Pendahuluan Korioamnionitis
Korioamnionitis merupakan salah satu komplikasi kehamilan intrauteri dan penyebab tersering dari persalinan preterm, yang menjadi penyebab utama mortalitas perinatal dan morbiditas jangka panjang pada anak. Bayi yang lahir dengan riwayat korioamnionitis juga memiliki risiko tinggi mengalami sepsis neonatorum.[3,4]
Korioamnionitis ditandai oleh inflamasi dan/atau infeksi pada membran amniotik dan membran korionik, serta jaringan yang terkait, seperti desidua, pembuluh darah fetal, dan korda umbilikalis.[1,2]
Saat ini, terdapat istilah deskriptif baru yang diajukan oleh National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu ‘inflamasi atau infeksi intrauteri, atau keduanya’ yang disingkat sebagai Triple I. Istilah ini telah banyak digunakan untuk menggantikan istilah korioamnionitis. Walau demikian, istilah ini belum diterima secara universal.[1,2]
Diagnosis korioamnionitis dapat ditegakkan melalui temuan klinis berupa demam maternal yang dapat disertai oleh takikardia maternal, takikardia janin, sekret purulen atau berbau pada serviks, dan nyeri pada uterus. Pemeriksaan darah, kultur cairan amnion dan histopatologi merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis korioamnionitis.[5,6]
Istilah ‘korioamnionitis klinis’ digunakan saat korioamnionitis disertai gejala klinis, sementara ‘korioamnionitis histologis’ adalah keadaan saat diagnosis korioamnionitis didasarkan pada temuan patologis dari pemeriksaan mikroskopis plasenta. Pada korioamnionitis histologis, sering kali tidak dijumpai gejala klinis (subklinis).[6]
Penatalaksanaan utama dalam kasus korioamnionitis adalah dengan pemberian antibiotik disertai dengan pemberian antipiretik. Terminasi kehamilan dapat dipertimbangkan pada kondisi tertentu, misalnya abses otak atau perforasi intestinal.[1]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja