Pemeriksaan neuroimaging sering dilakukan pada pasien sinkop, walaupun pasien tidak menunjukkan kelainan neurologis apapun. Sinkop ditemukan pada 1–1,5% kunjungan instalasi gawat darurat dan sekitar 20–50% kasus dilanjutkan dengan rawat inap untuk investigasi lanjutan. Pada sepertiga kasus rawat inap dengan sinkop, penyebab pasti tidak diketahui, bahkan setelah pasien menjalani pemeriksaan penunjang. Banyak pasien menjalani pemeriksaan yang secara umum tidak efektif dan tidak menghasilkan kesimpulan yang definitif.
Penggunaan neuroimaging tanpa stratifikasi risiko yang jelas pada kasus sinkop, akan memaparkan pasien pada radiasi yang tidak perlu, meningkatkan biaya perawatan, dan memperpanjang waktu rawat.[1,2]
Tinjauan Singkat Sinkop
Sinkop adalah sindrom klinis yang terdiri dari hilangnya kesadaran sementara disertai hilangnya tonus postural yang disebabkan oleh hipoperfusi serebral global dengan pemulihan yang spontan dan sempurna tanpa adanya sekuele neurologis yang permanen. Sinkop dapat disebabkan oleh berbagai hal, termasuk kelainan kardiak, ortostatik, dan neuropsikiatri.[3]
Penyebab kardiak dari sinkop bermacam-macam, misalnya aritmia, kardiomiopati, dan berbagai kelainan struktural jantung. Neurally-mediated syncope adalah penyebab hilang kesadaran yang paling sering pada dewasa muda, misalnya akibat stres atau ketakutan. Penyebab neuropsikiatri lain dari sinkop misalnya gejala awal stroke, serangan panik, ataupun kecemasan. Penyebab ortostatik sinkop misalnya pengobatan diabetes, kegagalan otonom terkait Parkinson, dan cedera medula spinalis. Penyebab sinkop selengkapnya terangkum dalam Tabel 1.[1]
Tabel 1. Penyebab Sinkop
Penyebab | Jenis | Skenario |
Kardiak | Aritmia | Bradiaritmia, ventrikular takiaritmia, supraventrikular takiaritmia, sindrom QT memanjang, disfungsi pacu jantung |
Kardiomiopati | Kardiomiopati hipertrofik | |
Penyakit struktural jantung | Stenosis aorta, stenosis pulmonal, infark miokard akut, emboli pulmonal, diseksi aorta akut, hipertensi pulmonal | |
Neurally-mediated | Sindrom sinus karotis atau hipersensitivitas | Rotasi kepala atau adanya penekanan pada sinus karotis |
Situasional | Pasca olahraga, stimulasi gastrointestinal, batuk, fobia | |
Vasovagal | Dimediasi oleh stres, ketakutan, stimulus menyakitkan, terpapar panas | |
Neuropsikiatri | Serebrovaskular | Sindrom steal subklavia |
Neurogenik | Mendahului transient ischemic attack atau stroke, insufisiensi vertebrobasilar | |
Psikogenik | Depresi, ansietas, gangguan panik, kelainan somatisasi | |
Ortostatik | Disebabkan oleh pengobatan | Alkohol, insulin atau obat antidiabetes, antihipertensi, antianginal, antidepresan, obat Parkinson, |
Kegagalan otonom primer | Penyakit Parkinson atau Parkinsonisme, multiple system atrophy, multipel sklerosis, ensefalopati Wernicke | |
Kegagalan otonom sekunder | Diabetes mellitus, amyloidosis, uremia, cedera medula spinalis | |
Deplesi cairan | Muntah, diare, gangguan asupan, kehilangan darah akut |
Peran Pemeriksaan Neuroimaging pada Sinkop
Idil et al meneliti mengenai peran pemeriksaan neuroimaging pada kasus sinkop dalam proses diagnostik. Dalam studinya, 1114 pasien dengan sinkop memenuhi kriteria inklusi. Dari jumlah ini, 694 pasien menjalani CT scan kepala dan 114 pasien menjalani MRI. Hasil dari seluruh pemeriksaan neuroimaging tidak menunjukkan temuan klinis signifikan.[2]
Oleh karena itu, disimpulkan bahwa pemeriksaan neuroimaging tidak banyak berperan dalam tata laksana pasien sinkop yang tidak menunjukkan keterlibatan sistem saraf pusat, meskipun pasien tersebut mengalami cedera kepala ringan.[2]
Hal yang sama juga ditemukan dalam tinjauan sistematik yang mempelajari nilai diagnostik elektroensefalogram (EEG), CT scan kepala, MRI, dan USG doppler karotis (CUS) dalam manajemen pasien sinkop. Pada tinjauan sistematik ini, dilakukan analisis terhadap 15 studi yang memenuhi kriteria inklusi, dengan total subjek sebesar 6944 pasien.[4]
Hasil studi menunjukkan rerata prevalensi penggunaan pemeriksaan neurologi adalah 17% untuk EEG, 57,3% untuk CT scan, 10,5% untuk MRI kepala, dan 17,8% untuk CUS. Dari jumlah ini, temuan yang bermakna secara klinis dan mampu mendiagnosis penyebab dasar dari sinkop adalah 1,35% dari EEG, 1,8% dari CT scan kepala, 3,74% dari MRI, dan 2,4% dari CUS.[4]
Pentingnya stratifikasi risiko terkait penggunaan pemeriksaan neuroimaging dalam manajemen sinkop juga mulai banyak diteliti. Mitsunaga et al dalam studinya pada 236 pasien dengan sinkop dan pre-sinkop yang menjalani pemeriksaan CT scan melaporkan bahwa hanya 6,4% pemeriksaan yang memberikan hasil signifikan. Faktor klinis yang meningkatkan kemungkinan adanya temuan signifikan antara lain adanya defisit neurologis fokal, usia lebih dari 60 tahun, dan cedera kepala.[5]
Studi lain menunjukan bahwa hanya 3,8% dari total pasien sinkop yang menjalani CT scan atau MRI kepala yang menunjukkan temuan abnormal. Faktor yang berkaitan antara lain adanya defisit neurologis fokal, riwayat keganasan, hipertensi, dan usia lebih dari 60 tahun.[6]
Pada tahun 2012, American Board of Internal Medicine bergabung dengan beberapa institusi lainnya seperti American College of Radiology memulai kampanye Choosing Wisely. Pada kampanye ini, mereka mempromosikan penggunaan pemeriksaan penunjang, sebagian besar adalah pencitraan, yang lebih bijak dan disesuaikan dengan faktor risiko dan kecurigaan klinis.[7]
Pedoman tata laksana sinkop yang diterbitkan oleh European Society of Cardiology dan American College of Cardiology/American Heart Association juga tidak merekomendasikan penggunaan pemeriksaan neuroimaging rutin dalam tata laksana sinkop.[8,9]
Seleksi Risiko Pasien Dengan Sinkop
Beberapa sistem skoring untuk stratifikasi risiko pasien dengan sinkop telah disusun untuk membantu klinisi membuat keputusan terkait tata laksana pasien. Sistem skoring tersebut terangkum di dalam Tabel 2.[10]
Tabel 2. Sistem Stratifikasi Risiko Pasien Sinkop
ROSE (Risk Stratification Of Syncope In The ED) | SFSR (San Fransisco Syncope Rule) | OESIL (Osservatorio Epidemiologico Sulla Sincope Nel Lazio Risk Score) | Boston Syncope Rule |
BNP (brain natriuretic peptide) > 300 | Gagal jantung kongestif | Riwayat penyakit jantung apapun | Riwayat penyakit jantung apapun |
Bradikardia <50 | Tanda vital abnormal | ||
Darah rektal positif | |||
Hb < 9 g/dL | Hematokrit < 30% | Deplesi cairan | |
Nyeri dada | |||
EKG dengan adanya gelombang Q kecuali sandapan III | EKG abnormal | EKG abnormal | EKG dengan konduksi abnormal, riwayat penyakit jantung koroner |
Saturasi oksigen < 94% pada udara ruang | Sesak napas | ||
Tekanan darah sistolik < 90 mmHg | |||
Tidak didapatkan gejala prodromal | |||
Usia > 65 tahun | |||
Penyakit jantung valvular Riwayat keluarga dengan kematian mendadak Penyebab sistem saraf pusat | |||
Sensitivitas 87,2% NPV 98,5% | Sensitivitas 96% NPV 99,2% | Sensitivitas 98% NPV 97,8% | Sensitivitas 97% NPV 99% |
Keterangan: NPV adalah negative predictive value
Dari seluruh sistem stratifikasi risiko ini, hanya SFSR (San Fransisco Syncope Rule) dan OESIL (Osservatorio Epidemiologico Sulla Sincope Nel Lazio Risk Score) yang sudah divalidasi. SFSR memperkirakan risiko terjadinya kejadian yang tidak diinginkan 7 hari pasca sinkop. Sedangkan OESIL memberikan prediksi kejadian yang tidak diinginkan pada 3–6 bulan pasca sinkop.[10]
Tetapi, apapun teknik evaluasi pasien sinkop yang digunakan, anamnesis pasien yang holistik, pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh, serta penilaian klinis tetap krusial dalam menentukan langkah tata laksana.[11]
Algoritma Tata Laksana Sinkop di Instalasi Gawat Darurat
Seperti telah disebutkan sebelumnya, studi yang ada menunjukkan bahwa pemeriksaan neuroimaging sering kali dilakukan pada kasus sinkop walaupun manfaat yang didapatkan tidak sebanding dengan risikonya. Penting bagi dokter untuk mengetahui pasien mana yang berisiko tinggi dan akan mendapat manfaat dengan menjalani investigasi lanjutan, misalnya pasien lanjut usia, mengalami defisit neurologis, atau mereka yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular. Berikut ini adalah algoritma yang dapat digunakan untuk menentukan tata laksana lanjutan pasien sinkop.[11]
Gambar 1. Algoritma Tata Laksana Sinkop
Seperti tergambar pada algoritma di atas, pertama-tama pasien harus dipastikan terlebih dulu apakah memang sinkop atau bukan. Jika penyebab sinkop adalah sinkop vasomotor, hipersensitivitas karotid, sinkop situasional, atau hipotensi ortostatik, umumnya pasien dapat dipulangkan. Jika penyebab sinkop lebih serius, misanya infark miokard atau emboli paru, maka pasien diberi tata laksana sesuai etiologi. Namun, bila penyebab tidak diketahui, pemeriksaan lanjutan dapat dipertimbangkan pada pasien risiko tinggi. Pasien dengan risiko rendah dan asimptomatik umumnya tidak memerlukan investigasi lanjutan.[11]
Kesimpulan
Neuroimaging sering dilakukan karena dianggap penting untuk diagnosis dan menentukan arah manajemen pada pasien sinkop. Namun, studi yang ada menunjukkan bahwa neuroimaging pada pasien yang tidak memiliki faktor risiko atau gejala yang mengarah ke kelainan neurologis, tidak memiliki makna diagnostik. Penggunaan neuroimaging tanpa seleksi pasien, berpotensi menimbulkan harm karena memaparkan pasien pada radiasi yang tidak perlu, meningkatkan biaya layanan kesehatan, dan memperpanjang lama rawat.
Stratifikasi risiko pasien dengan sinkop dapat mengurangi admisi pasien dan penggunaan pemeriksaan neuroimaging yang tidak diperlukan. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh tetap merupakan pilihan dalam menentukan langkah diagnostik dan terapi.
Direvisi oleh: dr. Andrea Kaniasari