Pendahuluan Kanker Serviks
Kanker serviks merujuk pada berbagai jenis keganasan pada jaringan serviks, dengan tipe terbanyak yaitu karsinoma sel skuamosa. Kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua pada wanita yang menyebabkan angka mortalitas yang tinggi. Kanker serviks disebabkan oleh human papilloma virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18 yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kanker serviks merupakan kanker yang dapat dicegah dengan melakukan skrining secara rutin dan melakukan vaksinasi HPV.[1,2]
Beberapa faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker serviks, di antaranya faktor genetik, perilaku seksual, dan riwayat infeksi menular seksual. Data WHO pada tahun 2020 menyebutkan terdapat sekitar 604.000 kasus baru kanker serviks dengan 342.000 wanita meninggal karena penyakit ini di seluruh dunia. Pemeriksaan penunjang seperti Pap Smear dan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dapat digunakan sebagai alat penapisan awal untuk diagnosis dini kanker serviks.[3]
Pasien kanker serviks tahap awal bisa saja asimptomatik. Gejala awal dapat berupa perdarahan vagina yang tidak biasa, termasuk perdarahan selama atau setelah berhubungan seks, di antara periode atau setelah menopause, atau mengalami menstruasi yang lebih berat dari biasanya. Pasien juga bisa merasakan perubahan pada cairan vagina, rasa sakit saat berhubungan seks, serta nyeri di punggung bagian bawah, panggul, atau perut bagian bawah.
Pada tahap awal kanker serviks, temuan pemeriksaan fisik bisa normal. Seiring perkembangan penyakit, dapat tampak adanya erosi, ulkus, atau massa. Kelainan dapat meluas ke vagina, pelvis, dan parametrium. Pasien juga bisa mengalami metastasis ke hepar, paru, ataupun pembuluh limfe. Kolposkopi dan biopsi dapat digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis.[4]
Pemilihan penatalaksanaan dilakukan berdasarkan stadium kanker serviks. Modalitas tata laksana dapat mencakup kombinasi tindakan bedah, kemoterapi, dan radioterapi. Histerektomi dapat menjadi pilihan terapi pada wanita dengan kanker serviks yang sudah tidak lagi memiliki keturunan. Bergantung pada kondisi klinis masing-masing pasien, histerektomi mungkin tetap perlu disertai radioterapi dan kemoterapi.[5]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelvi Levani