Risk of Myocardial Infarction and Stroke Following Microbiologically Confirmed Urinary Tract Infection: A Self-Controlled Case Series Study Using Linked Electronic Health Data.
Reeve NF, Best V, Cannings-John R, et al. BMJ Open. 2025; 15(6):e097754. doi: 10.1136/bmjopen-2024-097754.
Abstrak
Tujuan: Respons inflamasi akibat infeksi akut dapat memicu kejadian kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan hubungan antara infeksi saluran kemih (ISK) yang terkonfirmasi secara mikrobiologis dengan kejadian infark miokard akut (MI) pertama dan stroke.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain self-controlled case series, dengan periode risiko 1–7, 8–14, 15–28, dan 29–90 hari setelah ISK. Individu yang diikutsertakan mengalami baik pajanan maupun luaran yang diteliti, dan berperan sebagai kontrol bagi dirinya sendiri. Peneliti menggunakan data yang saling tertaut secara individual antara praktik umum, data rawat inap rumah sakit, dan data mikrobiologi yang tersimpan dalam Secure Anonymised Information Linkage (SAIL) databank.
Individu yang diikutsertakan adalah penduduk Wales berusia di atas 30 tahun yang memiliki catatan rawat inap rumah sakit karena infark miokard (IM) atau stroke sebagai luaran, serta bukti pajanan berupa infeksi saluran kemih yang terkonfirmasi secara mikrobiologis selama periode studi 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2020.
Luaran utama adalah kejadian infark miokard akut atau stroke yang diidentifikasi menggunakan kode International Classification of Diseases versi 10 (ICD-10) dari diagnosis rawat inap yang tercatat dalam Patient Episode Database for Wales. Peneliti menggunakan regresi Poisson untuk mengestimasi incidence rate ratio (IRR) beserta confidence interval (CI) 95% untuk kejadian infark miokard dan stroke selama periode risiko yang telah ditentukan, dibandingkan dengan periode dasar.
Hasil: Selama periode penelitian, terdapat 51.660 individu yang menjalani rawat inap di rumah sakit karena infark miokard, di mana 2.320 (4,5%) di antaranya mengalami 3.900 episode infeksi saluran kemih yang terkonfirmasi secara mikrobiologis. Selain itu, terdapat 58.150 individu yang dirawat inap karena stroke, dengan 2.840 (4,9%) di antaranya mengalami 4.600 infeksi saluran kemih yang terkonfirmasi secara mikrobiologis.
Tercatat 120 kejadian infark miokard selama periode risiko dan 2.190 selama periode dasar, dengan peningkatan risiko infark miokard dalam 1–7 hari setelah infeksi saluran kemih (IRR 2,49; 95% CI 1,65–3,77). Untuk stroke, terdapat 200 kejadian selama periode risiko dan 2.640 selama periode dasar, dengan peningkatan risiko stroke dalam 1–7 hari setelah infeksi saluran kemih (IRR 2,34; 95% CI 1,61–3,40).
Kesimpulan: Infeksi saluran kemih dapat berperan sebagai pemicu terjadinya infark miokard atau stroke. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanisme yang mendasari serta menguji intervensi yang dapat menurunkan risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan infeksi saluran kemih di layanan kesehatan primer.
Ulasan Alomedika
Terdapat bukti bahwa infeksi akut dapat berperan sebagai pencetus kejadian kardiovaskular seperti infark miokard dan stroke, di luar faktor risiko klasik seperti hipertensi, dislipidemia, dan merokok. Mekanisme yang diajukan meliputi ketidakstabilan plak aterosklerotik akibat inflamasi, peningkatan keadaan protrombotik selama infeksi, serta iskemia akibat peningkatan kebutuhan oksigen miokard.
Mengingat infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi bakteri tersering di layanan primer dan dapat memicu respons inflamasi sistemik yang berpotensi memengaruhi sistem vaskular, penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah ISK yang terkonfirmasi secara mikrobiologis dapat menjadi faktor pencetus infark miokard atau stroke.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain self-controlled case series (SCCS) di mana individu bertindak sebagai kontrol mereka sendiri. Desain ini mengontrol secara inheren terhadap faktor perancu yang tidak berubah seiring waktu seperti jenis kelamin atau faktor genetik, baik yang terukur maupun tidak. Penelitian ini berfokus pada hubungan temporal antara ISK dan kejadian infark miokard akut atau stroke.
Populasi penelitian diambil dari Secure Anonymised Information Linkage (SAIL) Databank di Wales, yang berisi data longitudinal anonim dari layanan kesehatan primer dan sekunder. Partisipan adalah penduduk Wales berusia 30–100 tahun yang memiliki rekam medis rumah sakit dengan diagnosis infark miokard atau stroke (primer atau sekunder) antara 1 Januari 2010 dan 31 Desember 2020.
Hanya kejadian infark miokard atau stroke pertama yang dimasukkan dalam analisis, untuk menghindari bias dari kejadian berulang. Dari kelompok ini, hanya individu yang juga mengalami setidaknya satu episode ISK selama periode observasi yang dimasukkan dalam analisis SCCS.
Data diperoleh dari tiga sumber utama:
Welsh Longitudinal General Practice (WLGP) untuk diagnosis dan resep antibiotik
Patient Episode Database for Wales (PEDW) untuk data rawat inap dan diagnosis ICD-10
Welsh Results Reporting Service (WRRS) untuk hasil mikrobiologi urin.
Paparan utama (pajanan) didefinisikan sebagai insiden ISK yang dikonfirmasi secara mikrobiologis, yaitu bila terdapat:
- Catatan diagnosis atau gejala ISK di layanan primer
- Resep antibiotik sesuai tata laksana ISK
- Kultur urin menunjukkan pertumbuhan tunggal ≥10⁸ CFU/L dengan leukosit ≥10⁸/L. Episode dengan pertumbuhan bakteri campuran tidak dianggap sebagai ISK terkonfirmasi.
Luaran utama yang diteliti adalah kejadian akut infark miokard atau stroke, diidentifikasi menggunakan kode ICD-10 pada data rawat inap. Peneliti menghitung incidence rate ratios (IRR) untuk infark miokard atau stroke dalam periode risiko yang telah ditetapkan, yaitu 0–90 hari setelah UTI, dengan subdivisi menjadi 0 hari, 1–7 hari, 8–14 hari, 15–28 hari, dan 29–90 hari, dibandingkan dengan periode dasar (baseline).
Ulasan Hasil Penelitian
Didapatkan 51.660 individu dengan kode ICD-10 untuk infark miokard dan 58.150 individu dengan kode ICD-10 untuk stroke selama periode penelitian. Dari jumlah tersebut, didapatkan 2.320 individu dengan infark miokard dan 2.840 individu dengan stroke yang juga mengalami ISK terkonfirmasi secara mikrobiologis.
Analisis menunjukkan bahwa risiko infark miokard meningkat 2,5 kali lipat dan risiko stroke meningkat 2,3 kali lipat dalam 7 hari pertama setelah ISK dibandingkan dengan periode baseline. Peningkatan risiko tetap terdeteksi hingga beberapa minggu setelah infeksi, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah, menunjukkan adanya efek jangka pendek infeksi terhadap sistem kardiovaskular.
Analisis lanjutan memperlihatkan bahwa risiko infark miokard kembali meningkat pada hari ke-15 hingga ke-28 setelah ISK (IRR 1,60), sedangkan risiko stroke meningkat pada periode 29–90 hari (IRR 1,26; 95% CI 1,05–1,52). Hal ini mengindikasikan bahwa efek proinflamasi atau prokoagulasi akibat infeksi mungkin berperan dalam memicu kejadian vaskular, baik secara langsung maupun melalui proses inflamasi yang berkepanjangan.
Kelebihan Penelitian
Desain SCCS memungkinkan setiap individu menjadi kontrol bagi dirinya sendiri, sehingga secara otomatis mengendalikan faktor perancu yang bersifat konstan sepanjang, bahkan jika faktor tersebut tidak terukur. Pendekatan ini meningkatkan validitas internal dan mengurangi bias perbandingan antarindividu yang sering terjadi pada studi observasional konvensional.
Selain itu, penelitian ini memanfaatkan basis data populasi yang besar dan komprehensif dari SAIL Databank, yang mencakup data dari layanan kesehatan primer, rumah sakit, serta hasil laboratorium mikrobiologi. Integrasi berbagai sumber data ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi paparan (ISK) dan luaran (infark miokard dan stroke) dengan lebih detail dan memungkinkan analisis longitudinal dalam jangka waktu satu dekade.
Lebih lanjut, penelitian ini memaparkan definisi operasional ISK secara jelas dan berbasis bukti laboratorium. Dengan mengombinasikan data klinis, resep antibiotik, dan hasil kultur urin, peneliti mencoba memastikan bahwa paparan benar-benar mewakili episode infeksi yang terkonfirmasi secara klinis dan mikrobiologis. Hal ini bisa mengurangi risiko misclassification bias.
Penelitian ini juga merupakan satu-satunya studi yang menggunakan ISK yang terkonfirmasi secara mikrobiologis untuk mempelajari risiko infark miokard atau stroke setelah ISK. Semua laboratorium mikrobiologi di seluruh Wales menggunakan prosedur standar, yang berarti data mikrobiologi dapat dibandingkan di seluruh laboratorium.
Limitasi Penlitian
Desain SCCS yang digunakan hanya mencakup individu yang telah mengalami kejadian infark miokard atau stroke, sehingga tidak dapat digunakan untuk memperkirakan insidensi absolut atau risiko populasi secara keseluruhan. Penelitian ini mengukur hubungan temporal antar kejadian pada individu yang sudah sakit, bukan efek kausal infeksi terhadap risiko kejadian kardiovaskular di populasi umum.
Selain itu, meski penggunaan data administratif dan laboratorium dari SAIL Databank meningkatkan cakupan dan ukuran sampel, ketepatan klasifikasi diagnosis tetap bergantung pada akurasi pencatatan di sistem elektronik. Penelitian ini juga tidak sepenuhnya mengontrol faktor perancu yang bersifat dinamis (time-varying confounders), seperti penggunaan obat-obatan atau kondisi akut lain yang terjadi bersamaan, sehingga menimbulkan potensi residual confounding.
Keterbatasan lain adalah keterbatasan data etnisitas dan variabel gaya hidup seperti aktivitas fisik, diet, atau konsumsi alkohol, yang tidak lengkap atau tidak tersedia dalam basis data. Hal ini membatasi kemampuan untuk mengevaluasi perbedaan antar subkelompok populasi. Perlu dicatat pula bahwa studi observasional tidak serta merta menunjukkan hubungan kausal, sehingga penelitian lanjutan dengan desain prospektif dan kontrol masih diperlukan.
Aplikasi Penelitian di Indonesia
Penelitian ini menyoroti bahwa infeksi akut seperti ISK dapat menjadi pemicu sementara (transient trigger) kejadian kardiovaskular. Meskipun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk memastikan asosiasi antara ISK dengan infark miokard dan stroke, hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala kardiovaskular pada pasien yang baru saja mengalami ISK, khususnya pada pasien lansia dan pasien dengan komorbiditas yang meningkatkan risiko kardiovaskular.

