Manajemen Diabetes pada Pasien Tuberkulosis

Oleh :
dr.Megawati Tanu

Manajemen optimal komorbiditas diabetes mellitus dan tuberkulosis sangat penting tetapi menantang dalam hal mencapai luaran klinis yang baik, menghindari toksisitas, dan interaksi obat. Manajemen diabetes selama pengobatan antituberkulosis haruslah bertujuan untuk meningkatkan hasil pengobatan tuberkulosis dan mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait diabetes dan tuberkulosis.

Terdapat hubungan bidireksional antara tuberkulosis dan diabetes mellitus. Kedua kondisi ini digambarkan sebagai penyakit ’sindemis’ karena tingkat kejadian bersamanya tinggi. Diabetes berdampak pada gangguan bersihan sistem mukosiliar dan mikroangiopati pulmoner sehingga risiko pembentukan, penyebaran, dan infeksi tuberkulosis meningkat. Di sisi lain, tuberkulosis dapat menyebabkan intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol glikemik.[1,2]

DiabetesTuberkulosis

Pengaruh Komorbiditas Tuberkulosis dan Diabetes Mellitus

Keberadaan tuberkulosis dan diabetes mellitus pada pasien meningkatkan risiko resistensi obat antituberkulosis, kegagalan terapi, serta kekambuhan tuberkulosis akibat paparan obat antituberkulosis yang lebih rendah. Diabetes yang tidak terkontrol juga akan memperburuk kerentanan terhadap tuberkulosis dan memperburuk luaran terapi, sementara kontrol glikemik optimal dapat menurunkan risiko tersebut.

Studi menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang baik berkontribusi pada penurunan positivitas sputum, perbaikan lesi kavitas pada radiologi, serta peningkatan efikasi terapi antituberkulosis dari segi klinis, radiologis, dan bakteriologis. Selain itu, faktor gaya hidup buruk, seperti merokok, dapat meningkatkan risiko mortalitas pada pasien dengan kedua penyakit ini,[1-3]

Manajemen Diabetes pada Pasien Tuberkulosis

Target kontrol glikemik pasien diabetes mellitus selama menjalani terapi tuberkulosis adalah:

  • HbA1C <8%, atau

  • Kadar gula darah puasa (GDP) <180 mg/dl, atau
  • Kadar gula darah post prandial <200 mg/dl[4]

Pada kondisi tertentu seperti lansia, durasi diabetes yang lama, risiko hipoglikemia yang tinggi, nefropati, neuropati, dan disfungsi hepar akan diperlukan penyesuaian target kontrol glikemik.[5]

Pemantauan Kontrol Glikemik

Monitor kontrol glikemik yang disarankan adalah menggunakan nilai HbA1c atau GDP. Frekuensi pemantauan tergantung pada derajat beratnya diabetes. Pada kasus ringan, seperti HbA1C <8%, pengukuran gula darah atau HbA1c dapat dilakukan setiap 3 bulan. Pada kasus berat, seperti HbA1C >10%, pengukuran perlu dilakukan lebih sering, yakni setiap 1-2 minggu hingga target glikemik optimal tercapai.[4]

Pilihan Terapi Diabetes pada Pasien Tuberkulosis

Saat ini terdapat berbagai macam golongan obat diabetes yang tersedia secara luas. Penentuan jenis obat yang akan diberikan harus memperhatikan faktor interaksi antar obat, ketersediaan, biaya, rute pemberian, dan keamanan obat. Beberapa kondisi terkait keamanan obat yang harus diperhatikan adalah:

  • Risiko hipoglikemia, terutama golongan sulfonilurea dan insulin.
  • Risiko asidosis laktat (terutama pada kondisi hipoksia) pada golongan biguanide
  • Risiko keluhan gastrointestinal pada obat golongan biguanid, meglitinide, dan alpha glukosidase inhibitor,
  • Risiko hipersentitivitas terhadap sulfonilurea yang dapat tumpang tindih dengan efek samping obat antituberkulosis.[5]

Metformin merupakan terapi lini pertama yang dianjurkan. Obat ini memiliki kelebihan berupa risiko hipoglikemia yang rendah, interaksi obat relatif sedikit, efek tambahan pada kardiovaskular, dan cost-effectiveness yang baik. Metformin juga telah dilaporkan memiliki efek tambahan berupa penurunan mortalitas pasien tuberkulosis.

Sulfonilurea dapat dijadikan pilihan kedua (digunakan sebagai tambahan terapi metformin), tetapi perlu diingat adanya interaksi obat berupa peningkatan metabolisme sulfonilurea jika digunakan dengan rifampicin. Sulfonilurea juga sering menyebabkan hipoglikemia. Contoh obat golongan sulfonilurea adalah gliclazide, glibenclamide, glimepiride, dan glipizide.[3,4]

Insulin membawa berbagai kelebihan untuk penanganan diabetes pada pasien tuberkulosis karena dapat meningkatkan nafsu makan, membantu peningkatan berat badan pada pasien tuberkulosis yang mengalami malnutrisi, serta menurunkan HbA1c paling cepat. Sementara itu, obat diabetes baru seperti agonis reseptor GLP-1, DPP4-I (dipeptidyl peptidase 4 inhibitor), dan SGLT2-I (sodium glucose transporter 2 inhibitor) terkendala oleh harganya yang mahal dan ketersediaan yang masih terbatas.[4,5]

Tabel 1. Perbandingan Pilihan Obat Diabetes pada Pasien Tuberkulosis

Karakteristik Metformin Sulfonilurea Insulin
Indikasi Lini pertama Terapi tambahan metformin Gunakan bila target HbA1C atau GDP tidak bisa tercapai
Kasus intoleransi atau kontraindikasi terhadap metformin Hiperglikemia simptomatik
Risiko hipoglikemia  Tidak ada Ada Ada
Dosis 500 mg 1-2 kali sehari, titrasi hingga dosis maksimal 2000 mg/hari Gliclazide 40-80 mg sekali sehari Dosis awal: 10 Unit insulin basal
Glibenclamide 2,5-5 mg sekali sehari
Glimepiride 1-2 mg sekali sehari
Glipizide 5 mg sekali sehari
Interaksi dengan rifampicin Tidak ada Rifampicin meningkatkan metabolisme sulfonilurea Tidak ada
Efek samping utama Gastrointestinal Hipoglikemia Hipoglikemia
Asidosis laktat
Konsumsi pada kondisi penurunan fungsi ginjal Penyesuaian dosis pada eGFR <45 ml/menit Risiko hipoglikemia meningkat Aman
Kontraindikasi pada eGFR < 30 ml/menit
Kardiovaskular Manfaat kardiovaskular Netral Netral

Sumber: dr. Megawati Tanu, Alomedika, 2025.[3-5]

Cara Inisiasi Terapi Diabetes pada Pasien Tuberkulosis

Inisiasi terapi diabetes pada pasien tuberkulosis dapat dibedakan berdasarkan diabetes onset baru dan lama, serta menurut kontrol glikemik pasien.

Pasien Tuberkulosis dengan Diabetes Onset Baru:

Pada populasi pasien ini, jika HbA1C < 8% atau GDP < 180 mg/dl, maka tidak perlu dilakukan intervensi segera. Cukup lakukan penilaian ulang kadar glukosa darah pada bulan ke-2 dan akhir pengobatan tuberkulosis.

Sementara itu, jika HbA1C ≥8% namun < 10% atau GDP ≥180 mg/dl namun < 270 mg/dl, maka mulai metformin 500 mg sekali sehari dan nilai ulang kontrol glikemik 2 minggu kemudian. Bila gula darah tidak ada perbaikan, naikan dosis metformin menjadi 500 mg 2 kali sehari atau pertimbangkan keperluan rujukan ke spesialis. Jika HbA1C ≥10% atau GDP ≥ 270 mg/dl, maka berikan metformin 500 mg 2 kali sehari dan rujuk pasien ke spesialis.[3-5]

Pasien Tuberkulosis dengan Diabetes Onset Lama:

Pada populasi pasien ini, jika HbA1C < 8% atau GDP < 180 mg/dl, maka cukup lanjutkan terapi yang sudah pasien gunakan. Sementara itu, jika HbA1C ≥8% namun < 10% atau GDP ≥180 mg/dl namun < 270 mg/dl, lakukan intensifikasi terapi obat diabetes yang sudah pasien gunakan dan nilai ulang kontrol glikemik dalam 1-2 minggu. Di sisi lain, pasien dengan HbA1C ≥10% atau GDP ≥ 270 mg/dl akan memerlukan rujukan lebih lanjut ke spesialis.[3-5]

Perhatian Khusus dan Risiko Terapi pada Pasien Diabetes-Tuberkulosis

Penanganan diabetes pada pasien tuberkulosis harus mencakup kontrol glikemik, berhenti merokok, dan penilaian risiko kardiovaskular. Pada prinsipnya, manajemen diabetes pada pasien tuberkulosis perlu dilakukan secara agresif karena kontrol glikemik optimal dapat meningkatkan prognosis dan luaran pasien. Namun, pendekatan ini harus diimbangi dengan pengetahuan akan risiko yang mungkin timbul.[3-5]

Tabel 2. Efek samping Obat Tuberkulosis pada Pasien Diabetes

Obat Efek samping Perhatian Khusus Manajemen
Isoniazid Neuropati perifer Efek samping lebih berat pada pasien diabetes Berikan pyridoxin atau hentikan semua pengobatan jika efek samping sangat berat
Hepatitis
Rifampicin Gastrointestinal Mungkin diperburuk dengan konsumsi metformin

Berikan terapi simptomatik. Hentikan terapi jika efek samping sangat berat.

 

Hepatitis
Urine warna merah
Pyrazinamide Arthralgia Arthralgia dan hepatotoksik lebih sering dijumpai pada pasien diabetes Berikan analgesik
Hepatitis Hentikan semua pengobatan
Ethambutol Retro bulbar neuritis Mungkin diperburuk dengan retinopati diabetes Hentikan semua pengobatan

Sumber: dr. Megawati Tanu, Alomedika, 2025.[3-5]

Tabel 3. Pertimbangan Khusus Terapi Tuberkulosis pada Pasien Diabetes

  Permasalahan Pertimbangan Khusus
Interaksi obat Rifampicin meningkatkan metabolisme obat sulfonilurea sehingga konsentrasi plasma menurun dan regulasi terapi lebih sulit. Insulin dan metformin jarang memiliki interaksi dengan rifampicin.
Toksisitas antar obat Isoniazid dan diabetes Neuropati perifer dapat muncul akibat isoniazid dan diabetes.
Ethambutol dan diabetes Ethambutol berdampak pada mata dan diabetes menyebabkan retinopati
Metformin dan obat antituberkulosis Meningkatkan risiko keluhan gastrointestinal
Kepatuhan berobat Kepatuhan dapat menurun pada pasien akibat komorbiditas diabetes-tuberkulosis, jumlah pil yang banyak, dan efek samping obat. Edukasi pasien mengenai pil FDC (Fixed Dose Combination).
Keperluan penggunaan kortikosteroid Kortikosteroid digunakan pada kasus TB meningitis, TB pericarditis, atau immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) dan dapat menyebabkan hiperglikemia Tingkatkan frekuensi pemantauan glukosa darah dan penyesuaian obat antidiabetes oral

Sumber: dr. Megawati Tanu, Alomedika, 2025.[3-5]

Metformin vs Insulin Sebagai Terapi Pilihan untuk Diabetes pada Pasien Tuberkulosis

Metformin merupakan terapi lini pertama yang disarankan, tetapi insulin memiliki berbagai keunggulan klinis terutama pada pasien dengan nefropati, hepatotoksisitas, ataupun mereka yang tidak dapat mengonsumsi obat antidiabetes oral akibat kontraindikasi. Indikasi terapi insulin adalah:

  • Hiperglikemia berat (HbA1C >10% atau GDP >270 mg/dL)
  • Bila kontrol glikemik optimal tidak dapat tercapai dengan metformin dan obat antidiabetes lainnya.

Penggunaan insulin biasanya disertai kebutuhan untuk memantau kadar glukosa darah secara mandiri dengan glukometer. American Association of Clinical Endocrinologist merekomendasikan penggunaan insulin modern atau insulin analog dibandingkan human insulin karena mekanisme obat lebih terprediksi dan jarang menyebabkan hipoglikemia.[4,5]

Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Metformin

Penggunaan metformin pada pasien diabetes-tuberkulosis memiliki beberapa keuntungan, termasuk tidak adanya interaksi dengan ABCB1, CYP3A4, atau tempat pengikatan protein, sehingga meminimalkan risiko interaksi obat dengan terapi antituberkulosis. Selain itu, metformin memiliki efek antiinflamasi yang berpotensi mengurangi inflamasi akibat tuberkulosis tanpa meningkatkan risiko pemanjangan interval QT.

Namun, penggunaannya juga memiliki keterbatasan, seperti meningkatkan efek samping gastrointestinal yang dapat mengganggu kepatuhan pasien, serta risiko hipoglikemia yang tidak terprediksi pada kasus infeksi berat. Selain itu, metformin tidak dapat digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati.[4,5]

Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Insulin

Keuntungan penggunaan insulin antara lain tidak berinteraksi dengan transporter atau enzim CYP3A4, sehingga minim risiko interaksi obat. Insulin juga memiliki efek antiinflamasi, vasodilatasi, dan antioksidan yang membantu mengurangi inflamasi akibat infeksi tuberkulosis.

Selain itu, insulin tidak berisiko menyebabkan pemanjangan interval QT dan memiliki efek hipoglikemia yang lebih terprediksi pada kasus infeksi berat. Insulin juga dapat diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 30 ml/menit, dan pasien dengan sirosis hepar.

Namun, penggunaannya juga memiliki kelemahan, seperti peningkatan risiko hipertensi dan kerusakan otot, terutama pada insulin glargine, yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan pasien.[4]

Kesimpulan

Manajemen komorbiditas diabetes dan tuberkulosis bertujuan untuk memperbaiki luaran tuberkulosis dan menurunkan morbiditas terkait diabetes. Metformin merupakan terapi diabetes pilihan pada pasien tuberkulosis karena memiliki keuntungan klinis berupa terbukti mampu menurunkan mortalitas pasien tuberkulosis, risiko hipoglikemia yang rendah, interaksi obat relatif sedikit, dan efek tambahan pada kardiovaskular. Pemantauan kontrol glikemik dilakukan tiap 3 bulan pada kasus ringan, tetapi perlu lebih sering (setiap 1-2 minggu) pada kasus berat, dengan target HbA1c <8%.

Dalam memilih terapi dan manajemen keseluruhan, dokter harus mempertimbangkan risiko interaksi obat, efek samping, kepatuhan pengobatan, dan risiko kardiovaskular. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus < 30 ml/menit atau pasien dengan sirosis hepar, pemberian insulin lebih disarankan dibandingkan metformin.

Referensi