Pendahuluan Tinea Pedis
Tinea pedis atau athlete’s foot adalah infeksi dermatofita menular dan paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum. Sela jari kaki merupakan tempat predileksi paling sering pada tinea pedis. Dermatofita hanya menginvasi lapisan stratum korneum dan tidak menginvasi sel lainnya.[1,3,4]
Dermatofita membutuhkan lingkungan yang panas dan lembab untuk hidup sehingga faktor-faktor yang dapat meningkatkan terjadinya tinea pedis adalah kaki yang lembab, sering berkeringat, higienitas kaki, dan kondisi imunokompromais.[1,7-9]
Tinea pedis lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita, dan jarang terjadi pada anak-anak. Sebanyak 70% populasi dunia diperkirakan pernah mengalami tinea pedis. Tinea pedis merupakan penyakit kulit yang sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari.[1,3,7,10,19]
Keluhan yang didapatkan pada tinea pedis bervariasi antara gatal, nyeri, rasa terbakar, dan bau pada kaki. Pasien juga dapat mengeluhkan kaki bersisik atau basah. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan tipenya yaitu tipe interdigital, hiperkeratotik kronis, vesikobulosa, dan ulseratif akut.[4,6,20]
Tinea pedis ditegakkan dengan temuan jamur penyebab pada pemeriksaan preparat kerokan kulit dengan kalium hidroksida (KOH). Kultur jamur merupakan pemeriksaan baku emas namun dilakukan untuk menilai resistensi jamur.[1,4,6,13]
Tatalaksana pada tinea pedis meliputi mengendalikan faktor risiko, dan penggunaan antifungal. Antifungal topikal seperti terbinafine atau ketoconazole merupakan terapi awal pada tinea pedis. Pasien perlu diedukasi untuk menggunakan antifungal topikal tepat sesuai anjuran agar terapi berhasil.[1,9,10]
Pada pasien yang tidak berhasil diterapi dengan antifungal topikal, dapat diberikan antifungal sistemik. Resistensi jamur merupakan salah satu masalah yang dipikirkan pada tinea pedis yang tidak responsif terhadap antifungal topikal.[2-5]
Pada dasarnya, tinea pedis dapat sembuh bila terapi dijalankan dengan tepat dan pasien imunokompeten. Pasien yang imunokompromais, mempunyai disabilitas dapat mengalami komplikasi berat akibat infeksi sekunder bakteri.[1,4,19]
Penulisan pertama oleh: dr. Athieqah Asy Syahidah