Penatalaksanaan Epistaksis
Penatalaksanaan epistaksis dimulai dari tindakan pengamanan jalan napas serta resusitasi untuk mencapai stabilitas hemodinamik. Pembersihan jalan napas harus segera dilakukan apabila terdapat obstruksi jalan napas akibat darah yang mengalir ke faring. Darah dapat dibersihkan secara perlahan menggunakan alat penghisap (suction).[3,11]
Pada pasien dengan perdarahan hebat dengan tanda-tanda syok hipovolemik, segera lakukan pemasangan akses vena perifer untuk memulai resusitasi cairan. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, dan crossmatch perlu dilakukan sebagai antisipasi kebutuhan transfusi darah. Pasien dengan obstruksi jalan napas dan hemodinamik tidak stabil harus dirujuk ke unit gawat darurat setelah mendapat tata laksana awal.[10,11]
Bila tidak terdapat gangguan pada jalan napas dan hemodinamik stabil, penatalaksanaan epistaksis berfokus untuk menghentikan perdarahan. Terdapat berbagai cara untuk mengontrol perdarahan, tergantung pada tingkat keparahan dan lokasi sumber perdarahan. Kontrol perdarahan dilakukan secara bertahap, mulai dari metode konservatif dengan medikamentosa atau tindakan noninvasif hingga tindakan pembedahan.
Kompresi Hidung
Pasien dengan perdarahan aktif diposisikan duduk dengan badan membungkuk ke depan dan kepala sedikit menunduk. Posisi tersebut berfungsi untuk mencegah aspirasi atau obstruksi jalan napas. Kompresi hidung dapat dilakukan sebagai langkah awal yang paling sederhana untuk menghentikan perdarahan.
Pemberian vasokonstriktor topikal, seperti oxymetazoline, phenylephrine, atau lidocaine bersamaan dengan kompresi dapat membantu menghentikan perdarahan. Sebagian besar perdarahan ringan dapat teratasi dengan tindakan ini.
Berikut adalah cara melakukan kompresi hidung:
- Posisikan ibu jari dan telunjuk pada bagian kartilago di kedua sisi hidung
- Tekan hidung dan lakukan gerakan seperti mencubit yang mengarah ke septum hidung selama 10–15 menit[1-,3,10]
Setelah perdarahan teratasi, lakukan inspeksi terhadap rongga hidung. Seluruh hematoma atau gumpalan darah harus dievakuasi dengan menggunakan suction, irigasi, atau forsep. Bila perdarahan belum teratasi atau pasien dicurigai mengalami epistaksis posterior, rujuk ke dokter spesialis THT untuk evaluasi dan penatalaksanaan lebih lanjut.[1,3,11]
Kauterisasi
Kauterisasi dilakukan apabila perdarahan masih berlangsung setelah kompresi hidung. Tindakan ini dipilih apabila dokter telah mengidentifikasi sumber perdarahan. Tidak dianjurkan melakukan kauterisasi apabila sumber perdarahan belum dapat divisualisasi. Terdapat 2 jenis kauterisasi, yaitu kauterisasi kimia dan elektrik.[3]
Pada kauterisasi kimia, perak nitrat dapat digunakan dengan mengaplikasikan tepat pada sumber perdarahan selama 10–20 detik. Perak nitrat akan menimbulkan reaksi kimia pada membran mukosa yang bermanfaat untuk menghentikan perdarahan.[10,11] Sementara, kauterisasi elektrik atau elektrokauterisasi menggunakan kawat elektroda yang menghantarkan energi panas untuk menghentikan perdarahan. Elektrokauterisasi lebih sering digunakan pada perdarahan hebat, dan sering kali membutuhkan anestesi topikal.[9,11]
Kauterisasi tergolong aman dan efektif untuk dilakukan di fasilitas kesehatan primer, bila alat dan bahan tersedia. Efektivitas kedua metode kauterisasi meningkat dengan bantuan alat endoskopi, terutama untuk lokasi perdarahan di posterior.[9,10] Namun, kauterisasi harus dikerjakan dengan sangat hati-hati karena penggunaan yang berlebihan atau tidak tepat pada titik perdarahan dapat menimbulkan trauma membran mukosa, ulserasi, hingga perforasi septum yang akan memperburuk perdarahan.[1,11]
Nasal Packing
Nasal packing dilakukan apabila sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi atau hemostasis tidak tercapai setelah kompresi maupun kauterisasi. nasal packing adalah penggunaan material tertentu yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghasilkan penekanan terhadap sumber perdarahan.
Material yang umum digunakan adalah kassa gulung yang dilubrikasi dengan pelembap dan salep antibiotik. Prosedur ini juga dikenal dengan teknik tampon hidung. Material lain dapat digunakan untuk nasal packing, seperti selulosa teroksidasi, gel foam, dan nasal balloons[1,3,11]
Pada epistaxis anterior, pemasangan tampon yang telah dilubrikasi dimulai dari bagian dasar rongga hidung, kemudian dibuat berlapis-lapis hingga memenuhi seluruh rongga hidung. Pada epistaksis posterior, nasal packing dilakukan dengan pemasangan tampon Bellocq atau insersi kateter Foley dan inflasi balon nasofaringeal. Pemasangan tampon hidung posterior harus dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih karena memiliki risiko tinggi menimbulkan komplikasi. [1,4]
Durasi penggunaan nasal packing bervariasi, tetapi umumnya dilakukan selama 48 jam untuk tampon anterior. Pemberian profilaksis antibiotik dianjurkan untuk mencegah komplikasi infeksi akibat pemasangan tampon. Selain rasa nyeri dan tidak nyaman, komplikasi serius yang mungkin timbul dari nasal packing adalah dislokasi tampon ke posterior, sumbatan jalan napas, hipoksia, dan staphylococcal toxic shock syndrome.
Literatur mendukung bahwa penggunaan nasal packing anterior dapat dilakukan dengan perawatan jalan setelah perangkat dipasang, kemudian dapat kontrol kembali setelah 48 jam.[1, 3,11,12]
Pembedahan
Bila perdarahan tidak dapat terkontrol dengan tindakan konservatif di atas, maka diperlukan tindakan pembedahan oleh dokter spesialis THT. Sebelum dilakukan pembedahan, harus dipastikan target pembuluh darah yang dituju melalui pemeriksaan fisik, endoskopi, dan riwayat medis pasien.
Tiga prosedur pembedahan yang sering dilakukan adalah ligasi arteri karotis eksterna, ligasi arteri maksilaris interna, dan ligasi arteri sfenopalatina. Teknik yang paling sering dilakukan adalah ligasi endonasal arteri sfenopalatina. Ligasi pembuluh darah dapat dilakukan dengan bantuan endoskopi untuk hasil yang lebih memuaskan.[10,11]
Embolisasi
Embolisasi dapat dipilih untuk mengatasi perdarahan yang tidak terkontrol dengan ligasi arteri. Tindakan ini merupakan pilihan pada pasien dengan kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi. Prosedur ini memiliki tingkat keberhasilan 87–93%. Embolisasi perkutan harus dilakukan oleh spesialis neuroradiologi intervensi yang berpengalaman. Prosedur ini dapat menimbulkan komplikasi fatal berupa iskemia serebrovaskular.[3,9]