Pemilihan pasien dan jenis terapi profilaksis untuk pemberian profilaksis migraine sangat penting untuk menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan serangan migraine, serta mengurangi tingkat kecemasan dan stres akibat sakit kepala yang berulang. Terapi profilaksis juga pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah progresivitas menjadi migraine kronis.[1]
Migraine merupakan nyeri kepala rekuren yang disebabkan gangguan neurologi dan vaskular. Secara epidemiologi, migraine lebih sering dialami oleh wanita dibandingkan pria, dengan rasio 3:1. Lebih dari 80% penderita migraine memiliki onset penyakit sebelum usia 30 tahun, di mana 70% di antaranya memiliki riwayat serangan migraine dalam keluarga.[2]
Secara garis besar, tata laksana pada kasus migraine akan dibagi menjadi dua, yaitu terapi abortif dan terapi profilaksis, baik dengan medikamentosa maupun nonmedikamentosa. Sebanyak 38% pasien dengan migraine episodik dilaporkan memerlukan terapi profilaksis, tetapi hanya sekitar 13% pasien yang mendapatkannya.[1]
Pemilihan Kandidat Pasien
Pencegahan migraine dapat dilakukan melalui terapi konservatif ataupun terapi medikamentosa. Dalam memutuskan kapan seorang pasien memerlukan terapi medikamentosa untuk pencegahan terjadinya serangan migraine, terdapat kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman, yaitu:
- Pasien dengan ≥ 4 serangan sakit kepala per bulan, atau setidaknya 8 hari sakit kepala per bulan
- Serangan akut yang sangat mengganggu, walaupun dengan tata laksana akut yang adekuat
- Pasien yang tidak dapat mentoleransi atau memiliki kontraindikasi terhadap obat untuk serangan migraine akut
- Pasien memiliki risiko mengalami medication-overuse headache
- Preferensi pasien
- Adanya subtipe migraine tertentu, seperti migraine hemiplegi, migraine dengan aura batang otak, migrainous infarction, dan gejala aura yang berat, persisten, atau sangat sering[1]
Terapi Medikamentosa untuk Profilaksis Migraine
Perlu diperhatikan bahwa obat-obatan yang digunakan untuk terapi profilaksis migraine merupakan obat yang digunakan pada tata laksana penyakit lain, seperti epilepsi, hipertensi, dan depresi. Oleh karena itu, penting sekali bagi dokter untuk memberikan informasi yang jelas kepada pasien agar pasien tidak bingung.
Obat golongan beta blocker seperti propranolol dan atenolol, dapat digunakan sebagai profilaksis migraine. Namun, efek samping seperti intoleransi ortostatik, harus diperhatikan. Contoh obat lain yang dapat digunakan dalam profilaksis migraine adalah amitriptilin, lisinopril, dan verapamil.
Menurut American Family Physician (AFP), obat lini pertama yang efektif berdasarkan bukti ilmiah untuk profilaksis migraine adalah divalproex, topiramat, metoprolol, propranolol, dan timolol. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi lini kedua adalah amitriptyline, venlafaxine, atenolol, dan nadolol. Terdapat bukti yang masih terbatas terkait efikasi bisoprolol, carbamazepine, gabapentin, fluoxetine, nicardipine, verapamil, lisinopril, dan candesartan. Sedangkan acebutolol, oxcarbazepine, lamotrigine, dan telmisartan sudah terbukti tidak efektif.[1]
Tabel 1 menunjukkan beberapa obat dengan tingkat efikasi A oleh American Academy of Neurology (AAN), yang berarti efikasi obat sudah dikonfirmasi setidaknya 2 uji klinis kelas I, dan high oleh Canadian Headache Society (CHS).[3]
Tabel 1. Pilihan Terapi Medikamentosa untuk Profilaksis Migraine Berdasarkan Rekomendasi Grade A oleh AAN dan High oleh CHS
Obat | Dosis | Kontraindikasi/Hal yang harus diperhatikan | Efek samping tersering |
Metoprolol | 100-200 mg | Bradikardia, hipotensi, asma, gagal jantung, dapat menutupi tanda dan gejala hipoglikemia | Intoleransi ortostatik, intoleransi terhadap aktivitas fisik, kelelahan, pusing |
Propranolol | 80-240 mg | ||
Topiramat | 50-200 mg | Nefrolitiasis, gangguan ginjal, asidosis metabolik | Parestesia, penurunan berat badan, gangguan memori, kesulitan dalam menemukan kata |
Sumber: dr. Gabriela, 2023.[3]
Sementara terdapat beberapa obat dalam Tabel 2 yang memiliki tingkat efikasi yang bervariasi antara level A hingga B oleh AAN dan/atau high hingga moderate oleh CHS.
Tabel 2. Pilihan Terapi Medikamentosa untuk Profilaksis Migraine yang Lain Berdasarkan Rekomendasi AAN dan CHS
Obat | Dosis | Kontraindikasi/ Hal yang harus diperhatikan | Efek samping tersering |
Amitriptilin | 10-200 mg | Ide atau gagasan bunuh diri, abnormalitas pada konduksi jantung, aritmia | Peningkatan berat badan, mulut kering, kelelahan, pandangan kabur, konstipasi |
Nadolol | 20-160 mg | Bradikardia, hipotensi, asma, gagal jantung, dapat menutupi tanda dan gejala hipoglikemia | Intoleransi ortostatik, intoleransi terhadap aktivitas fisik, kelelahan, pusing |
Atenolol | 50-200 mg | ||
Timolol | 20-60 mg | ||
Venlafaxin | 75-225 mg | Ide atau gagasan bunuh diri, gangguan ginjal atau hepar | Mual, pusing, insomnia, diaphoresis, disfungsi seksual |
Sodium divalproex/ Sodium valproate | 500-2000 mg | Gangguan liver, pankreatitis, gangguan hematologi tertentu, usia reproduktif atau memiliki rencana untuk hamil | Peningkatan berat badan, tremor, mual, alopecia, kelelahan |
Gabapentin | 600-3600 mg | Gangguan ginjal | Pusing, kelelahan, edema perifer |
Candesartan | 16-32 mg | Hiperkalemia | Hipotensi, pusing |
OnabotulinumtoxinA (hanya pada migraine kronik) | 155 IU setiap 12 minggu | Penyakit neuromuscular dan neuromuscular junction | Nyeri lokasi injeksi, nyeri otot, kelemahan otot |
Sumber: dr. Gabriela, 2023.[3]
Antibodi Monoklonal Calcitonin Gene-Related Peptide
Terapi terbaru dengan antibodi monoklonal yang menargetkan calcitonin gene-related peptide (anti-CGRP) telah disetujui oleh FDA. CGRP diketahui berperan penting dalam transmisi nyeri.
American Headache Society dan European Headache Federation telah menerbitkan rekomendasi penggunaan antibodi monoklonal yang menargetkan CGRP. Pasien dengan migraine episodik dan migraine kronis dapat direkomendasikan untuk mendapatkan eptinezumab, erenumab, fremanezumab, dan galcanezumab sebagai terapi preventif.
Penggunaan terapi anti-CGRP ini dikatakan memiliki tolerabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan obat-obat preventif generasi sebelumnya. Adapun rekomendasi-rekomendasi penggunaan anti-CGRP adalah sebagai berikut:
- Anti-CGRP dapat direkomendasikan sebagai terapi preventif lini pertama setelah evaluasi komprehensif terutama mengenai kondisi komorbid pasien.
- Evaluasi penggunaan anti-CGRP ini dapat dilakukan setelah 3 bulan penggunaan meskipun respons terapi dapat dirasakan dalam waktu yang lebih singkat
- Penghentian penggunaan anti-CGRP dapat dilakukan setelah 12-18 bulan terapi dan dapat dilanjutkan jika gejala memberat
- Perhatian khusus dalam penggunaan anti-CGRP diberikan pada pasien migraine yang hamil atau menyusui, dengan riwayat penyakit vaskular, dan dengan fenomena Raynaud. [6,7]
Efek samping penggunaannya ringan dan secara umum terdiri dari nyeri pada lokasi injeksi, mual, infeksi saluran napas bagian atas, nasofaringitis, fatigue, dan infeksi saluran kemih. Pada sisi lain, belum ada studi yang meneliti kombinasi anti-CGRP dengan terapi preventif lainnya. [4,5]
Nutraseutikal
Nutraseutikal dapat menjadi tambahan terapi pada pasien yang refrakter terhadap terapi medikamentosa tunggal. Beberapa nutraseutikal yang dapat digunakan dalam profilaksis migraine dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pilihan Nutraseutikal untuk Profilaksis Migraine
Nutraseutikal | Dosis | Kontraindikasi/ Hal yang harus diperhatikan | Efek samping tersering |
Magnesium sitrat | 400-600 mg | Penyakit neuromuscular dan neuromuscular junction | Diare |
Riboflavin | 400 mg | Tidak ada | Diskolorasi urin, poliuria |
Coenzyme Q10 | 300 mg | Obstruksi bilier, insufisiensi hepatik | Mual, diare |
Feverfew | 50-300 mg | Penggunaan antikoagulan | Mual, diare, ulkus mulut |
Sumber: dr. Gabriela, 2023.[3]
Penelitian lain mengatakan bahwa efikasi riboflavin setara dengan propranolol setelah 3-6 bulan dalam profilaksis migraine. Magnesium juga merupakan salah satu zat yang dikatakan bermanfaat dalam profilaksis migraine karena berperan sebagai kofaktor dalam banyak enzim pada tubuh.[8]
Suatu studi klinis dengan double-blind pada feverfew menunjukkan bahwa feverfew merupakan nutraseutikal yang cukup efektif dalam pencegahan migraine dengan gejala efek samping berupa nyeri pada mulut dan lidah, nyeri perut, dan gangguan pencernaan.[8]
Namun, CHS tidak merekomendasikan penggunaan feverfew karena dinilai tidak terbukti efektif bila dibandingkan dengan plasebo.[3]
Selain itu terdapat studi lainnya yang mendukung penggunaan butterbur pada profilaksis migraine.[8]
Terapi Profilaksis Nonmedikamentosa pada Migraine
Selain obat-obatan, terdapat juga tata laksana lain yang dapat disarankan untuk mencegah terjadinya migraine seperti neuromodulasi, terapi perilaku, dan menghindari faktor pencetus.
Neuromodulasi
Neuromodulasi adalah metode intervensi baik invasif maupun noninvasif yang memperkuat atau menginhibisi transmisi dari impuls saraf yang tidak langsung berperan dalam proses transmisi saraf yang dituju.
Beberapa prosedur neuromodulasi telah dilaporkan memiliki dampak positif dalam pencegahan migraine. Prosedur yang telah disetujui oleh FDA adalah stimulasi transkutan nervus supraorbital, stimulasi magnetik transkranial, stimulasi kalorik vestibular, stimulasi nervus vagus, dan remote electrical neuromodulation (REN). Efikasi teknik neuromodulasi dalam prevensi migraine masih perlu dibuktikan dalam penelitian yang lebih besar dan dengan metode penelitian yang lebih baik. [9,10]
Terapi Perilaku
Terapi perilaku seperti latihan relaksasi, electromyographic biofeedback, dan cognitive-behavioral therapy (CBT) direkomendasikan sebagai terapi profilaksis migraine.
Modalitas ini terutama direkomendasikan pada pasien-pasien yang tidak dapat mentoleransi terapi medikamentosa, memiliki kontraindikasi, atau pasien dengan stres sebagai pemicu utama serangan migraine. Terapi perilaku dapat diberikan dengan pertemuan langsung atau melalui telepon genggam.[11,12]
Menghindari Faktor Pencetus
Beberapa faktor yang dapat mencetuskan migraine adalah konsumsi kafein, penggunaan obat nyeri kepala akut yang berlebihan, dan pola tidur yang tidak teratur.
Konsumsi Kafein:
Konsumsi kafein dan serangan migraine memiliki hubungan yang kompleks. Kafein dapat menjadi salah satu terapi yang efektif dalam meredakan serangan migraine. Namun, konsumsi kafein secara berlebihan ataupun penghentian konsumsi kafein secara tiba-tiba juga dapat menjadi faktor pencetus migraine karena kafein berperan sebagai antagonis dari reseptor adenosin.
Penggunaan Obat Nyeri Kepala Akut yang Berlebihan:
Penggunaan obat untuk meredakan nyeri secara berlebihan justru dapat mencetuskan sakit kepala yang lebih berat (medication-overuse headache). Kondisi ini didefinisikan sebagai penggunakan terapi analgesik sederhana sebanyak ≥ 15 hari dalam satu bulan atau penggunaan terapi analgesik spesifik seperti triptan, dihidroergotamin, opioid sebanyak ≥ 10 hari dalam satu bulan.
Pola Tidur yang Tidak Teratur:
Tidur menjadi salah satu pilihan tata laksana nonmedikamentosa yang dinilai efektif dalam mengatasi serangan migraine. Gangguan pola tidur dapat menjadi faktor pencetus yang meningkatkan frekuensi dan derajat keparahan serangan migraine. Gangguan pola tidur yang banyak berhubungan dengan kondisi migraine, antara lain insomnia, kualitas tidur yang buruk, mendengkur, dan restless leg syndrome.[3]
Kesimpulan
Profilaksis migraine dapat mengurangi frekuensi, keparahan, dan distress terkait migraine. Profilaksis juga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah perburukan menjadi migraine kronik. Beberapa indikasi dari terapi profilaksis migraine adalah serangan nyeri kepala ≥4 kali per bulan, ≥8 hari nyeri kepala per bulan, serangan nyeri kepala yang sangat mengganggu, dan medication-overuse headache.
Terapi profilaksis migraine dapat dilakukan dengan medikamentosa dan nonmedikamentosa. Pilihan obat profilaksis lini pertama adalah divalproex, topiramat, metoprolol, propranolol, dan timolol. Terapi profilaksis nonmedikamentosa dapat dilakukan dengan menghindari faktor pencetus, terapi perilaku, dan neuromodulasi.
Penulisan pertama oleh: dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S