Manajemen nyeri prosedural pada anak perlu diketahui oleh dokter karena nyeri akibat prosedur medis dapat memberikan pengalaman buruk kepada anak. Contoh prosedur medis sederhana yang dapat menyebabkan nyeri pada anak adalah imunisasi, pungsi vena, perawatan gigi, dan prosedur kegawatdaruratan minor seperti perawatan laserasi.
Nyeri prosedural sering tidak diperhatikan dan tidak ditangani dengan baik oleh petugas kesehatan. Padahal, pengalaman buruk akibat nyeri prosedural pada anak mungkin mengganggu respons nyeri di kemudian hari atau menimbulkan trauma psikis terhadap prosedur medis. Selain itu, apabila nyeri tidak diatasi, efek jangka pendek dan jangka panjang termasuk sensitisasi nyeri di kemudian hari mungkin terjadi.[1-4]
Nyeri prosedural dikategorikan dalam nyeri akut yang umumnya berhubungan dengan investigasi ataupun pengobatan medis. Penanganan nyeri prosedural dapat dilakukan secara nonfarmakologis ataupun farmakologis. Akan tetapi, tata laksana nyeri yang umum dilakukan sering gagal karena imaturitas sistem saraf anak membuat respons nyeri anak berbeda dengan pasien dewasa.
Pada pasien anak, manajemen nyeri prosedural harus dilakukan secara multimodal untuk meningkatkan efikasi analgesik dan toleransi prosedural. Pilihan intervensi nyeri prosedural akan menentukan respons pasien terhadap terapi yang diberikan.[4-6]
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Edukasi pada orang tua maupun anak sangat membantu untuk menurunkan rasa nyeri. Partisipasi orang tua untuk menangani nyeri dapat membantu mengurangi penggunaan analgesik berlebih. Sebelum tindakan, dokter sebaiknya memberi edukasi pada orang tua (terutama untuk orang tua dari anak yang belum bisa berkomunikasi) tentang rasa nyeri yang akan dirasakan anak dan manajemen nyeri yang akan dilakukan.
Anak berusia >3 tahun juga dapat diajak berkomunikasi sebelum prosedur atau saat prosedur bila memungkinkan. Komunikasi dengan anak dapat mengalihkan rasa nyeri sehingga nyeri tidak terlalu dirasakan. Orang tua juga disarankan hadir saat tindakan karena secara tidak langsung dapat menenangkan anak.[7,8]
Intervensi Nonfarmakologis
Tujuan utama intervensi nonfarmakologis adalah menenangkan pasien. Intervensi ini dapat dilakukan sebelum, sesaat, maupun setelah prosedur.[9]
Musik
Beberapa studi menunjukkan bahwa musik dapat memberikan hasil yang positif untuk menurunkan nyeri prosedural pada bayi dan anak. Ada delapan studi yang berfokus pada anak dan empat di antaranya menunjukkan bahwa musik memiliki efek penurunan nyeri pada bayi yang sedang disirkumsisi. Namun, studi lain menunjukkan hasil yang berbeda, di mana efektivitas musik masih tidak dapat disimpulkan.[10,11]
Distraksi
Teknik pengalihan seperti pemberian mainan, non nutritive sucking, atau pemberian ASI (pada bayi yang masih menyusui) dapat membantu menurunkan rasa nyeri prosedural. Teknik pengalihan ini harus disesuaikan dengan umur pasien. Contohnya, bayi dapat menggunakan kerincingan (rattle), sedangkan anak usia 1–3 tahun bisa menggunakan mainan atau diajak menyanyi. Anak usia 3–6 tahun dapat menggunakan boneka, sementara anak usia sekolah dapat menggunakan permainan pada gawai.[2]
Intervensi Psikologis
Ada beberapa strategi intervensi psikologis, seperti pendekatan cognitive behavioural dalam menurunkan kecemasan dan juga nyeri setelah prosedur medis. Meta analisis terhadap 12 randomized clinical trials terkait intervensi psikologis pada anak <18 tahun dengan diagnosis kanker menunjukkan bahwa intervensi psikologis dapat menurunkan gejala fisik, termasuk nyeri prosedural.[12]
Sukrosa
Larutan sukrosa peroral menunjukkan efektivitas yang baik untuk menurunkan nyeri prosedural pada bayi. Sukrosa dapat menurunkan nyeri karena prosedur venaseksi, heel lance, pemasangan akses intravena, dan pemeriksaan mata pada kasus retinopati prematuritas.[13,14]
Sukrosa yang dapat diberikan adalah larutan sukrosa 24%. Dosis efektif minimal larutan sukrosa 24% untuk menurunkan nyeri prosedural adalah 0,1 ml. Namun, dokter tetap perlu berhati-hati karena larutan sukrosa dapat menyebabkan efek samping seperti peningkatan denyut jantung dan respirasi serta tersedak pada 2% pasien.[15,16]
Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis juga merupakan modalitas manajemen nyeri prosedural yang bisa dipertimbangkan. Pilihan yang bisa diberikan adalah anestesi topikal, paracetamol dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), atau analgesik opioid.
Anestesi Topikal
Anestesi topikal seperti lidocaine 5% dapat digunakan untuk prosedur pengambilan darah, lumbal pungsi, kateterisasi transuretral, dan vaksinasi. Namun, meta analisis menunjukkan bahwa pemberian gel lidocaine pada anak usia <4 tahun saat kateterisasi transuretral tidak memiliki perbedaan penurunan nyeri yang signifikan bila dibandingkan gel nonanestetik.
Jumlah studi yang sesuai dengan kriteria dalam meta analisis tersebut memang masih sedikit. Penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dan penelitian pada subjek anak usia >4 tahun masih dibutuhkan.[17,18]
Paracetamol dan Obat Antiinflamasi Nonsteroid
Paracetamol dan OAINS seperti ibuprofen memiliki efek samping minimal dan biasanya ditoleransi dengan baik oleh anak. Oleh karena itu, kedua obat ini sering diberikan pada anak untuk mengatasi nyeri ringan sehari-hari. Namun, bukti yang mendukung efikasi kedua obat ini untuk mengatasi nyeri prosedural masih belum adekuat. Suatu studi menunjukkan bahwa pemberian paracetamol tidak memiliki efek penurunan nyeri pada prosedur pemeriksaan mata atau pengambilan darah neonatus.[19,20]
Analgesik Opioid
Analgesik opioid cukup sering digunakan dan cukup efektif menurunkan rasa nyeri pada anak dan bayi. Akan tetapi, opioid memiliki efek terhadap fungsi hati dan ginjal, sehingga berpotensi mengganggu organ-organ yang masih dalam tahap pematangan, terutama pada pasien neonatus. Pasien neonatus juga lebih rentan terhadap henti napas, yang merupakan salah satu efek samping opioid.[2,6]
Morfin merupakan jenis opioid yang paling sering digunakan, terutama dalam Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Pada prosedur dengan intensitas nyeri yang tinggi seperti lumbal pungsi, pemberian opioid direkomendasikan.[21]
Suatu meta analisis terhadap 13 studi mengenai pemberian opioid pada bayi yang menggunakan ventilasi mekanik menunjukkan bahwa opioid dapat menurunkan nyeri bila dibandingkan dengan kontrol.
Studi tersebut juga mendapatkan penurunan rasa nyeri yang sama antara morfin dan midazolam. Akan tetapi, morfin memiliki efek samping yang lebih sedikit. Di lain sisi, suatu studi lain menemukan bahwa pemberian morfin tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam menurunkan nyeri prosedural dibandingkan dengan plasebo.[22,23]
Fentanil intranasal juga dilaporkan dapat digunakan untuk menurunkan nyeri prosedural pada anak. Suatu studi melaporkan bahwa fentanil intranasal menurunkan tingkat nyeri secara lebih baik daripada morfin intravena pada anak yang menjalani prosedur insisi dan drainase abses.[24]
Selain itu, ketamine juga dapat digunakan untuk menangani nyeri prosedural pada anak. Selain efeknya sebagai analgesik, ketamine juga memiliki efek sedasi dan imobilisasi. Suatu studi menunjukkan bahwa kombinasi ketamine dan midazolam lebih efektif untuk pasien anak daripada kombinasi fentanil dan midazolam.[25]
Dokter harus memperhatikan efek samping opioid yang mungkin timbul, terutama yang fatal seperti depresi napas. Efek samping lain biasanya bersifat ringan, seperti mual, muntah, pruritus, dan konstipasi. Pemilihan jenis opioid, pemberian dosis yang tepat, dan pengawasan tanda dan gejala harus diperhatikan saat memberikan opioid pada anak. Dokter harus memantau pasien secara kontinu dan menyiapkan alat resusitasi, seperti suction, oksigen, dan peralatan intubasi.[26]
Kesimpulan
Penanganan nyeri prosedural pada anak sampai sekarang masih kurang diperhatikan oleh tenaga medis. Intervensi secara multimodal sebenarnya disarankan pada pasien anak karena perbedaan respons nyeri antara anak dan orang dewasa menyebabkan manajemen nyeri yang umum pada orang dewasa sering tidak berhasil pada anak.
Intervensi dapat berupa intervensi nonfarmakologis sebelum, sesaat, ataupun setelah prosedur dan intervensi farmakologis. Saat ini tidak ada rekomendasi khusus mengenai pemilihan terapi. Pemilihan terapi dapat didasarkan pada jenis prosedur, kenyamanan pasien maupun petugas medis, serta rasa nyeri yang dirasakan pasien.
Beberapa modalitas terapi untuk manajemen nyeri prosedural juga masih memerlukan studi lebih lanjut. Saat ini belum ada bukti adekuat tentang perbandingan efikasi antar opsi terapi dan belum ada panduan praktik untuk manajemen nyeri anak akibat prosedur medis. Studi lanjutan serta pembuatan kebijakan khusus untuk memudahkan praktik sehari-hari masih diperlukan.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur