentosa topikal yang umum digunakan adalah antagonis muskarinik non-selektif, yaitu atropin, dalam konsentrasi 0,01% hingga 1,0%. Dosis atropin lebih tinggi dilaporkan efektif menghambat perkembangan miopia, namun telah dikaitkan dengan risiko efek samping yang lebih tinggi pula. Efek samping dapat berupa efek siklopegia, fotofobia, dan rebound.
Pilihan medikamentosa lain untuk miopia pada anak adalah tropicamide, siklopentolat, pirenzipine, dan 7-Methylxanthine. Meski demikian, atropine merupakan agen yang didukung bukti ilmiah paling kuat.[12,13]
Modifikasi Lingkungan
Terdapat bukti ilmiah yang mengindikasikan bahwa aktivitas luar ruangan yang lebih banyak bersifat protektif terhadap miopia. Di lain pihak, aktivitas yang memerlukan penglihatan jarak dekat, seperti membaca dan menulis, dalam jangka waktu lama (lebih dari 20,5 jam per minggu) telah dikaitkan dengan perkembangan miopia.[14,15]
Bukti Ilmiah Efikasi Intervensi Medis Untuk Memperlambat Perkembangan Miopia pada Anak
Dalam sebuah meta analisis dan tinjauan sistematik yang melibatkan 44 studi dengan total 6400 anak, dilaporkan bahwa tetes mata atropin, orthokeratologi, dan lensa kontak multifokal efektif dalam mengatasi perkembangan miopia pada anak. Dalam studi ini, dilaporkan bahwa tetes mata atropin 1% berhasil menghasilkan koreksi refraksi 0,78D dibandingkan plasebo. Sementara itu, orthokeratologi dilaporkan menurunkan pemanjangan aksial sebanyak 0,19 mm per tahun. Lensa kontak multifokal dilaporkan menghasilkan koreksi refraksi 0,15D dalam 1 tahun.[16]
Dalam meta analisis lain, dilakukan evaluasi terhadap hasil dari 30 uji klinis dengan total 5422 mata. Hasil analisis menunjukkan bahwa atropin tetes mata mampu menurunkan progresi miopia secara signifikan dibandingkan plasebo atau kacamata. Atropin dosis lebih tinggi ditemukan menghasilkan koreksi lebih besar, yaitu sebesar 0,68D. Selain itu, pirenzipine, orthokeratologi, dan lensa kontak defokus ditemukan memberi efek koreksi penglihatan moderat. Sedangkan lensa progresif pada kacamata hanya memberi koreksi kecil (0,14D).[17]
Hasil serupa juga dilaporkan oleh tinjauan sistematik Cochrane (2020). Tinjauan ini mengevaluasi hasil dari 41 uji klinis dengan total 6772 partisipan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian agen antimuskarinik, seperti atropin dan siklopentolat, efektif memperlambat perkembangan miopia pada anak. Namun, pemberian agen ini dapat menimbulkan komplikasi pandangan kabur, fotofobia, gatal, dan perih. Intervensi lain yang juga ditemukan efektif adalah penggunaan kacamata lensa multifokal, lensa kontak lunak bifokal, orthokeratologi, serta kombinasi tetes mata antimuskarinik dengan kacamata multifokal.[18]
Kesimpulan
Sebagian besar miopia berkembang pada masa kanak-kanak. Semakin berat miopia semakin tinggi pula risiko komplikasi gangguan mata yang mengancam penglihatan, termasuk glaukoma dan ablatio retina. Intervensi medis pada masa kanak-kanak diharapkan dapat menurunkan perkembangan miopia, mencegah komplikasi di masa depan, dan meningkatkan kualitas hidup.
Bukti ilmiah yang ada saat ini menunjukkan bahwa berbagai intervensi medis efektif dalam memperlambat perkembangan miopia pada anak. Intervensi yang dianggap memiliki efek signifikan antara lain penggunaan tetes mata atropin, orthokeratologi, dan lensa multifokal.