Lesi Herpes Zoster pada Lansia Tidak Khas Vesikel

Oleh :
dr.Megawati Tanu

Pada lansia, manifestasi klinis herpes zoster bisa bersifat atipikal dan tidak selalu menunjukkan adanya vesikel herpetiformis yang khas. Lesi herpes zoster pada lansia bisa saja hanya sebatas bercak kecil sesuai dermatoma, atau gambaran makulopapular tanpa perkembangan menjadi vesikel.[1]

Secara klasik, herpes zoster ditandai oleh ruam dermatomal unilateral yang awalnya makulopapular berdasar eritema, lalu berkembang menjadi lesi vesikulopustular, yang setelah 7-10 hari mulai berkrusta dan sembuh dalam 2-4 minggu. Ruam ini dapat terbatas pada satu dermatom atau terjadi pada dermatom yang berdekatan, tergantung pada distribusi ganglia sensorik tempat reaktivasi terjadi. Pada pasien dengan usia lebih tua, lesi klasik ini bisa saja tidak tampak.[1,2]

HerpesZosterLansia

Herpes zoster, atau cacar ular, merupakan reaktivasi infeksi Virus Varicella Zoster (VZV) laten. Reaktivasi terjadi akibat penurunan imun dan penurunan aktivitas sel T limfosit seiring usia. Herpes zoster lebih rentan terjadi pada lansia dan individu imunokompromais, seperti pasien HIV atau yang mengonsumsi imunosupresan. Data menunjukkan bahwa kejadian herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada usia > 50 tahun.[1-3]

Gambaran Lesi Herpes Zoster Atipikal pada Lansia

Pada lansia, lesi herpes zoster bisa muncul seperti gambaran klasik yang telah dijabarkan di atas. Namun, lesi herpes zoster juga sering muncul sebagai lesi atipikal berupa plak kecil atau lesi makulopapular tanpa perkembangan menjadi vesikel, meskipun penyebarannya tetap terjadi sesuai dermatom. Terjadinya lesi atipikal ini diduga berkaitan dengan penurunan imunitas, seperti gangguan respon sel T terhadap infeksi VZV dan penurunan respon imun seluler terhadap VZV.[1,4]

Nyeri neuropati mungkin dirasakan pasien lansia sebelum lesi timbul. Pasien juga bisa mengeluhkan kulit yang menjadi sangat sensitif. Sementara itu, gejala pada fase prodromal umumnya serupa dengan pasien dewasa lainnya, yakni demam, lemas, sakit kepala, dan fotofobia. Pada beberapa kasus, fase prodromal tidak diikuti dengan perkembangan lesi kulit, atau disebut Zoster Sine Herpete.[1,3]

Herpes Zoster Oftalmikus (HZO)

Pada beberapa kasus, herpes zoster bermanifestasi di sekitar mata akibat reaktivasi pada cabang oftalmikus saraf trigeminal. Saraf ini juga menginervasi kulit di atas hidung, sehingga dapat muncul lesi di ujung hidung yang disebut tanda Hutchinson. Pada kasus yang jarang, dapat terjadi acute necrosis retina (ARN) dan progressive outer retinal necrosis (PORN), yang merupakan spektrum retinopati virus yang berbahaya dengan perjalanan klinis progresif cepat.[1]

ARN merupakan kondisi nekrosis retina tidak merata, yang menimbulkan keluhan berupa nyeri preorbital, floaters, kemerahan, dan penurunan lapang pandang perifer permanen. Di sisi lain, PORN sering muncul sebagai kehilangan penglihatan tiba-tiba, tanpa rasa sakit, disertai floaters dan penyempitan lapang pandang dengan ablasi retina. PORN mungkin didahului oleh HZO, neuritis retrobulbar, meningitis aseptik, atau oklusi arteri retina sentral.[1,5]

Neuritis Kranial

Herpes zoster pada lansia juga bisa bermanifestasi sebagai neuritis kranial. Gambaran klinis akan bervariasi, tergantung pada saraf kranial yang terkena. Neuritis yang melibatkan saraf kranial III, IV dan VI dapat bermanifestasi sebagai oftalmoplegia atau ptosis.

Keterlibatan saraf kranial VII akan menyebabkan sindrom Ramsay-Hunt, yang ditandai oleh kelumpuhan wajah ipsilateral dengan lesi pada meatus auditorius eksterna dan membran timpani atau pada dua pertiga anterior ipsilateral lidah dan palatum.

Keterlibatan saraf kranial VIII dapat menyebabkan mual, muntah, gangguan pendengaran, tinnitus, vertigo, dan nistagmus. Keterlibatan saraf kranial XI, X dan IX dapat menyebabkan odinofagia, disfagia, suara serak, disgeusia, serta paresis hemilaring atau hemifaring.[1]

Mielitis

Mielitis akibat reaktivasi VZV dapat menyebabkan gejala berupa paresis ekstremitas, inkontinensia urin atau inkontinensia alvi, serta defisit sensorik. Pada pasien imunokompeten, kondisi ini biasanya bersifat swasirna.[1]

Herpes Zoster Pada Organ Viseral

Pada kasus yang sangat jarang, reaktivasi VZV dapat terjadi pada akar dorsal atau ganglia otonom yang diikuti penyebaran ke organ dalam. Beberapa laporan kasus menyebutkan bahwa herpes zoster ini menyebabkan pankreatitis, hepatitis, dan gastritis.[1]

Herpes Zoster Diseminata

Herpes Zoster Diseminta merupakan kondisi di mana terdapat ≥ 20 vesikel di luar area dermatom primer atau yang terdekat atau lesi yang muncul melibatkan ≥ 3 dermatom. Kasus ini jarang terjadi pada pasien imunokompeten, tetapi sering terjadi pada individu imunokompromais.[1,6]

Penegakan Diagnosis pada Lansia dengan Lesi Herpes Zoster Atipikal

Diagnosis herpes zoster biasanya dapat ditegakkan secara klinis, yakni berdasarkan gejala dan pemeriksaan pada lesi. Apabila manifestasi klinis sangat meragukan, maka diagnosis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dari cairan vesikel.[4]

Jika tidak terdapat cairan vesikel, specimen PCR dapat diperoleh dari kerokan lesi, krusta, biopsi jaringan, air liur, cairan serebrospinal ataupun darah. Pemeriksaan PCR untuk DNA VZV memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi dan menjadi baku emas untuk diagnosis herpes zoster.

Alternatif lain adalah pemeriksaan kultur VZV, tetapi pemeriksaan ini memiliki sensitivitas lebih rendah dibanding PCR (30-75%) dan hasilnya baru keluar setelah 1-2 minggu.[1,4]

Terapi Herpes Zoster pada Lansia

Terapi herpes zoster pada lansia sebetulnya tidak terlalu berbeda dengan terapi herpes zoster untuk pasien dewasa umumnya. Pemberian antivirus diperlukan selama 7-10 hari. Selain itu, analgesik juga diperlukan karena herpes zoster umumnya menyebabkan nyeri yang sangat mengganggu.[1-3]

Antivirus

Herpes zoster pada lansia merupakan indikasi klinis pemberian antivirus, terutama jika disertai ruam atau nyeri intensitas sedang-berat, ruam yang melibatkan area non-trunkal, dan pasien imunokompromais. Antivirus idealnya diberikan dalam waktu 72 jam setelah timbulnya ruam. Pilihan antivirus antara lain:

  • Acyclovir oral 800 mg, diberikan 5 kali sehari, selama 7-10 hari

  • Famciclovir oral 500 mg, diberikan setiap 8 jam, selama 7 hari
  • Valacyclovir oral 1 gram, diberikan setiap 8 jam, selama 7 hari

Semua antivirus di atas akan memerlukan penyesuaian dosis pada pasien yang sudah mengalami penurunan fungsi ginjal.

Pada pasien dengan manifestasi klinis berat, seperti pasien dengan herpes zoster pada organ viseral, dapat diberikan acyclovir intravena (IV) 10-15 mg/kg, setiap 8 jam hingga didapatkan perbaikan klinis. Terapi dapat diubah ke regimen oral setelah pasien membaik dan tidak dijumpai lesi baru. Terapi oral dilanjutkan hingga didapatkan total 10-14 hari terapi.[1,3]

Kortikosteroid

Meta analisis menunjukkan tidak ada manfaat pemberian kortikosteroid dalam mengurangi kejadian dan durasi neuralgia post herpetik (NPH). Namun, beberapa praktisi menggunakan steroid pada kasus kelumpuhan wajah akibat VZV dan polineuritis kranial untuk mengurangi peradangan dan pembengkakan serta mengurangi risiko kerusakan saraf perifer. Jika digunakan, steroid harus selalu diberikan bersamaan dengan antivirus.[1,2]

Analgesik

Pilihan analgesik bergantung pada beratnya nyeri. Nyeri ringan dapat diobati dengan paracetamol dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). Pada pasien dengan nyeri intensitas berat, pertimbangkan pemberian opioid.[1,2]

Kesimpulan

Lansia telah mengalami perubahan fisiologis yang terjadi seiring pertambahan usia. Hal ini menyebabkan manifestasi klinis herpes zoster pada lansia bisa saja tidak khas (atipikal). Pasien lansia bisa tidak menunjukkan vesikel herpetiformis yang merupakan lesi klasik herpes zoster, melainkan justru mengalami plak kecil dermatomal atau lesi makulopapular yang tidak berkembang menjadi vesikel. Pada kasus di mana gejala herpes zoster sangat meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) atau kultur virus untuk memastikan diagnosis.

Terapi yang diberikan pada lansia tidak banyak berbeda dari dewasa pada umumnya. Pasien memerlukan antivirus, seperti acyclovir dan valacyclovir, serta analgesik untuk mengatasi nyeri. Penyesuaian dosis antivirus akan diperlukan pada pasien yang sudah mengalami penurunan fungsi ginjal, yang merupakan hal umum pada pasien lansia. Pada kasus berat, misalnya herpes zoster pada organ viseral, antivirus perlu diberikan secara intravena.

Referensi