Polifarmasi atau penggunaan banyak obat dapat meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat dan efek samping, yang akan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pula. Polifarmasi telah menjadi masalah kesehatan yang semakin besar, terutama pada populasi lansia dan individu dengan kondisi multipatologi.[1,2]
Dokter perlu melakukan upaya deprescribing untuk mengurangi risiko kejadian merugikan terkait pengobatan dan menurunkan beban biaya medis akibat polifarmasi. Deprescribing dapat dilakukan dengan memantau daftar obat yang digunakan pasien dan menghentikan penggunaan obat yang dianggap tidak perlu.[3,4]
Faktor Risiko Polifarmasi
Polifarmasi memiliki beragam definisi. Ada yang mendefinisikan polifarmasi sebagai konsumsi bersamaan ≥ 5 obat. Ada pula yang mendefinisikan polifarmasi sebagai pemberian resep obat yang melebihi indikasi klinis atau penggunaan obat yang mencakup paling tidak satu obat yang tidak diperlukan.[3,5]
Risiko polifarmasi akan meningkat pada pasien lansia karena adanya penurunan kapasitas fungsional pada tingkat seluler dan organ yang menyebabkan populasi ini sering kali mengalami kondisi patologis multipel.[3,4] Meski demikian, risiko polifarmasi juga akan meningkat pada pasien dengan usia lebih muda yang masuk dalam populasi berisiko (at risk), misalnya pasien dengan nyeri kronis akibat fibromyalgia atau pasien usia dewasa muda dengan diabetes mellitus. Populasi lain yang berisiko adalah pasien psikiatri. Pasien psikiatri sering membutuhkan obat psikotropika yang memiliki berbagai efek samping mengganggu. Sebagai konsekuensinya, diresepkan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping tersebut.[6,7]
Faktor Risiko
Faktor risiko dari polifarmasi antara lain:
- Usia lebih dari 62 tahun
- Gangguan kognitif
- Disabilitas perkembangan
- Keringkihan
- Kondisi tidak memiliki akses ke dokter layanan primer
- Gangguan mental
- Kondisi kronik multipel, misalnya kanker dan penyakit serebrovaskular
- Orang yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, misalnya rumah jompo
- Pasien yang memerlukan perawatan oleh banyak dokter subspesialis[6]
Risiko Polifarmasi dan Korelasinya Terhadap Mortalitas
Penggunaan polifarmasi telah dikaitkan dengan berbagai efek buruk, antara lain:
- Meningkatkan risiko efek samping obat (adverse drug reaction/ADR)
- Timbulnya interaksi obat yang berpotensi serius
- Peningkatan frailty syndrome terutama pada lansia: inkontinensia urine, konstipasi, delirium
- Peningkatan risiko rawat inap
- Penurunan fungsi fisik dan kognitif
- Peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas[2,8]
Risiko timbulnya ADR pada penggunaan 5 jenis obat telah dilaporkan mencapai 58%. Risiko ini meningkat menjadi 82% pada penggunaan ≥ 7 jenis obat. Efek dari polifarmasi dapat berupa duplication atau pemberian 2 obat dengan efek yang sama sehingga meningkatkan risiko terjadinya efek samping; opposition atau pemberian obat dengan efek yang berlawanan sehingga meningkatkan atau menurunkan efikasi dari salah satu obat atau keduanya; serta alteration atau pemberian dua obat yang dapat merubah performa farmakokinetik salah satu obat.[1,3,9]
Polifarmasi dan Kaitannya dengan Mortalitas
Sebuah kohort yang melibatkan lebih dari 3 juta lansia (≥65 tahun) yang memiliki setidaknya 1 obat yang diresepkan secara rutin dan sedang mengonsumsi lebih dari 5 obat resep per hari, melaporkan bahwa 67,4% partisipan menjalani rawat inap dan 15,3% mengalami mortalitas dalam periode pemantauan rerata 5 tahun. Studi ini juga menemukan bahwa semakin banyak obat yang digunakan berkaitan secara signifikan dengan peningkatan risiko rawat inap dan mortalitas. Asosiasi ini ditemukan konsisten pada semua analisis subgrup, baik itu usia, jenis kelamin, area tempat tinggal, maupun komorbiditas.[2]
Penelitian lain berupa meta analisis yang melibatkan 47 studi juga menunjukkan hasil serupa. Dalam meta analisis ini ditemukan bahwa polifarmasi berkaitan secara bermakna dengan kematian. Risiko ditemukan meningkat seiring peningkatan jumlah obat yang dikonsumsi, dimana penggunaan 1-4 obat menyebabkan 124% risiko mortalitas lebih tinggi dibandingkan kontrol; penggunaan 5 obat menghasilkan peningkatan 131%; penggunaan 6-9 obat menghasilkan peningkatan 159%; dan risiko ini meningkat hampir 2 kali lipat pada penggunaan 10 obat atau lebih.[10]
Pada pasien diabetes mellitus, polifarmasi telah dilaporkan berkaitan dengan mortalitas segala penyebab (162%) dan infark miokard (OR 190%).[11]
Cara Mencegah Potensi Bahaya Polifarmasi
Terdapat beberapa alat yang dapat membantu mengevaluasi polifarmasi. Alat-alat ini bisa digunakan untuk membandingkan daftar obat pasien, memeriksa adanya penggunaan obat yang tidak perlu, mengevaluasi potensi duplikasi, mengevaluasi potensi interaksi obat dengan obat dan obat dengan penyakit, serta mengevaluasi keperluan penyesuaian dosis.[6,12]
START (Screening Tool to Alert Doctors to Right Treatment)
START dirancang sebagai alat skrining yang berfungsi untuk mengingatkan dokter agar memberi terapi medikamentosa yang tepat dan berbasis bukti. Pada kasus tertentu, START mampu memberikan opsi terapi alternatif yang aman bagi pasien.[6,13]
STOPP (Screening Tool of Older Persons’ Potential Inappropriate Prescriptions)
STOPP merupakan alat yang digunakan untuk meninjau peresepan obat yang berpotensi tidak tepat. Alat ini melakukan peninjauan terkait interaksi antar obat, interaksi terapi medikamentosa dan penyakit, duplikasi terapi medikamentosa, dan obat-obatan yang berpotensi menyebabkan sindrom lansia seperti risiko jatuh.[6,13]
Kriteria Beers
Kriteria Beers adalah alat yang bertujuan untuk membantu optimalisasi praktik pemberian obat yang aman pada dewasa usia lanjut, kecuali pada setting perawatan paliatif. Alat ini menekankan penghentian obat yang tidak perlu, yang membantu mengurangi masalah polifarmasi, interaksi obat, dan reaksi obat yang merugikan, sehingga meningkatkan rasio risiko-manfaat dari regimen pengobatan pada orang yang berisiko.
Kriteria ini berisikan obat yang berpotensi tidak tepat pada populasi dewasa usia lanjut, obat yang berpotensi tidak tepat dihindari pada populasi dewasa usia lanjut dengan kondisi medis tertentu, obat yang harus digunakan dengan sangat hati-hati pada dewasa usia lanjut, kombinasi obat yang berpotensi menyebabkan interaksi berbahaya, dan daftar obat yang harus dihindari atau membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan insufisiensi renal. Beberapa obat yang masuk dalam daftar Beers adalah antihistamin generasi pertama seperti chlorpheniramine dan diphenhydramine akibat risiko konfusi dan konstipasi; serta obat antiinflamasi nonsteroid seperti asam mefenamat dan ibuprofen akibat risiko perdarahan gastrointestinal, gangguan ginjal, dan peningkatan tekanan darah.[6,14]
Deprescribing
Untuk mengurangi risiko bahaya dari polifarmasi dapat juga diterapkan alat implisit berupa deprescribing. Deprescribing adalah proses dimana dokter dengan sengaja menghentikan atau mengurangi dosis obat untuk meningkatkan kesehatan seseorang atau mengurangi risiko efek samping yang merugikan. Hal ini dilakukan karena obat tersebut dapat menyebabkan bahaya, tidak lagi membantu pasien, atau sudah tidak sesuai dengan kondisi pasien saat ini. Tujuan dari deprescribing adalah mengurangi potensi bahaya dari pengobatan dan beban finansial yang ditimbulkannya, sembari tetap mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup.
Berikut beberapa pedoman pemberian obat untuk meminimalisir potensi bahaya polifarmasi:
- Sebelum memulai obat baru, lakukan pemeriksaan menyeluruh terkait kondisi medis pasien, termasuk riwayat intervensi dan tata laksana yang sudah dan sedang dijalani
- Minta pasien membawa seluruh obat yang sedang dikonsumsi, termasuk suplemen, obat resep, dan obat bebas
- Evaluasi obat yang dikonsumsi dan cocokkan dengan indikasinya, serta cocokkan dengan riwayat medis, bedah, dan sosial pasien
- Evaluasi seluruh obat dan nilai apakah ada yang dapat dihentikan atau dikurangi dosisnya (deprescribing)
- Nilai rasio manfaat (misalnya awitan efek obat dan besarnya efek obat terhadap kondisi medis) dengan risiko (misalnya potensi efek samping)
- Perimbangkan besarnya biaya yang dikeluarkan (pertimbangkan opsi lain dengan efek setara dan besaran biaya lebih rendah)
- Diskusikan rencana deprescribing dengan pasien dan lakukan pemantauan kondisi pasien[6,12-14]
Kesimpulan
Polifarmasi saat ini telah menjadi suatu masalah kesehatan masyarakat signifikan karena berkaitan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Polifarmasi sering terjadi pada lansia dan populasi berisiko (at risk) seperti pasien dengan kondisi multipatologi, penyakit kronik, atau penyakit kongenital.
Polifarmasi dapat menyebabkan peningkatan risiko efek samping, interaksi obat, kebutuhan rawat inap, peningkatan beban biaya medis, dan risiko mortalitas. Berbagai alat telah digunakan dalam upaya menurunkan frekuensi polifarmasi, seperti kriteria Beers dan alat implisit berupa deprescribing. Dokter seyogyanya selalu melakukan evaluasi menyeluruh sebelum memulai obat baru bagi pasien, serta melakukan evaluasi berkala terhadap daftar obat yang dikonsumsi pasien sembari mengaitkan dengan riwayat klinis masing-masing individu.