Walaupun percutaneous coronary intervention (PCI) adalah tata laksana yang efektif untuk penyakit jantung koroner, populasi lanjut usia dianggap memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi jika menjalani intervensi ini.
Penyakit jantung koroner masih menjadi penyebab kematian utama di dunia. Amerika Serikat mencatat terdapat 1,2 juta kematian per tahunnya akibat penyakit ini. Sebanyak 30% kematian akibat penyakit jantung koroner dialami oleh pasien berusia lanjut, di atas 65 tahun.[1,2]
Modalitas tata laksana penyakit jantung koroner mencakup medikamentosa, kateterisasi jantung atau PCI, dan coronary artery bypass surgery (CABG). Pemilihan metode penanganan bagi penderita penyakit jantung koroner perlu mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari penyakit penyerta hingga kesiapan penderita secara fisik. Secara umum, terapi intervensi, seperti PCI, dianggap kurang cocok bagi lansia karena risiko morbiditas dan mortalitas yang diduga meningkat.[3,4]
Pertimbangan dalam Melakukan PCI pada Lansia
Usia merupakan salah satu faktor penting yang dipertimbangkan dalam menentukan modalitas tata laksana yang akan digunakan pada penyakit jantung koroner. Lansia adalah populasi yang sangat rentan mengalami penyakit jantung koroner dan merupakan populasi penyumbang kematian tertinggi.
Menurut pedoman tata laksana American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA), indikasi tindakan percutaneous coronary intervention (PCI) pada lansia meliputi:
- Adanya angina pektoris stabil yang terbukti disebabkan oleh iskemia miokard melalui data objektif seperti treadmill test, perfusion scan dengan isotop thalium, dobutamine stress echocardiography, atau MRI
- Adanya angina pektoris tidak stabil
- Adanya infark miokard akut non ST-elevasi dengan risiko tinggi
- Adanya infark miokard akut dengan ST elevasi
- Tidak memungkinkan untuk dilakukan coronary artery bypass surgery (CABG) karena risiko yang terlalu besar, misalnya pada penderita lansia usia >75 tahun[5,6]
Hal lain yang perlu dipertimbangkan pada pasien lansia adalah populasi ini sering kali datang terlambat atau telah melewati golden period. Sesungguhnya, telah terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa terapi fibrinolitik lebih menguntungkan dibandingkan intevensi koroner dini (termasuk PCI) pada pasien lansia dengan iskemia akut.
Namun, rasio manfaat dan risiko akan bergeser bergantung pada kecepatan pasien ditangani dan tingkat risiko masing-masing pasien. Pasien lansia risiko tinggi yang datang dengan syok atau dalam rentang 3 jam setelah onset gejala, disarankan menjalani PCI apabila memungkinkan.
Rujukan ke fasilitas kesehatan yang bisa melakukan PCI juga perlu dipertimbangkan pada pasien dengan kontraindikasi terapi fibrinolitik, terutama jika door-to-balloon time kurang dari 90 menit.[7]
PCI VS Terapi Fibrinolitik dan Coronary Artery Bypass Graft (CABG) pada Lansia
Dewasa ini telah banyak penelitian yang membandingkan sisi positif dan sisi negatif dari masing-masing modalitas penanganan penyakit jantung koroner pada lansia. Hal ini dilakukan karena lansia memiliki berbagai faktor penyulit dan berisiko tinggi mengalami komplikasi pasca tindakan, utamanya bila tindakan tersebut bersifat invasif.
PCI VS Terapi Fibrinolitik
Pada tahun 2015, Peiyuan et al melakukan studi observasional yang berusaha membandingkan luaran klinis antara percutaneous coronary intervention (PCI) primer, terapi fibrinolisis, dan tanpa reperfusi pada pasien dengan infark miokard ST elevasi (STEMI) berusia 75 tahun.
Studi ini melibatkan total 26.592 pasien, 19.241 di antaranya terdiagnosis STEMI. Jumlah total pasien yang diikutkan dalam analisis adalah 3.082 pasien, dimana 1000 pasien menjalani PCI primer, 160 mendapat terapi fibrinolisis, dan 1922 tidak mendapat terapi reperfusi.
Studi ini melaporkan angka kematian sebesar 7,7% pada pasien yang menjalani PCI, 15% pada yang mendapat terapi fibrinolisis, dan 20% pada pasien yang tidak mendapat terapi reperfusi. Pasien yang menjalani PCI juga ditemukan memiliki risiko gagal jantung, komplikasi mekanis, dan cardiac arrest lebih rendah dibandingkan terapi fibrinolisis dan tanpa reperfusi. Angka kejadian stroke hemoragik dan perdarahan mayor tidak berbeda bermakna di antara ketiga kelompok studi.[8]
Studi lain yang lebih baru mencoba membandingkan efek PCI primer dengan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI akut berusia di atas 65 tahun. Efek yang dibandingkan mencakup in-hospital adverse events dan mortalitas selama perawatan ataupun jangka panjang. Studi ini melibatkan 111 pasien, 66 menjalani terapi fibrinolitik dan 45 menjalani PCI. Infark rekuren didapatkan pada 5 pasien (7,6%) yang mendapat terapi fibrinolitik dan 2 pasien (4,4%) yang menjalani PCI. Stroke nonhemoragik didapatkan pada 1 pasien (1,5%) yang menjalani terapi fibrinolitik dan 4 pasien (8,9%) yang menjalani PCI.
Perdarahan mayor didapatkan pada 4 pasien (6,1%) terapi fibrinolitik dan 4 pasien (8.9%) kelompok PCI. Mortalitas 6 bulan dan 1 tahun didapatkan pada 15 pasien (22,7%) dan 19 (28,8%) pasien kelompok trombolitik, sedangkan pada kelompok PCI 8 pasien (17,8%) dan 8 pasien (17,8%). Hasil analisis regresi logistik biner mengindikasikan bahwa usia pasien adalah prediktor independen untuk mortalitas 1 tahun.[9]
Secara umum, kedua studi di atas menunjukkan bahwa PCI memiliki keamanan yang sebanding, bila tidak superior, jika dibandingkan terapi fibrinolitik. Namun, studi lebih lanjut berupa uji klinis acak terkontrol dengan jumlah sampel lebih besar masih diperlukan sebelum kesimpulan lebih pasti dapat ditarik.
PCI VS CABG
Pada tahun 2015, sebuah kohort skala besar dilakukan oleh Nicolini et al, untuk membandingkan luaran pada pasien berusia 80 tahun ke atas dengan left main coronary artery atau multivessel disease. Studi ini melibatkan 947 pasien yang menjalani percutaneous coronary intervention (PCI) dan 441 pasien yang menjalani CABG. Studi ini menemukan tidak ada perbedaan bermakna pada mortalitas 30 hari antara kedua kelompok.
Namun, pada pemantauan, populasi yang menjalani PCI dilaporkan memiliki luaran yang lebih buruk dalam hal mortalitas kardiovaskular, infark miokard, dan revaskularisasi pembuluh darah target. Studi ini juga melaporkan bahwa CABG mengurangi risiko kematian pada pasien usia 80-85 tahun dengan berbagai kondisi medis, yaitu riwayat infark miokard sebelumnya, riwayat gagal jantung, penyakit ginjal kronis, dan penyakit pembuluh darah perifer.[10]
Studi lain yang lebih baru juga mencoba membandingkan luaran jangka panjang antara PCI dan CABG pada pasien di atas usia 80 tahun. Studi retrospektif ini melibatkan 369 pasien yang menjalani PCI dan 42 pasien yang menjalani CABG. Studi ini tidak menemukan perbedaan bermakna terkait angka mortalitas dalam rumah sakit dan kesintasan antara kedua kelompok. Namun, pasien PCI ditemukan lebih rentan mengalami syok kardiogenik.[11]
Kesimpulan
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi di dunia. Pada dasarnya terdapat 3 pilihan terapi untuk penderita penyakit jantung koroner yang meliputi terapi medikamentosa, percutaneous coronary intervention (PCI), dan coronary artery bypass surgery (CABG).
Pada lansia, intervensi dengan PCI dianggap membawa risiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi, namun hal ini belum didukung dengan bukti ilmiah yang adekuat. Studi observasional yang membandingkan PCI dengan terapi fibrinolitik menunjukkan bahwa kedua modalitas tata laksana ini memiliki efikasi dan keamanan yang sebanding. Sedangkan, untuk PCI dibandingkan CABG, didapatkan hasil bahwa CABG lebih superior.
Meski demikian, masih dibutuhkan uji klinis acak terkontrol dengan jumlah sampel lebih besar sebelum kesimpulan lebih pasti bisa diambil. Tata laksana pasien juga perlu menimbang rasio manfaat dan risiko berdasarkan case-by-case basis, termasuk menimbang usia, komorbiditas, dan rentang waktu dari onset gejala ke penanganan.