Pendahuluan Furunkel Hidung
Furunkel hidung adalah penyakit infeksi yang menyebabkan terbentuknya lesi kulit purulen pada vestibulum hidung. Patogen penyebab furunkel hidung yang paling sering adalah bakteri Staphylococcus aureus, yang sebetulnya merupakan flora normal pada kulit manusia. Pada kerusakan epitel, misalnya karena terjadi trauma, bakteri dapat menyebabkan infeksi.[1,2]
Faktor risiko terjadinya furunkel hidung adalah pada pasien yang sering menggaruk atau mengorek hidung dengan tangan yang tidak bersih, tindik hidung, mencabut bulu hidung. Peningkatan risiko juga didapatkan pada pasien dengan gangguan sistem imun, misalnya pada pasien human immunodeficiency virus (HIV), penderita kanker dan diabetes mellitus, atau pada pengguna kortikosteroid intranasal.[1,2]
Diagnosis furunkel hidung dapat ditegakkan secara klinis, yaitu keluhan adanya benjolan dalam hidung yang membesar dan terasa nyeri. Pada anamnesis, dapat dicari kebiasaan atau faktor-faktor yang meningkatkan risiko pasien. Pada inspeksi hidung, dapat terlihat tanda Rudolph, yaitu eritema dan edema unilateral pada ujung hidung yang disertai nyeri tekan. Jika letak furunkel lebih dalam, pemeriksaan fisik dapat dibantu menggunakan rinoskopi anterior.[1,3,4]
Tata laksana furunkel hidung derajat ringan dapat dilakukan dengan kompres hangat, dan bila perlu pemberian antibiotik topikal, seperti salep mupirocin 2%. Insisi dan drainase dapat dilakukan jika terapi medikamentosa dianggap tidak berhasil mengatasi furunkel. Antibiotik sistemik, misalnya cephalexin, dapat diberikan pada lesi lebih dari 5 cm, furunkel multipel, atau jika ada demam.[5,6]
Secara umum, prognosis furunkel hidung baik, terutama bagi pasien imunokompeten. Namun, komplikasi dapat terjadi pada furunkel hidup yang tidak menerima tata laksana dengan adekuat. Komplikasi furunkel hidung, antara lain selulitis, cavernous sinus thrombosis, dan abses orbital.[5,7]
Edukasi bagi pasien furunkel hidung terutama diberikan untuk mencegah rekurensi. Pasien sebaiknya menjaga higienitas diri dengan baik, dan menghindari kebiasaan-kebiasaan yang dapat melukai vestibulum hidung. Selain itu, identifikasi dan kontrol faktor risiko juga diperlukan untuk mencegah rekurensi.[5,6]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra