Anak dengan infeksi COVID-19 memperlihatkan spektrum gejala klinis yang sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan seperti flu biasa, hingga gejala berat dan kritis. Sejak awal diumumkannya kasus Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Wuhan China, telah timbul perhatian khusus mengenai dampak virus Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus (SARS-CoV 2) ini pada anak, baik perhatian dari orang tua maupun dari para ahli di bidang Ilmu Kesehatan Anak.[1,2]
Gejala COVID-19 umum berupa gejala infeksi respiratorik akut (IRA), seperti batuk dan pilek, yang sering disebut dengan istilah gejala flu biasa. Artikel pada website Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pernah membahas tentang istilah “flu biasa” sebagai istilah yang rancu dalam menggambarkan gejala batuk dan pilek ringan pada anak.[1-3]
Epidemiologi COVID-19 pada Anak
Sejak awal pandemi, kasus COVID-19 pada anak telah memperlihatkan penambahan kasus yang signifikan hingga 1 tahun pandemi berlangsung. Diakui bahwa tes diagnostik COVID-19 untuk anak saat itu juga terbatas, sehingga data dan laporan kasus juga terbatas.[1,4]
Laporan dari Wu et al di Cina, pada bulan Februari 2020, memperlihatkan proporsi anak usia 10−19 tahun hanya sebesar 1%. Penelitian epidemiologi di Amerika Serikat memperlihatkan persentase kasus COVID-19 pada anak hanya sebesar 1,7% pada bulan Februari−April 2020. Namun, kasus anak bertambah signifikan pada bulan Agustus 2020, di mana American Academy of Pediatrics melaporkan sebesar 9,1%.[1,4,5]
Di Indonesia, pada awal pandemi sulit mendapatkan pelaporan jumlah kasus COVID-19 pada anak, karena minimnya jumlah kasus yang dilaporkan. IDAI mengumpulkan data secara independen melalui para dokter anak di seluruh Indonesia. Hingga per tanggal 18 mei 2020 didapatkan 584 kasus anak terkonfirmasi positif dengan angka kematian 14 kasus.[6]
Saat ini pada bulan April 2021, Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) mengumumkan peta sebaran COVID-19 di Indonesia dalam bentuk sebaran proporsi umur. Dilaporkan angka kejadian COVID-19 terkonfirmasi pada usia anak 0−18 tahun sebesar 12,2%.[7]
Proporsi kematian anak akibat COVID-19 dibanding seluruh kasus kematian di Indonesia adalah sebesar 3,2%, dan merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik hingga saat ini. Penelitian kohort-retrospektif oleh Surendra A. et al pada bulan Februari 2021 melaporkan jumlah pasien COVID-19 di rumah sakit di Jakarta. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan dari 4.265 pasien COVID-19 yang dirawat inap pada bulan Maret−Juli 2020, terdapat 217 kasus (5%) pada usia anak, dengan angka kematian tertinggi pada usia di bawah 5 tahun.[8,9]
Gejala Klinis COVID-19 pada Anak
Gejala COVID-19 pada anak sangat bervariasi. Penelitian oleh Dong et al, yang melibatkan 2.143 pasien anak terkonfirmasi COVID-19 di Cina, memperlihatkan 4,4% anak tanpa gejala, 50,9% gejala ringan, 38,8% gejala sedang, sedangkan 5,9% sisanya gejala berat dan kritis. Kriteria gejala berat pada penelitian ini antara lain demam, batuk, sesak, dan hipoksia dengan saturasi oksigen <92%.[2]
Menurut Shen et al, anak dengan COVID-19 yang berisiko mengalami gejala berat adalah anak dengan komorbid, seperti penyakit jantung bawaan, hipoplasia paru, anomali saluran pernapasan, anemia atau malnutrisi berat, serta defisiensi imun maupun penggunaan terapi imunosupresan jangka panjang.[10]
Suatu spektrum gejala COVID- 19 pada anak dan remaja dengan kondisi multisistem inflamasi memperlihatkan gejala mirip penyakit Kawasaki. Terdapat gambaran demam, hiperinflamasi sistemik, gejala gastrointestinal, dan kadang mengarah ke kegagalan multi organ dan syok.[11]
Meta analisis yang dilakukan Chang et al menganalisa 13 artikel yang eligible dan 11 serial kasus yang sesuai. Hasil analisis mendapatkan bahwa anak dengan COVID-19 yang mengalami demam sebesar 59%, batuk 46%, dan gejala gastrointestinal 12%. Meta analisis lain, yang meneliti 10 literatur dan melibatkan 466 anak terkonfirmasi COVID-19, memperlihatkan gejala umum pada anak berupa demam 56%, batuk 49,8%, sakit kepala 22,9%, nyeri tenggorokan 22,7%, dan lemas atau nyeri otot 20,3%.[12,13]
Perbedaan Gejala Flu Biasa dengan COVID-19 pada Anak
Kekeliruan penyebutan istilah flu biasa di kalangan masyarakat awam di Indonesia telah lama terjadi. Flu biasa sebenarnya merupakan istilah yang rancu, karena sering digunakan untuk menggambarkan gejala penyakit saluran napas seperti pilek, batuk, dan kadang-kadang demam. Padahal di negara barat, orang lebih sering menyebutnya dengan gejala common cold. Nenek moyang orang Indonesia sendiri menyebut gejala tersebut dengan istilah yang lebih tepat, yaitu selesma.[3]
Setyadi, dalam artikelnya di laman IDAI, telah menyatakan bahwa istilah flu adalah istilah yang rancu, karena menggambarkan gejala common cold, dan bukanlah merupakan kependekan dari influenza sebagai diagnostik etiologik infeksi akibat virus influenza. Padahal salah satu IRA yang paling banyak dialami anak adalah common cold. Seharusnya istilah medis untuk gejala flu ini bisa bervariasi, yaitu rhinitis, rhinofaringitis, atau nasofaringitis.[3,14]
Gejala Common Cold
Gejala berupa batuk dan pilek, yang sering disebut flu biasa, sebenarnya adalah selesma atau common cold. Gejala ini sangat umum dijumpai pada anak sejak sebelum terjadi pandemi COVID-19. Oleh Karena itu, timbul kepedulian di kalangan orang tua maupun para ahli Ilmu Kesehatan Anak untuk membedakan gejala COVID- 19 dengan gejala common cold.[3]
Gejala common cold pada anak yang menonjol adalah rhinorrhea (hidung meler) dengan sekret nasal yang jernih. Juga disertai dengan keluhan nasal kongesti (hidung mampet), tenggorokan nyeri atau gatal, serta demam yang tidak terlalu tinggi (berkisar 38oC), timbul berangsur-angsur, dan lebih banyak dialami pada anak daripada dewasa.[14,15]
Gejala common cold dinyatakan lebih ringan daripada gejala COVID-19. Selain itu, etiologi virus common cold berbeda, antara lain rhinovirus, parainfluenza virus, Respiratory Syncytial Virus (RSV), maupun Human Coronavirus (HCoV). Penelitian pada 324 tenaga kesehatan di Filipina dengan gejala demam dan batuk yang dicurigai COVID-19, ternyata memperlihatkan bahwa 88% disebabkan oleh virus respiratorik penyebab selesma, seperti Rhinovirus dan Parainfluenza.[15,16]
Gejala Influenza
Influenza adalah penyakit akibat infeksi virus seasonal influenza, yang dapat disebabkan oleh virus influenza tipe A maupun tipe B. Menurut WHO, virus influenza telah lebih dulu mengakibatkan epidemi di seluruh dunia, dan mengakibatkan 3−5 juta kasus IRA berat, serta menyebabkan kematian pada 290.000−650.000 kasus di seluruh dunia.[17]
Infeksi virus influenza sangat menyerupai COVID-19, baik dari gejala maupun cara transmisi. Oleh karena itu, tak heran sejak awal penyebaran COVID-19 telah banyak studi yang mencari persamaan dan perbedaan gejala influenza dengan COVID-19. Studi systematic review telah mengumpulkan 18 penelitian di berbagai negara yang membandingkan gejala influenza dan COVID-19. Baik influenza maupun COVID-19 sama-sama bergejala demam dan gangguan saluran napas, seperti batuk, pilek, nyeri tenggorok, dan sesak.[18]
Gejala COVID-19
Pada pasien COVID-19, didapatkan gejala paling banyak dan paling bermakna adalah gangguan saluran napas seperti batuk dan sesak, disertai fatigue, gejala neurologis seperti nyeri kepala, anosmia dan disgeusia, serta gejala saluran cerna seperti diare dan muntah.[1]
Anosmia dan disgeusia memang telah dinyatakan memiliki nilai prediktif yang tinggi sebagai gejala spesifik COVID-19. Pada penelitian terhadap 217 pasien bergejala influenza like illness, didapatkan bahwa gejala anemia disertai disgeusia memiliki spesifisitas 91% dalam menunjukkan hasil terkonfirmasi COVID-19 berdasarkan tes PCR (polymerase chain reaction).[19]
Penelitian yang dilakukan Song et al, pada anak dengan COVID- 19 dan influenza di Amerika Serikat, mendapatkan bahwa gejala yang lebih sering pada anak dengan COVID-19 dibandingkan influenza adalah demam yang disertai diare, muntah, nyeri kepala, dan mialgia.[20]
Perbedaan Outcome Influenza dengan COVID-19 pada Anak
Lebih jauh meninjau perbandingan outcome influenza dan COVID-19 pada anak, survei epidemiologi memperlihatkan hasil yang beragam. Hal ini sesuai dengan populasi umur penderita. Pada systematic review yang membandingkan influenza dan COVID-19 pada orang dewasa, keparahan gejala yang berakhir pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) lebih tinggi pada COVID-19 dibanding influenza.[18]
Namun, hal ini berbeda dengan COVID-19 pada anak. Studi kohort yang dilakukan oleh Children National Hospital di Washington Amerika memperlihatkan bahwa outcome influenza dan COVID-19 pada anak ternyata sebanding. Tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam hal tingkat perawatan di rumah sakit maupun di unit perawatan intensif, serta penggunaan ventilator antara pasien anak dengan influenza dan COVID-19.[20]
Hal ini mempertegas bahwa baik influenza maupun COVID-19 pada anak sama-sama memiliki kemiripan gejala, disertai hasil akhir yang sebanding baik dalam hal risiko dan komplikasi.[20]
Rekomendasi Tata Laksana COVID-19 pada Anak dengan Gejala Ringan
IDAI telah menerbitkan panduan klinis tata laksana COVID-19 pada anak Edisi 3, pada tanggal 14 Juni 2020. Anak yang terkonfirmasi COVID-19 hasil tes PCR SARS-CoV 2 positif dapat tanpa gejala atau dengan gejala ringan. Termasuk gejala ringan antara lain demam, fatigue, myalgia, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, bersin, atau disertai gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah, nyeri perut, dan diare.[21]
Perawatan pasien anak dengan COVID-19 tanpa gejala atau gejala ringan terdiri dari:
-
Isolasi mandiri di rumah dan pemantauan oleh tenaga Kesehatan merupakan hal pertama yang harus diperhatikan orang tua saat anak terdiagnosa positif COVID-19
-
Selama isolasi mandiri 14 hari, perlu diperhatikan asupan nutrisi yang adekuat, banyak istirahat, berjemur minimal 10−15 menit/hari, mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan menerapkan etika batuk yang benar
- Edukasi kepada orangtua sebagai upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di dalam rumah, misalnya memperhatikan ventilasi, cahaya, dan pertukaran udara, membersihkan kamar dan permukaan benda yang sering disentuh dengan larutan desinfektan, serta mencuci terpisah alat makan minum maupun pakaian dengan sabun detergen [21]
Terapi Farmakologi
Tidak ada terapi farmakologi spesifik untuk COVID-19 pada anak tanpa gejala maupun gejala ringan. IDAI hanya merekomendasikan pemberian obat simptomatik, seperti paracetamol jika demam.[21]
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dalam buku saku pedoman tata laksana COVID-19, telah memberikan rekomendasi terapi terbaru khususnya untuk pasien anak, remaja, dan neonatus, yaitu:
-
Vitamin C: dosis untuk usia 1−3 tahun maksimal 400 mg/hari, 4−8 tahun maksimal 600 mg/hari, 9−13 tahun maksimal 1,2 g/hari, dan usia 14−18 tahun maksimal 1,8 g/hari
-
Vitamin D3: dosis untuk usia <3 tahun 400 U/hari, anak 1000 U/hari, remaja 2000 U/hari, dan remaja obesitas 5000 U/hari
-
Zinc: dosis 20 mg/hari [22]
Suplemen tersebut di atas dan suplemen lainnya dapat dipertimbangkan untuk diberikan walau bukti klinis belum menunjukkan hasil yang meyakinkan.[22]
Kesimpulan
Membedakan COVID-19 pada anak dengan gejala flu biasa memang masih membutuhkan perhatian khusus. Terutama karena istilah flu biasa selama ini telah banyak digunakan secara rancu di Indonesia. Sebenarnya, gejala flu biasa yang banyak dikeluhkan anak adalah gejala common cold atau selesma. Gejala flu pada common cold merupakan kondisi yang lebih ringan jika dibandingkan dengan gejala infeksi respiratorik akut akibat COVID-19 maupun infeksi virus influenza A dan B.
Sedangkan influenza dan COVID- 19 pada anak sangat sebanding, baik dalam hal gejala klinis maupun outcome. Sehingga tetap dibutuhkan tes PCR sebagai baku emas untuk diagnosis COVID-19 pada anak. Kebanyakan anak atau remaja dengan dugaan atau terkonfirmasi COVID-19 dapat dirawat atau isolasi mandiri di rumah untuk mencegah penyebaran penyakit, serta diberikan terapi suportif seperti paracetamol dan vitamin.