Peningkatan angka infeksi novel coronavirus atau COVID-19 di Indonesia membuat dokter perlu mengetahui kriteria pasien dan metode skrining COVID-19, termasuk untuk individu yang asimtomatik.
COVID-19 merupakan penyakit infeksi oleh virus SARS-CoV-2 atau 2019-nCoV. Virus ini merupakan famili Coronaviridae atau human coronaviruses (HCoVs) yang dapat menyebabkan gejala ringan hingga berat.[1,2]
Tanda dan gejala COVID-19 bervariasi mulai dari kasus asimtomatik hingga gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) seperti demam, batuk, dan sesak. Walaupun sebagian besar kasus bergejala ringan, pasien dengan kasus berat dapat mengalami pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, hingga kematian. Kasus berat COVID-19 biasanya terjadi pada pasien usia lanjut dengan penyakit kronik penyerta. Masa inkubasi SARS-CoV-2 adalah 5–6 hari dengan waktu terpanjang 14 hari.
COVID-19 diketahui dapat menular antar manusia melalui kontak erat dan droplet. Transmisi udara dimungkinkan pada prosedur tertentu yang menghasilkan aerosol. Saat ini, belum ada vaksin yang tersedia dan belum ada bukti mengenai efektivitas berbagai terapi medikamentosa untuk tata laksana COVID-19.[3-5]
Kriteria Pasien untuk Skrining COVID-19 pada Individu Asimtomatik
Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang berlaku sejak 13 Juli 2020, kelompok asimtomatik yang perlu dilakukan skrining adalah kategori kontak erat dan kategori pelaku perjalanan.
Kontak Erat
Sebelum membahas definisi kontak erat, kita perlu memahami definisi kasus suspek, kasus probable, dan kasus konfirmasi terlebih dahulu. Kasus suspek adalah seseorang yang memiliki salah satu kriteria berikut:
- Orang dengan ISPA, yaitu orang dengan demam (≥38 derajat Celsius) atau riwayat demam, dan disertai salah satu gejala penyakit pernapasan seperti batuk, sesak napas, sakit tenggorokan, pilek, pneumonia ringan hingga berat, dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara atau wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal
- Orang dengan salah satu gejala ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau kasus probable COVID-19
- Orang dengan ISPA berat atau pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan
Sementara itu, kasus probable didefinisikan sebagai kasus suspek dengan ISPA berat atau acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau meninggal, dengan gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 meskipun belum ada hasil pemeriksaan laboratorium reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Kasus disebut sebagai kasus konfirmasi bila seseorang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Istilah kontak erat digunakan untuk orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau kasus konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
- Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih
- Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain)
- Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar
- Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat
Pada kasus probable atau kasus konfirmasi yang simtomatik, untuk menemukan kontak erat, periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Pada kasus konfirmasi yang asimtomatik, untuk menemukan kontak erat, periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.[3]
Pelaku Perjalanan
Skrining juga perlu dilakukan pada pelaku perjalanan. Definisi pelaku perjalanan adalah seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir. Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang melaporkan adanya kasus konfirmasi yang sumber penularannya berasal dari wilayah yang melaporkan kasus tersebut. Daftar negara/wilayah dengan transmisi lokal dapat dipantau di situs pemerintah infeksiemerging.kemkes.go.id.[3]
Kriteria Pasien untuk Skrining Menurut WHO
Berdasarkan Technical Focus: COVID-19 Early Epidemiologic and Clinical Investigations for Public Health Response oleh World Health Organization (WHO), beberapa kelompok orang yang memerlukan deteksi dini dengan protokol early investigation yang berbeda, antara lain:
- Kontak erat kasus COVID-19 pada populasi umum
- Kontak erat kasus COVID-19 pada lingkungan rumah tangga
- Tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat pasien COVID-19[6]
Kriteria Pasien untuk Skrining Menurut CDC
Menurut CDC, orang yang dapat menjalani tes viral antara lain:
- Individu dengan tanda dan gejala yang konsisten dengan COVID-19
- Individu asimtomatik dengan kecurigaan paparan terhadap SARS-CoV-2 atau dengan riwayat paparan yang sudah dikonfirmasi
- Individu asimtomatik tanpa kecurigaan riwayat paparan SARS-CoV-2 atau tanpa riwayat paparan yang sudah dikonfirmasi
- Individu yang diperiksa untuk menentukan resolusi infeksi
- Individu yang diperiksa untuk kepentingan surveilans publik[7]
Metode Skrining COVID-19
Skrining dimulai dengan melakukan pendataan kontak (contact listing) dari kasus suspek, kasus probable, dan kasus konfirmasi COVID-19. Orang yang mengetahui dirinya merupakan kontak erat atau memiliki riwayat perjalanan dari negara yang memiliki transmisi COVID-19 atau area transmisi lokal di Indonesia yang belum tercatat dalam contact listing ini juga dapat melaporkan dirinya secara mandiri melalui hotline Corona 119 ext. 9 atau menghubungi rumah sakit rujukan terdekat.
Tabel 1. Formulir Pendataan Kontak (Contact Listing) dari Kementerian Kesehatan
Skrining kemudian dilakukan dengan cara karantina. Karantina dilakukan di rumah selama 14 hari sejak kontak oleh dokter, perawat, dan/atau tenaga kesehatan lain. Evaluasi dan monitoring hasil pengawasan dilakukan oleh dinas kesehatan setempat.
Metode Skrining untuk Kategori Kontak Erat
Orang yang termasuk dalam kategori kontak erat akan dikarantina selama 14 hari. Jika setelah dilakukan karantina selama 14 hari tidak muncul gejala, maka pemantauan dapat dihentikan. Akan tetapi jika selama pemantauan kontak erat muncul gejala, maka harus segera diisolasi dan diperiksa swab (RT-PCR).[3]
Metode Skrining untuk Pelaku Perjalanan
Berbeda dengan kategori kontak erat, pelaku perjalanan asimtomatik hanya perlu melakukan karantina saja tanpa memerlukan pemeriksaan RT-PCR. Walau demikian, pelaku perjalanan yang memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19 tentunya akan dimasukkan ke dalam kategori kontak erat dan memerlukan RT-PCR. Pelaku perjalanan selain perlu melakukan karantina juga akan diberikan health alert card yang perlu dibawa saat berobat ke fasilitas kesehatan jika timbul gejala saat karantina.[3]
Follow Up Hasil Skrining untuk Kontak Erat
Follow up hasil skrining untuk kontak erat didasarkan pada muncul tidaknya gejala saat karantina dan hasil pemeriksaan RT-PCR pada hari ke-1 dan ke-14:
- Hasil pemeriksaan RT-PCR positif: tangani sebagai kasus konfirmasi COVID-19
- Hasil pemeriksaan RT-PCR negatif: bukan kasus COVID-19
- Muncul demam dan/atau gejala gangguan pernapasan: naikkan status menjadi kasus suspek
- Adanya gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berat atau ARDS: naikkan status menjadi kasus probable
Gejala ISPA berat pada pasien dewasa didefinisikan sebagai demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas ditambah setidaknya satu dari gejala berikut ini:
- Frekuensi napas >30 x/menit
Distress pernapasan berat
- Saturasi oksigen <90%
Gejala ISPA berat pada pasien anak didefinisikan sebagai batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya satu dari gejala berikut ini:
- Sianosis sentral atau saturasi oksigen <90%
Distress pernapasan berat seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat
- Tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang
- Tanda lain dari pneumonia: tarikan dinding dada, takipnea[3]
Follow Up Hasil Skrining untuk Pelaku Perjalanan
Follow up hasil skrining untuk pelaku perjalanan didasarkan pada ada tidaknya gejala:
- Adanya demam dan/atau gejala pernapasan: naikkan status menjadi kasus suspek
- Adanya gejala ISPA berat atau ARDS: naikkan status menjadi kasus probable[3]
Metode Skrining menurut WHO
WHO melalui Technical Focus: COVID-19 Early Epidemiologic and Clinical Investigations for Public Health Response menetapkan berbagai protokol early investigations. Terdapat tiga jenis protokol deteksi dini dari total lima protokol early investigations, antara lain:
The First Few X cases and contacts (FXX) investigation protocol for coronavirus disease 2019 (COVID-19): Protokol ini digunakan untuk pencarian dan identifikasi kasus dan kontak erat di populasi umum atau lokasi dekat, seperti rumah tangga, pelayanan kesehatan, dan sekolah. Protokol ini merupakan protokol pertama yang dilakukan setelah kasus COVID-19 terkonfirmasi laboratorium ditemukan dalam sebuah negara
Households transmission (HH) of COVID-19 investigation protocol: Protokol ini merupakan studi prospektif case-ascertained terhadap kontak dalam rumah tangga kasus COVID-19 terkonfirmasi laboratorium
Assessment of COVID-19 risk factors among health workers (HW) protocol: Protokol ini didesain untuk menginvestigasi tingkat dan risiko infeksi di kalangan tenaga kesehatan. Protokol dilakukan dengan mengumpulkan data spesimen dari tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan tempat kasus COVID-19 dirawat untuk mengetahui rute transmisi dan mencegah penyebaran infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan[6,8]
Kesimpulan
Skrining COVID-19 pada individu asimtomatik dilakukan pada kategori kontak erat dan pelaku perjalanan. Istilah kontak erat digunakan untuk orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau kasus konfirmasi COVID-19. Tenaga kesehatan yang kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19 tanpa menggunakan alat pelindung diri sesuai standar pedoman juga termasuk dalam kategori ini.
Skrining pada individu asimtomatik dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penelusuran kontak dari kasus suspek, kasus probable, dan kasus konfirmasi COVID-19. Masyarakat juga dapat melaporkan diri secara mandiri dengan menghubungi hotline Corona di 119 ext 9 atau menghubungi rumah sakit rujukan terdekat.
Skrining kemudian dilanjutkan dengan karantina untuk melihat muncul tidaknya gejala hingga 14 hari setelah kontak. Pada kontak erat asimtomatik, perlu dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium pada hari ke-1 dan hari ke-14, sedangkan pada pelaku perjalanan hal ini tidak diperlukan.
Follow up hasil skrining dilakukan berdasarkan ada tidaknya gejala dan hasil pemeriksaan RT-PCR. Jika hasil pemeriksaan RT-PCR positif, maka pasien dikategorikan sebagai kasus konfirmasi COVID-19. Sementara itu, jika hasil pemeriksaan RT-PCR negatif, maka pasien bukan kasus COVID-19. Berdasarkan gejala yang muncul, status kontak erat atau pelaku perjalanan dapat dinaikkan menjadi kasus suspek atau kasus probable.