Tes urine atau Urine Drug Test (UDT) untuk mendeteksi pemakaian narkoba dan obat terlarang berpeluang memberi hasil positif palsu (false positive) dan negatif palsu (false negative). Selama satu dekade terakhir, tes ini semakin umum dilakukan di fasilitas kesehatan, pendidikan, tempat kerja, dan medikolegal. Sayangnya, belum banyak yang memahami interpretasi hasilnya dan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes.[1]
Tes Urine Narkoba Sebagai Alat Deteksi Penyalahgunaan Zat
Urine, darah, rambut, air liur, keringat, dan kuku adalah beberapa spesimen biologis yang umum digunakan untuk mendeteksi pemakaian narkoba dalam kasus penyalahgunaan zat. Masing-masing memberikan tingkat spesifisitas, sensitivitas, dan akurasi yang berbeda. Urine merupakan spesimen yang paling sering dipakai karena spesimen mudah diambil dan bersifat noninvasif. Konsentrasi zat dan metabolit juga cenderung tinggi dalam urine, memungkinkan waktu deteksi yang lebih cepat dibandingkan konsentrasi dalam serum darah.[1,2]
Metode Tes Urine Narkoba untuk Deteksi Penyalahgunaan Zat
Dua jenis tes urine narkoba atau Urine Drug Test (UDT) yang sering digunakan dalam deteksi penyalahgunaan zat adalah immunoassay dan gas chromatography-spectrometry (GC-MS).
Immunoassay bekerja menggunakan antibodi untuk mendeteksi keberadaan zat atau metabolit tertentu. Pemeriksaan ini adalah metode yang paling umum digunakan untuk proses skrining awal.
Keuntungan dari immunoassay yaitu dapat digunakan untuk skrining skala besar melalui otomatisasi dan deteksi cepat. Keterbatasan utama dari immunoassay adalah tidak jarang memberikan hasil positif palsu, sehingga deteksi memerlukan tes kedua untuk konfirmasi. Hasil immunoassay selalu dianggap dugaan sampai dikonfirmasi oleh tes berbasis laboratorium, misalnya GC-MS atau kromatografi cair performa tinggi. Namun, bahkan GC-MS dapat gagal mengidentifikasi spesimen positif jika kolomnya dirancang hanya untuk mendeteksi zat tertentu.[1,2]
Diperlukan Kehati-hatian dalam Interpretasi Hasil Tes Urine Narkoba untuk Deteksi Penyalahgunaan Zat
Ketika menginterpretasikan hasil pengujian untuk zat tertentu, laboratorium lebih fokus pada pertanyaan 'Apakah zat itu ada atau tidak?'. Sementara, klinisi umumnya mengajukan pertanyaan tambahan 'Apa hasil tersebut berkaitan dengan perilaku dan klinis pasien?'.
Misalnya, hasil positif opioid pada pemeriksaan individu yang tidak diresepkan analgesik opioid, setelah dilakukan evaluasi dengan anamnesis ternyata pasien baru mengonsumsi biji poppy yang sering digunakan sebagai bahan makanan. Profesional laboratorium umumnya menyebut ini sebagai hasil positif benar (true positive), terlepas dari evaluasi bahwa pasien tidak menyalahgunakan zat. Namun, dokter umumnya mendeskripsikan fenomena ini sebagai hasil positif palsu karena meskipun ada morfin dan codeine dalam urine, tidak dijumpai gejala atau tanda opioid use disorder pada pasien.[2,3]
Sementara itu, dapat pula terjadi individu dengan riwayat penyalahgunaan phencyclidine (PCP) memiliki hasil tes urine narkoba negatif karena berada dalam konsentrasi ambang 25 µg/l yang ditentukan. Laboratorium akan menyatakan hasil skrining sebagai negatif benar (true negative) karena analit yang dimaksud tidak ada atau tidak memenuhi ambang batas. Namun, dokter umumnya akan menganggap hasil skrining sebagai negatif palsu, karena analisis mengonfirmasi adanya penggunaan obat ilegal meskipun konsentrasinya di bawah ambang batas.[2]
Penyebab Umum Positif Palsu Tes Urine Narkoba untuk Deteksi Penyalahgunaan Zat
False positive atau positif palsu dapat terjadi karena beberapa hal, seperti konversi metabolik, paparan terhadap zat yang tidak terlarang, dan kesalahan laboratorium.
Konversi Metabolik
Salah satu penyebab hasil tes urine narkoba atau Urine Drug Test (UDT) positif palsu adalah konversi metabolik. Beberapa opioid yang diresepkan menghasilkan metabolit in vivo yang merupakan opioid juga. Contohnya adalah codeine yang umum digunakan sebagai analgesik. Pada kebanyakan individu, kurang dari 10% codeine dimetabolisme menjadi morfin. Pada pasien dengan kondisi genetik tertentu, seperti duplikasi atau multiduplikasi gen CYP2D6, persentase codeine yang jauh lebih besar (hingga 75%) dapat dimetabolisme menjadi morfin.
Reaktivitas silang pada beberapa obat juga dapat menyebabkan hasil tes urine terhadap zat terlarang menjadi positif. Contohnya adalah:
- Amfetamin: bupropion, labetalol, phenylephrine, promethazine, pseudoephedrine, ranitidin, selegiline, dan thioridazine
- Benzodiazepine: oxaprozin, setraline
- Kanabis: dronabinol, efavirens, tolmetin
- Opioid: dextromethorphan, quinine, rifampicin, verapamil
- Phencyclidine: dextromethorphan, diphenhydramine, doxylamine, ibuprofen, ketamine, meperidine, tramadol[2,4]
Paparan Terhadap Zat yang Tidak Terlarang
Paparan terhadap berbagai produk makanan dan metabolitnya dapat menghasilkan positif palsu. Sebagai contoh, telah dilaporkan bahwa konsumsi biji poppy, yang sering digunakan sebagai bahan masakan dan kue, dapat memberikan hasil skrining dan tes konfirmasi positif untuk morfin.[4,5]
Kesalahan Laboratorium
Beberapa kesalahan laboratorium dapat menyebabkan hasil positif palsu. Contohnya adalah misidentifikasi spesimen yang telah diperkirakan terjadi pada 0,1-5% spesimen; ataupun adanya kontaminan pada spesimen.[4]
Penyebab Umum Negatif Palsu Tes Urine Narkoba untuk Deteksi Penyalahgunaan Zat
False negative atau negatif palsu dapat terjadi karena beberapa hal, seperti terbatasnya spesifisitas tes, konsentrasi zat di bawah ambang, ataupun kesalahan laboratorium.
Terbatasnya Spesifisitas Tes
Keterbatasan spesifisitas metode uji yang digunakan dapat menyebabkan negatif palsu, sehingga penyalahgunaan zat menjadi tidak terdeteksi. Sebagai contoh, tes skrining opioid yang sebagian besar dilakukan menggunakan immunoassay biasanya dirancang untuk mendeteksi keberadaan opioid alami morfin dan codeine serta berbagai turunan semisintetiknya. Meski demikian, tes bisa menghasilkan negatif palsu terhadap oxycodone dan oxymorphone.[3,4]
Konsentrasi Zat Masih di Bawah Ambang Batas
Baik skrining maupun tes konfirmasi dapat menunjukkan hasil negatif jika zat yang dimaksud ada namun pada konsentrasi di bawah batas yang ditentukan. Hal ini dapat terjadi akibat gangguan metabolisme, misalnya pada pasien dengan polimorfisme genetik CYP3A4 yang berperan dalam metabolisme fentanil, hydrocodone, dan oxycodone. Penyebab lain adalah adanya gangguan fungsi ginjal pada pasien sehingga konsentrasi metabolit di urine di bawah seharusnya.[3,4]
Kesalahan Laboratorium
Beberapa kesalahan laboratorium dapat menyebabkan hasil negatif palsu antara lain:
- Spesimen sudah diencerkan
- Klinisi salah meminta pemeriksaan, misalnya meminta skrining opioid untuk oxycodone atau methadone
- Spesimen yang tertukar
- Kesalahan interpretasi laboratorium terhadap uji yang diminta
- Penambahan zat kimia tertentu pada spesimen, misalnya penambahan amonia yang menghalangi deteksi benzoylecgonine dan phencyclidine
- Kesalahan cara atau waktu pengumpulan sampel[4,5]
Kesimpulan
Tes urine narkoba atau Urine drug test (UDT) kerap digunakan untuk mendeteksi penyalahgunaan zat. Meski demikian, interpretasi hasil pemeriksaan perlu berhati-hati karena memiliki konsekuensi sosial dan hukum.
Pemeriksaan UDT dapat memberi hasil false positive atau positif palsu antara lain akibat adanya reaktivitas silang zat tidak terlarang (misalnya pseudoephedrine dapat memberi hasil positif untuk amfetamin); adanya duplikasi atau multiduplikasi gen; paparan terhadap zat tidak terlarang seperti biji poppy; serta kesalahan laboratorium seperti misidentifikasi spesimen.
Sementara itu, hasil false negative atau negatif palsu dapat disebabkan oleh keterbatasan spesifisitas alat uji yang digunakan, konsentrasi zat yang masih di bawah ambang batas, serta kesalahan laboratorium seperti spesimen yang tertukar atau kesalahan cara dan waktu pengumpulan sampel.