Penyalahgunaan dan Overdosis Nitazene

Oleh :
dr.Tommy Raharja, Sp.KJ

Kasus penyalahgunaan dan overdosis nitazene dilaporkan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Nitazene adalah sekelompok senyawa yang merupakan opioid sintetik, yang ditemukan pada tahun 1950-an karena sintesis opioid 2-benzilbenzimidazol. Nitazene bertindak sebagai agonis kuat pada μ-opioid receptor (MOR).[1-3]

Potensi nitazene menyebabkan nitazene sering dibandingkan dengan fentanil meskipun secara struktural tidak berhubungan. Nitazene awalnya dikembangkan dengan tujuan untuk dijadikan analgesik, tetapi nitazene tidak pernah disetujui untuk tujuan terapeutik apa pun, sehingga akhirnya hanya digunakan dalam penelitian farmakologis.[1-3]

OverdosisNitazene

Namun, sejak tahun 2020, nitazene mulai menarik minat pengguna obat terlarang, yang menyebabkan mulai bermunculannya laporan kasus overdosis nitazene di Eropa dan di Amerika Utara. Nitazene dapat berbentuk bubuk, tablet, atau cairan, yang kadang dicampurkan dengan obat terlarang lainnya tanpa sepengetahuan pengguna. Hal ini menyebabkan berbagai lembaga pengawasan obat internasional mulai memberikan perhatian lebih pada nitazene.[1]

Penyusupan Nitazene dalam Obat Terlarang Lainnya

Metonitazene pertama kali diidentifikasi dalam peredaran obat-obatan terlarang selama pandemi COVID-19 (awal tahun 2020). Metonitazene lebih sering digunakan dalam kombinasi dengan obat lain, seperti fentanil, benzodiazepin, halusinogen, dan opioid lainnya.[1]

Nitazene tersedia dalam bentuk bubuk, tablet atau pil palsu, atau cairan, yang dapat dicampur dengan zat inert dan/atau dikombinasikan dengan obat lain, seperti heroin, fentanil, dan benzodiazepine. Penyertaannya dalam produk obat lain sering kali tidak terdeteksi oleh pengguna. Penjual obat terlarang juga sering kali tidak mengungkapkan kandungan zat tersebut kepada pembeli.[1,4,5,6]

Ketika nitazene baru memasuki pasar gelap, zat tersebut tidak termasuk ke dalam zat yang diawasi. Karena hanya ada sedikit metode yang tervalidasi untuk mencari zat ini dan tidak banyak yang diketahui tentang jaringan laboratorium rahasia dan ahli kimia yang memproduksi obat-obatan ini, distribusi geografis obat-obatan ini tidak diketahui secara jelas.[1,4,5,6]

Dalam bentuk bubuk, nitazene dapat tampak berwarna kuning, coklat, atau putih pucat. Laboratorium forensik regional melaporkan obat ini dicampur dengan heroin dan/atau fentanil (dipasarkan sebagai obat-obatan biasa) dengan konsekuensi yang mematikan. Nitazene juga tersedia dalam bentuk tablet atau pil palsu dan dipasarkan dengan cara yang tidak benar sebagai obat farmasi.[1,4,5]

Banyak pengguna yang mungkin mengira bahwa mereka menggunakan heroin, tetapi jumlah kematian yang disebabkan oleh heroin menurun, sementara jumlah kematian terkait opioid secara keseluruhan meningkat. Kelompok studi Scientific Working Group in Forensic Toxicology (SWGTOX) yang sedang berlangsung telah melaporkan melalui peringatan kesehatan masyarakat adanya peningkatan overdosis fentanil dan fentanil analog pada pasien di IGD. Kemunculan nitazene akhir-akhir ini menghadirkan lapisan kompleksitas tambahan yang mungkin tidak diketahui oleh pasien dan dokter.[6,7]

Mekanisme Aksi Nitazene

Nitazene telah diamati memiliki kemiripan efek dengan morfin pada sistem saraf pusat manusia karena afinitasnya yang relatif selektif terhadap reseptor µ-opioid. Agen analog ini dan sejenisnya dikembangkan sebagai kandidat obat analgesik.[1,3]

Nitazene merupakan agonis reseptor µ-opioid dengan efek psikoaktif yang sebanding dengan agonis reseptor µ-opioid lainnya, seperti morfin, oksikodon, dan heroin. Agen yang paling terkenal adalah isotonitazene opioid 5 nitro-2-benzylbenzimidazole yang diidentifikasi di antara narkoba jalanan di Eropa pada tahun 2019. Secara struktural, isotonitazene adalah analog dari etonitazene, salah satu nitazene yang paling awal muncul. Pada paruh pertama tahun 2020, metonitazene diidentifikasi di pasar obat terlarang.[1,3,8,9]

Tidak banyak informasi mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik dari nitazene. Ada spekulasi bahwa agen ini memiliki orientasi yang berbeda pada reseptor µ-opioid dibandingkan dengan morfin atau obat serupa. Nitazene dikatakan lebih kuat dibandingkan fentanil, tetapi terdapat laporan tentang hal ini masih terbatas dan terkadang ada laporan yang bertentangan tentang hal ini. Berdasarkan penelusuran literatur, potensi isotonitazene serupa dengan fentanil.[1]

Dampak Overdosis Nitazene

Pada penggunaan dalam jangka pendek, nitazene dapat memberikan efek euphoria, menenangkan, meredakan nyeri, menimbulkan rasa kantuk, dan mengurangi stres. Namun, nitazene juga bisa menyebabkan mual, muntah, demam, berkeringat, dan memperlambat pernapasan dan detak jantung. Pada overdosis, efek yang ditimbulkan nitazene dapat berupa pernapasan lambat atau dangkal, bibir dan kulit kebiruan atau abu-abu, pingsan, koma, dan kematian.[1,4,7,10]

Overdosis nitazene dapat mengganggu pernapasan. Pasien yang mengalami gangguan pernapasan akibat overdosis sering kali tidak memberikan respons, sehingga tidak bisa memberikan informasi kepada orang-orang yang merawatnya. Sekalipun responsif atau ditemani orang lain, korban overdosis ini mungkin tidak mengetahui obat apa yang telah mereka gunakan.[1,4,7,10]

Peralatan pengujian obat untuk nitazene saat ini jarang tersedia dan strip tes fentanil konvensional tidak dapat mendeteksi nitazene. Oleh karena itu, sebagian besar dokter yang merawat pasien dengan depresi pernapasan akibat obat-obatan mungkin tidak mempertimbangkan keberadaan nitazene yang, karena potensinya, dapat mempersulit penyelamatan.[1,4,7,10]

Penanganan Pasien dengan Overdosis Nitazene

Secara teori, nitazene bisa diantagonis oleh antagonis reseptor opioid seperti nalokson dan nalmefene. Namun, tidak jelas apakah potensi tinggi dan ketidakmurnian nitazene dapat membatasi efektivitas antagonis yang tersedia. Dosis mematikan nitazene pada manusia, terutama jika dikombinasikan dengan obat lain atau kondisi medis tertentu, tidak terlalu banyak diketahui.[1,7]

Banyak faktor yang memengaruhi morbiditas dan mortalitas terkait overdosis nitazene, bukan hanya karena obatnya, tetapi juga jumlah yang digunakan, rute pemberian, kemungkinan interaksi dengan obat lain atau alkohol, berat badan, toleransi opioid, dan status kesehatan yang mendasari.[1,7]

Pada penelitian yang dilakukan Alexandra Amaducci, et al. pada 2023, isotonitazene terdeteksi pada 2 pasien; keduanya mengalami penekanan pada tingkat kesadaran dan menerima 2 dosis nalokson untuk membalikkan gejala. Dua pasien yang ditemukan terpapar metonitazene mengalami serangan jantung; 1 pasien meninggal meskipun diberikan total 6 mg nalokson dalam 3 dosis terpisah, dan pasien lainnya bertahan setelah menerima total 10 mg nalokson dalam 3 dosis.[7]

N-piperidinyl etonitazene terdeteksi pada 3 pasien. Pasien pertama mengalami saturasi oksigen dan penurunan kesadaran. Gejala membaik setelah 3 dosis total nalokson (2 mg, 0,04 mg, dan 0,04 mg). Pasien kedua mengalami depresi pernapasan dan penurunan kesadaran. Gejala membaik setelah dosis 1 kali nalokson 8 mg. Pasien ketiga mengalami depresi pernapasan dan penurunan kesadaran, tetapi gejalanya membaik setelah 5 dosis bolus nalokson (0,04 mg, 0,04 mg, 0,2 mg, 0,4 mg, dan 0,04 mg) diikuti dengan infus nalokson (2,4 mg).[7]

Kesimpulan

Nitazene adalah opioid sintetik yang memiliki kemiripan efek dengan morfin pada sistem saraf pusat manusia karena afinitasnya yang relatif selektif terhadap reseptor µ-opioid. Nitazene tidak pernah disetujui untuk penggunaan terapeutik, sehingga selama ini hanya digunakan dalam penelitian farmakologis. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penyalahgunaan nitazene dilaporkan meningkat.

Nitazene tersedia dalam bentuk bubuk, tablet atau pil palsu, atau cairan, yang biasanya dicampur dengan zat inert dan/atau dikombinasikan dengan obat lain, seperti heroin, fentanil, dan benzodiazepine. Kandungannya dalam produk bersamaan dengan obat lain ini sering kali membuat pasien tidak menyadarinya. Tenaga medis juga kesulitan mendeteksi nitazene, karena terbatasnya metode pemeriksaan yang ada.

Pada overdosis nitazene, efek yang ditimbulkan dapat berupa pernapasan lambat atau dangkal, bibir dan kulit kebiruan atau abu-abu, pingsan, koma, dan kematian. Secara teori, nitazene dapat diantagonis oleh antagonis reseptor opioid, seperti nalokson dan nalmefene. Namun, belum jelas apakah potensi tinggi dan ketidakmurnian dari nitazene dapat membatasi efektivitas antagonis yang tersedia. Studi yang lebih lanjut masih diperlukan.

Referensi