Etiologi Retensio Plasenta
Etiologi retensio plasenta yang paling umum ditemukan adalah plasenta adherens. Selain itu, etiologi retensio plasenta lainnya yang juga dapat ditemukan adalah plasenta inkarserata dan akreta.
Etiologi
Berdasarkan derajat morbiditas yang ditimbulkannya, penyebab retensio plasenta diurutkan menjadi plasenta inkarserata, plasenta adherens, dan plasenta akreta. Retensio plasenta yang diakibatkan oleh plasenta akreta memiliki luaran klinis yang paling buruk.
Plasenta Inkarserata
Plasenta trapped atau inkarserata adalah keadaan di mana plasenta sudah lepas seutuhnya dari uterus, tetapi plasenta tidak dapat dilahirkan akibat dari serviks yang sudah menutup.[1,8,10]
Plasenta Adherens
Plasenta adherens adalah keadaan plasenta masih melekat pada dinding uterus, tetapi cukup mudah dilepaskan secara manual. Umumnya, hal ini terjadi dikarenakan kontraksi uterus tidak cukup kuat untuk melepaskan plasenta dari dinding uterus.[1,8,10]
Plasenta Akreta
Plasenta akreta adalah keadaan plasenta melekat secara patologis sampai menginvasi miometrium karena adanya defek pada desidua. Pada keadaan ini, umumnya plasenta tidak dapat dilepaskan seutuhnya. Spektrum plasenta akreta dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan kedalaman invasi plasenta pada dinding uterus, yaitu akreta, inkreta, dan perkreta.[1,8,10]
Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan retensio plasenta dapat dihubungkan dengan kontraksi uterus yang buruk, misalnya pada paritas tinggi atau akibat penggunaan oksitosin berkepanjangan. Faktor risiko juga dapat dihubungkan dengan plasentasi yang abnormal, misalnya akibat riwayat operasi pada uterus, misalnya sectio caesarea (SC), atau konsepsi dengan in vitro fertilisation (IVF). Faktor risiko lainnya, antara lain kelahiran preterm, kelainan uterus kongenital, serta riwayat retensio plasenta sebelumnya.[4]
Tinjauan sistematis oleh Favilli, et al. pada tahun 2021 menilai berbagai faktor risiko retensio plasenta yang bukan disebabkan oleh plasenta adherens. Usia maternal, riwayat operasi, seperti SC atau dilatasi dan kuretase, serta riwayat retensio plasenta, baik pada kehamilan sebelumnya, maupun riwayat maternal atau paternal yang dilahirkan dari ibu yang mengalami retensio plasenta, merupakan faktor independen untuk retensio plasenta.[11]
Induksi persalinan juga ditemukan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya retensio plasenta. Selain itu, terapi estro-progestin, riwayat endometriosis, penggunaan Assisted Reproductive Technologies (ART), skor APGAR, serta morfologi plasenta, seperti berat plasenta, bentuk plasenta, insersi tali pusat, dan lokasi implantasi, juga diusulkan sebagai faktor risiko retensio plasenta.[11]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra