Antibody-dependent enhancement pada pasien COVID-19 memberikan dampak negatif terhadap kesuksesan terapi dan vaksinasi. Antibody-dependent enhancement (ADE) merupakan fenomena yang terjadi akibat virus menginfeksi makrofag, sehingga antibodi yang seharusnya menetralisir virus justru meningkatkan kemampuan virus untuk menginfeksi sel tubuh secara spesifik dan meningkatkan replikasi virus.[1,2]
Peran ADE pada infeksi SARS-CoV-2 masih terus diteliti saat ini, termasuk perannya terhadap keparahan infeksi maupun efektivitas vaksin. Fenomena ADE sebelumnya telah dilaporkan terjadi pada infeksi virus dengue dan virus SARS-CoV. Artikel ini akan membahas ADE dan peranannya pada infeksi SARS-CoV-2.
Patofisiologi Antibody-Dependent Enhancement
Hipotesis oleh Lee et al. mengemukakan bahwa patofisiologi ADE secara garis besar melalui dua mekanisme.
Mekanisme Pertama
Pertama adalah meningkatkan ambilan kompleks virus melalui ikatan virus dan antibodi non-neutralizing, kemudian berikatan pada sel fagositik yang mengekspresikan FcgRIIa dengan hasil akhir peningkatan replikasi virus.[4]
Mekanisme pertama ini dapat dijumpai pada infeksi virus dengue. Antibodi terhadap virus dengue dapat bereaksi silang dengan serotipe virus dengue lainnya, tetapi tidak dapat menetralisir virus dengue serotipe lain. Oleh karena itu, pada infeksi sekunder dengan serotipe berbeda dapat meningkatkan replikasi virus dan memperburuk manifestasi klinis. Hal ini yang menyebabkan keamanan vaksin virus dengue masih diperdebatkan.[5]
Mekanisme Kedua
Mekanisme kedua adalah hiperfungsi sistem efektor yang dimediasi formasi kompleks imun virus-antibodi, sehingga menghasilkan respons inflamasi berlebihan. Mekanisme kedua ini sering didapatkan pada infeksi virus pada saluran pernapasan, seperti virus campak atau respiratory syncytial virus.[4]
Aktivasi kaskade imun yang dimediasi oleh antibodi Fc dapat meningkatkan manifestasi klinis pada saluran pernapasan, dengan menginisiasi kaskade sistem imun yang menyebabkan kelainan pada paru. Aktivasi tersebut akan meningkatkan aktivitas sistem imun innate, baik yang di lokal fokus infeksi maupun yang sedang bersirkulasi, seperti monosit, makrofag, neutrofil, sel dendritik, serta sel NK (natural killer) untuk melakukan aktivasi sistem imun menjadi proinflamasi.[4]
Bukti Adanya Antibody-Dependent Enhancement pada Infeksi SARS-CoV-2
Pendapat bahwa ADE terjadi pada infeksi virus SARS-CoV-2 berdasarkan temuan dari berbagai penelitian. Temuan dari Chakraborty et al. menjelaskan bahwa antibodi terhadap protein S dan RBD-specific immunoglobulin (receptor binding domain) pada pasien COVID-19 memiliki kemampuan fukosilasi lebih rendah terhadap Fc receptor antibodies, dan memiliki afinitas lebih tinggi terhadap FcgRIIa, suatu reseptor Fc yang memediasi ADE tipe pertama.[6]
Temuan lain dari Larsen et al. melaporkan bahwa imunoglobulin spesifik terhadap protein S pada pasien COVID-19 yang mengalami ARDS (acute respiratory distress syndrome) memiliki kemampuan fukosilasi lebih rendah daripada pasien yang asimtomatik atau infeksi ringan.[7]
Mekanisme Antibody-Dependent Enhancement pada Infeksi SARS-CoV-2
Mekanisme ADE yang terjadi pada infeksi virus campak diduga memiliki kemiripan dengan ADE pada infeksi virus SARS-CoV-2. Namun, bagaimana mekanisme pasti ADE pada infeksi virus SARS-CoV-2 masih belum diketahui. Bahkan ADE diduga memiliki lebih dari satu mekanisme, karena beberapa temuan menunjukkan bahwa serokonversi dan respons antibodi yang menetralisasi virus memiliki korelasi dengan morbiditas dan mortalitas.[4,8]
Mekanisme Respon Antibodi
Temuan Sekine et al. melaporkan bahwa konsentrasi antibodi anti-SARS-CoV-2 yang tinggi akan lebih efektif membunuh virus di saluran napas atas, sehingga pasien memiliki gejala ringan atau asimtomatik. Namun, temuan Zhao et al. melaporkan hal sebaliknya di mana konsentrasi antibodi anti-SARS-CoV-2 yang tinggi berkorelasi dengan gejala yang lebih berat, karena diduga terjadi paparan antigen yang lebih lama akibat viral load yang tinggi.[9,10]
Mekanisme Virus Menginfeksi Sel
Virus SARS-CoV-2 memiliki berbagai mekanisme untuk menginfeksi sel tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa virus SARS-CoV-2 memiliki spike protein yang mengandung receptor binding domain (RBD) untuk menginfeksi sel yang memiliki angiotensin converting enzyme-2 (ACE-2). Namun, penelitian sebelumnya menyatakan bahwa virus corona memiliki mekanisme untuk meningkatkan ikatan terhadap FcR pada antibodi, untuk menginfeksi sel fagositik melalui spike protein subunit 2 fusion peptide (FP), heptad receptor-1 (HR-1), dan heptad receptor-2 (HR-2).[11,12]
Virus juga dapat secara langsung menginfeksi sel melalui reseptor komplemen. Dengan demikian, terdapat berbagai cara virus corona untuk dapat menginfeksi sel pejamu, dan hal ini meningkatkan dugaan bahwa antibodi infeksi virus corona sebelumnya adalah salah satu penyebab potensial terjadinya ADE pada infeksi SARS-CoV-2.[13,14]
Kemungkinan Mekanisme Lain
Masih ada kemungkinan mekanisme ADE pada SARS-CoV-2 yang belum diketahui, selain kemampuannya untuk menginfeksi berbagai macam sel dan respons antibodi yang mungkin sub-optimal bahkan non-neutralizing terhadap infeksi virus degan strain lain. Sebuah kasus yang dilaporkan oleh Tillett et al. melaporkan bahwa ADE berperan terhadap infeksi virus SARS-CoV-2 kedua kalinya dengan manifestasi klinis lebih berat.[8,15]
Peran Antibody-Dependent Enhancement pada Efektivitas Vaksin
ADE telah menjadi salah satu kendala pengembangan vaksin dengue, karena keparahan infeksi pada serotipe yang lain bisa meningkat. Mekanisme ADE menyebabkan reaksi merugikan, termasuk kematian, selama uji coba vaksin dengue pada tahun 2016. Pada anak-anak dengan seronegatif terhadap dengue yang menerima vaksinasi dan kemudian terinfeksi virus dengue, ADE menyebabkan gejala yang lebih parah dan kematian pada 14 kasus.[18]
Wang et al melakukan penelitian vaksin untuk virus SARS-CoV, penyebab severe acute respiratory syndrome (SARS) terdahulu. Temuan penelitian menunjukkan ADE pada virus SARS-CoV menyebabkan efektivitas vaksin berkurang. Hal ini dibuktikan pada hewan coba, yaitu terdapat komponen peptida S597-603 yang meningkatkan infeksi dalam percobaan invitro dan invivo pada primata non-manusia melalui mekanisme epitope sequence-dependent (ESD). Vaksin dengan bahan aktif peptida untuk menghancurkan peptida S597-603 dapat menjadi alternatif, karena antibodi terhadap peptida tersebut dapat melawan peptida jenis lain dari virus SARS-CoV.[3]
Hingga saat ini, reaksi ADE terkait vaksinasi pada hewan coba masih belum menunjukkan hasil yang konsisten. Oleh karena itu, efektivitas vaksin SARS-CoV-2 saat ini masih terus diikuti dan diteliti. Belum didapatkan laporan terkait ADE pada vaksinasi corona yang dilakukan pada manusia.[4]
Laporan ADE terkait vaksin corona terjadi pada kandidat vaksin SARS-CoV yang mengandung alum, CpG, atau advax. Formula ini memberikan proteksi dengan efek respons Th1/Th2 yang seimbang. Namun, terdapat reaksi predominan Th2 pada penggunaan vaksin dengan bahan adjuvant alum yang menyebabkan eosinofilia di paru.[16]
Peran Antibody-Dependent Enhancement pada Efektivitas Vaksin COVID-19
Secara hipotesis, vaksin yang memiliki risiko ADE tertinggi adalah vaksin dengan adjuvant alum, atau vaksin inaktivasi. Vaksin inaktivasi dapat mengandung berbagai antigen non-neutralizing maupun protein S dalam bentuk non-neutralizing, sehingga dapat membentuk antibodi yang non-protektif tetapi menyebabkan ADE saat terinfeksi oleh virus. Namun, hal tersebut tidak ditemukan pada percobaan dengan vaksin inaktivasi SARS-CoV-2 yang menghasilkan antibodi efektif (neutralizing).[4,17]
Ricke et al. menjelaskan bahwa berbagai target seperti FP maupun HR1 berpotensi dalam pengembangan vaksin, karena dapat mencegah perlekatan virus pada sel pejamu melalui komponen antibodi sel pejamu. Selain itu, vaksinasi yang ditujukan untuk meningkatkan respons sel B dengan target spike protein memiliki kemungkinan tertinggi untuk menghasilkan antibodi neutralizing dengan efek samping minimal. Vaksin yang merangsang respon sel T terhadap enzim replikasi virus SARS-CoV-2 memiliki kemungkinan tertinggi untuk meningkatkan respons imun terhadap kemungkinan berbagai varian antigen maupun mutasi.[14]
Kesimpulan
Antibody-dependent enhancement (ADE) merupakan fenomena klinis yang dijumpai pada infeksi virus, termasuk infeksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Mekanisme ADE saat ini dapat dijelaskan melalui 2 mekanisme, yaitu peningkatan replikasi virus akibat ikatan virus dan antibodi non-neutralizing dengan sel fagositik yang mengekspresikan FcgRIIa, serta hiperfungsi sistem efektor yang dimediasi oleh kompleks imun virus-antibodi yang menghasilkan respons inflamasi berlebihan.
Adanya afinitas yang berbeda antara imunoglobulin terhadap protein S dan RBD dengan reseptor Fc pada antibodi menunjukkan kemungkinan terjadinya ADE, terutama pada pasien dengan COVID-19 disertai ARDS. Bagaimana mekanisme ADE pada infeksi COVID-19 mungkin dapat terjadi akibat kombinasi 2 hipotesis terjadinya ADE, atau mungkin masih ada kemungkinan didapatkan mekanisme lain yang masih belum diketahui. Hal tersebut diketahui dari masih banyaknya penelitian yang kontradiktif pada pembentukan antibodi pada infeksi SARS-CoV-2 maupun adanya kemungkinan jalur lain dari virus SARS-CoV-2 dalam menginfeksi sel pejamu.
ADE pada infeksi virus SARS-CoV-2 ini membuat pertanyaan terkait vaksin COVID-19, bagaimana efektivitasnya dan apakah dapat meningkatkan risiko terjadinya ADE. Secara teoritis kedua risiko tersebut ada, tetapi hasil studi yang dilakukan selama ini belum didapatkan adanya ADE pada vaksinasi SARS-CoV-2 pada manusia. Diperlukan penelitian berkelanjutan untuk memantau potensi ADE yang mempengaruhi vaksinasi COVID-19, terutama pemantauan terhadap peningkatan infeksi pasca vaksinasi.