Identification of Suicide Attempt Risk Factors in a National US Survey Using Machine Learning
García de la Garza Á, Blanco C, Olfson M, Wall MM. Identification of Suicide Attempt Risk Factors in a National US Survey Using Machine Learning. JAMA Psychiatry. 2021 Jan 6:e204165. doi: 10.1001/jamapsychiatry.2020.4165. PMID: 33404590
Abstrak
Latar Belakang: karena lebih dari sepertiga orang yang melakukan percobaan bunuh diri nonfatal tidak mendapatkan layanan kesehatan mental, maka menjadi penting untuk mengetahui faktor risiko upaya bunuh diri tidak hanya pada populasi dengan risiko tinggi tapi juga populasi dewasa umumnya.
Tujuan: untuk mengidentifikasi faktor risiko percobaan bunuh diri dalam populasi umum, menggunakan pendekatan machine learning berbasis data yang mencakup lebih dari 2.500 pertanyaan dari survey nasional yang mewakili populasi orang dewasa di Amerika Serikat.
Desain, tempat, dan partisipan: data diperoleh dari gelombang 1 (2001 hingga 2002) dan gelombang 2 (2004 hingga 2005) National Epidemiologic Survey on Alcohol and Related Conditions (NESARC). NESARC merupakan survey longitudinal yang dilakukan pada sampel representatif populasi sipil noninstitusi berusia 18 tahun ke atas di Amerika Serikat. Respon kumulatif di kedua gelombang tersebut mencapai 70,2%, menghasilkan 34.653 wawancara gelombang 2. Random forest berimbang dilatih menggunakan validasi silang untuk mengembangkan model risiko percobaan bunuh diri. Model prediksi out of fold digunakan untuk menilai performa model, termasuk sensitivitas, spesifisitas, dan area under the receiver operator curve. Desain survey dan bobot nonrespon memungkinkan perkiraan mewakili populasi sipil Amerika Serikat berdasarkan sensus tahun 2000. Analisis dilakukan antara 15 Mei 2019 hingga 10 Juni 2020
Luaran utama dan pengukuran: percobaan bunuh diri dalam 3 tahun di antara gelombang 1 dan gelombang 2.
Hasil: dari 34.653 partisipan, 20.089 diantaranya adalah wanita (weighted proportion 52.1%). Usia rata-rata (SD) adalah 45,1 tahun di gelombang 1 dan 48,2 tahun di gelombang 2. Percobaan bunuh diri selama 3 tahun antara gelombang 1 dan 2 dilaporkan sendiri oleh 222 dari 34.653 peserta (0,6%). Menggunakan pertanyaan survey pada gelombang 1, model risiko percobaan bunuh diri menghasilkan area under the receiver operator characteristic curve tervalidasi silang sebesar 0,857 dengan sensitivitas 85,3% dan spesifisitas 73,3% pada ambang yang dioptimalkan. Model tersebut mengidentifikasi 1,8% populasi di Amerika Serikat berada pada risiko 10% atau lebih dari percobaan bunuh diri. Faktor risiko paling penting terletak pada 3 pertanyaan tentang ide atau perilaku bunuh diri sebelumnya; 3 butir dari 12-Item Short Form Health Survey, yaitu merasa sedih, melakukan kegiatan kurang hati-hati (ceroboh), kurang mendapatkan perolehan atau prestasi karena terkendala masalah emosi; usia muda; keberhasilan pendidikan lebih rendah; dan krisis keuangan yang dialami baru-baru ini.
Kesimpulan dan relevansi: dalam penelitian ini, setelah pencarian lebih dari 2.500 pertanyaan survey, beberapa faktor risiko dari percobaan bunuh diri terkonfirmasi, seperti perilaku dan ide bunuh diri sebelumnya, dan risiko baru juga teridentifikasi termasuk gangguan fungsi akibat gangguan mental dan kekurangan secara sosioekonomi. Hasil ini dapat membantu penilaian klinis di masa depan dan pengembangan skala risiko bunuh diri baru.
Ulasan Alomedika
Dalam studi ini, artificial intelligence (AI) menggunakan machine learning (ML) dimanfaatkan untuk melakukan penelusuran perilaku dalam populasi umum dengan harapan mampu mengidentifikasi faktor risiko bunuh diri dengan lebih baik. Bunuh diri tidak hanya menjadi masalah psikiatrik, namun telah menjadi masalah global yang menyebabkan setidaknya 800.000 kematian per tahun di seluruh dunia. Memahami pola perilaku bunuh diri di masyarakat menjadi tantangan tersendiri karena penyebab bunuh diri bersifat multifaktorial dari unsur internal pribadi dan eksternal. Unsur internal pribadi melibatkan faktor neurokimia, endokrin, inflamasi, genetik dan epigenetik, riwayat trauma, penyalahgunaan zat, percobaan bunuh diri sebelumnya, hingga gangguan jiwa yang pernah dialami. [1-4] Faktor eksternal antara lain masalah psikososial, biologi, lingkungan, ekonomi, dan budaya.[5]
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini memanfaatkan artificial intelligence (AI) untuk membuat sebuah model risiko percobaan bunuh diri dari data National Epidemiologic Survey on Alcohol and Related Conditions (NESARC) di Amerika Serikat. NESARC adalah sebuah survey longitudinal skala besar nasional yang dilakukan pada tahun 2001 hingga 2002 dan 2004 hingga 2005. Subjek yang diikutkan dalam survey ini adalah masyarakat umum noninstitusi yang berusia 18 tahun ke atas dan dianggap mampu merepresentasikan masyarakat Amerika Serikat secara umum.
Respon kumulatif yang didapat dari kedua gelombang survey menghasilkan 34.653 sampel untuk dianalisis. Luaran yang diukur adalah upaya percobaan bunuh diri dalam 3 tahun antara survey gelombang 1 (2001 hingga 2002) dan gelombang 2 (2004 hingga 2005).
Ulasan Hasil Penelitian
Hasil studi menunjukan ada 222 peserta (0,6%) yang melakukan upaya percobaan bunuh diri dalam periode antara survey gelombang 1 dan gelombang 2. Model risiko percobaan bunuh diri yang dikembangkan menggunakan artificial intelligence (AI) dalam studi ini dilaporkan memiliki area under the receiver operator characteristic curve sebesar 0,857 dengan sensitivitas 85,3% dan spesifisitas 73,3%. Area under the receiver operator characteristic curve menggambarkan seberapa baik kemampuan model yang digunakan dalam studi ini untuk menilai antara masyarakat yang berisiko dan tidak berisiko. Hasil 0,857 mendekati angka 1, sehingga dapat dikatakan bahwa model ini memiliki kemampuan baik. Selain itu, model prediksi ini mengidentifikasi bahwa 1,8% populasi umum di Amerika Serikat memiliki risiko ≥10% untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Studi ini juga mengidentifikasi faktor risiko yang dianggap penting dalam menentukan kemungkinan seseorang melakukan percobaan bunuh dini. Faktor risiko yang berhasil diidentifikasi antara lain ide atau perilaku bunuh diri sebelumnya, perasaan sedih, kurangnya kehati-hatian atau kecerobohan dalam berkegiatan, penurunan pencapaian akibat masalah emosional, usia yang lebih muda, keberhasilan pendidikan yang lebih rendah, dan adanya persoalan finansial yang dialami belakangan ini.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel yang besar dan berskala nasional di Amerika Serikat berdasarkan hasil sebuah survey longitudinal. Hal ini mampu memberikan potret perilaku populasi umum, sehingga diharapkan mampu menggambarkan faktor risiko percobaan bunuh diri tidak hanya pada populasi risiko tinggi saja.
Pemanfaatan artificial intelligence (AI) menggunakan machine learning (ML) dalam studi ini memungkinkan pengolahan data yang mencakup lebih dari 2500 pertanyaan survey dan 34.653 partisipan. Data ini dimanfaatkan untuk membuat sebuah model prediksi percobaan bunuh diri yang diharapkan dapat digunakan dalam praktik.
Temuan faktor risiko pada studi ini dapat digunakan dalam pendekatan klinis untuk mengidentifikasi risiko percobaan bunuh diri pada masyarakat umum, serta dapat digunakan untuk mengembangkan skala risiko baru.
Kekurangan Penelitian
Data yang digunakan dalam studi ini adalah hasil survey nasional yang dilakukan sekitar 15 tahun sebelum dianalisis. Hal ini tentunya menimbulkan keraguan terkait relevansinya dengan perilaku masyarakat di masa sekarang. Dalam rentang waktu tersebut, bisa saja sudah terjadi pergeseran nilai dan standar kehidupan dalam masyarakat.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Bunuh diri menjadi penyebab kematian tertinggi kedua di kelompok usia 15-29 tahun di 79% negara berpendapatan rendah dan menengah, seperti Indonesia. Hal ini mendorong komitmen untuk menurunkan 10% angka kematian sesuai yang tertera dalam WHO Mental Health Action Plan 2013-2020 dan menjadi salah satu indikator target Sustainable Development Goals.[6]
Sulitnya identifikasi perilaku bunuh diri dan masih banyaknya pasien yang tidak mencari bantuan medis masih menjadi permasalahan pada praktik klinis psikiatri di Indonesia. Oleh karenanya, pemanfaatan artificial intelligence (AI) tentunya menjadi secercah harapan baru dalam membantu psikiater dan praktisi kesehatan terkait aspek preventif, promotif, dan rehabilitatif pasien-pasien psikiatri dalam setting klinis.