Beberapa antidepresan memiliki efek disfungsi seksual sehingga klinisi harus memiliki strategi untuk mengatasinya. Kualitas seksual seseorang merupakan salah satu parameter kualitas hidup yang sering tidak terlaporkan atau dianggap tidak terlalu penting oleh klinisi. Padahal, pada pasien yang telah aktif secara seksual sebelum berobat, kualitas seksual dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kepatuhan berobat.[1,2]
Secara epidemiologi, sekitar 25-80% dari pasien yang menggunakan antidepresan akan mengalami gangguan pada fungsi seksual dalam 2-6 minggu sejak terapi awal.[1-4] Disfungsi seksual dapat disebabkan oleh perjalanan gangguan depresi itu sendiri atau akibat terapi antidepresan yang diberikan. [1-3]
Keluhan spontan dari pasien tentang efek ini hanya sekitar 20% dari seluruh kasus yang terdeteksi. Selebihnya, terdiagnosis setelah ditanyakan oleh dokter.[2] Tingginya prevalensi dan besarnya dampak disfungsi seksual terhadap pengobatan menjadikan klinisi perlu menanyakan dan melakukan tata laksana selanjutnya terhadap kualitas seksual pasiennya.
Sekilas tentang Disfungsi Seksual Akibat Terapi Antidepresan (DSTA)
Disfungsi seksual akibat terapi antidepresan (DSTA), atau yang dapat disebut juga dengan treatment-emergent sexual dysfunction (TESD), dapat terjadi pada pasien pria maupun wanita setelah mendapatkan terapi antidepresan. Antidepresan dapat menyebabkan disfungsi seksual yang belum pernah terjadi sebelum terapi maupun memperburuk keadaan disfungsi seksual yang sudah ada sebelum terapi.
Antidepresan kelas selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), seperti citalopram, paroxetine, dan fluoxetine; dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI), seperti venlafaxine dan duloxetine, merupakan antidepresan yang dilaporkan memiliki efek disfungsi seksual yang paling menonjol.[1,2]
Efek beberapa antidepresan terhadap fungsi seksual dapat diamati pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Efek dan Dosis Terendah Antidepresan terhadap Fungsi Seksual
Kategori | Nama | Dosis |
Kategori A (meningkatkan fungsi seksual) | Bupropion | 100 mg |
Kategori B (tidak berefek signifikan terhadap fungsi seksual) | Agomelatine Desvenlafaxine Moclobemide Vortioxetine | 25 mg 50 mg 450 mg 20 mg |
Kategori C (berefek negatif secara signifikan terhadap fungsi seksual) | Citalopram Clomipramine Escitalopram Fluoxetine Imipramine Paroxetine Sertraline Venlafaxine | 20 mg 100 mg 10 mg 10 mg 50 mg 20 mg 50 mg 75 mg |
Kategori D (Tidak terdapat bukti yang meyakinkan) | Duloxetine Mirtazapine | 60 mg 15 mg |
Sumber: Assessment and management of sexual dysfunction in the context of depression[2]
Strategi Menangani Disfungsi Seksual Akibat Terapi Antidepresan
Dalam pemilihan antidepresan, selain mempertimbangkan efektivitasnya, klinisi juga perlu mempertimbangkan efek samping yang dapat timbul.[1,2]
Strategi menangani disfungsi seksual akibat terapi antidepresan (DSTA) secara umum terdiri dari menunggu sampai terjadi remisi spontan, menurunkan dosis antidepresan hingga dosis efektif terendah, menjadwalkan aktivitas seksual di antara dosis, mengganti ke antidepresan lain yang memiliki risiko disfungsi seksual minimal (Kategori A atau B), dan memberikan terapi antidot atau augmentasi.[1-7]
Pencegahan Primer
Pencegahan primer untuk disfungsi seksual akibat antidepresan dapat berupa penggunaan antidepresan dengan risiko efek disfungsi seksual paling minimal sebagai terapi awal pada kasus depresi dan gangguan cemas (ansietas). Hal ini akan semakin perlu dipertimbangkan jika pasien sebelumnya sudah mengalami disfungsi seksual. Pilihan antidepresan yang dapat diberikan adalah obat yang dapat meningkatkan aktivitas seksual (kategori A), seperti bupropion; dan obat yang tidak berefek terhadap fungsi seksual (kategori B), seperti agomelatine, desvenlafaxine, moclobemide, dan vortioxetine.[2,6]
Menunggu Remisi Spontan
Hasil studi menunjukkan perubahan fungsi seksual dapat terjadi sekitar 2-6 minggu sejak dimulainya terapi antidepresan. Sekitar 30% dari kasus DSTA akan mencapai remisi spontan pada fungsi seksualnya di minggu ke-12.[4] Beberapa pasien dapat mengalami perbaikan fungsi seksual setelah mencapai remisi spontan dari gejala depresi, tetapi beberapa kasus tetap menunjukkan disfungsi seksual walaupun telah terjadi penurunan gejala depresi.[2]
Belum diketahui secara pasti penyebab disfungsi seksual akibat penggunaan antidepresan, khususnya kelas SSRI. Efek kumulatif dari sistem neurotransmiter (serotonergik, noradrenergik, dopaminergik, kolinergik, dan nitrit oksida) dilaporkan mempunyai peran terhadap terjadinya anorgasmia, kurangnya lubrikasi, buruknya dorongan (arousal), dan penurunan libido.[4,5,6]
Berdasarkan penelitian yang ada, SSRI merupakan inhibitor sintesis nitrit oksida pada peredaran darah vagina dan proses lubrikasi, sehingga dapat mencetuskan rasa nyeri, seperti pada dispareunia. Rasa nyeri ini yang kemudian dirasakan secara psikis sebagai ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitas seksual.[6]
Menurunkan Dosis atau Menghentikan Antidepresan
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa DSTA bersifat reversible, dan dapat mengalami perbaikan setelah dosis antidepresan diturunkan atau pengobatan dihentikan. Namun, beberapa kasus tetap dapat mengalami gangguan seksual yang persisten sehubungan dengan terjadinya efek pemutusan zat.[1-6]
Penggantian ke Antidepresan Lain
Menurut beberapa studi, penggantian ke antidepresan dengan risiko disfungsi seksual minimal merupakan penanganan paling ideal pada DSTA. Penggantian antidepresan umum dilakukan jika pasien tidak merespons terapi sebelumnya, atau tidak mampu mengatasi efek samping, atau atas permintaan pasien.[1-7]
Penggantian jenis antidepresan ke golongan nonserotoninergik ataupun antidepresan Kategori B (pada tabel 1) dapat dilakukan jika menemui kondisi seperti penurunan dorongan seksual, anorgasmia atau orgasme yang tertunda, disfungsi ereksi, atau kesulitan lubrikasi. Terdapat bukti yang menunjukkan penggantian ke fluvoxamine dapat membantu kasus anorgasmia atau orgasme tertunda.[1-2]
Memberikan Terapi Antidot atau Terapi Augmentasi
Terapi augmentasi untuk DSTA adalah bupropion, yaitu obat yang digunakan juga untuk terapi tobacco use disorder, dengan dosis 2 x 150 mg/hari. Pada pria, terkadang terapi augmentasi dengan transdermal testosterone juga digunakan untuk memperbaiki dorongan seksual yang rendah.
Pada kasus disfungsi ereksi, dapat ditambahkan obat antidot, seperti phosphodiesterase 5 inhibitor (sildenafil dan tadalafil). Penggunaan lubrikasi vagina dikatakan juga turut membantu mengatasi kesulitan lubrikasi.[1,2,6]
Drug Holiday
Penghentian obat atau drug holidays tidak disarankan karena dapat menyebabkan peningkatan risiko gejala efek putus zat (withdrawal symptom), timbulnya kembali gejala depresi, atau meningkatkan risiko ketidakpatuhan pengobatan.[1-4]
Psikoterapi
Selain farmakoterapi, manajemen berupa psikoedukasi dan psikoterapi juga perlu diberikan untuk pasien dengan DSTA. Hal ini terutama pada pasien yang tidak dapat/kesulitan menoleransi terjadinya disfungsi seksual. Psikoterapi juga terbukti mampu meningkatkan adaptasi pasien terhadap kualitas seksual yang ia miliki.[1-4]
Rekomendasi Terkait Penanganan Disfungsi Seksual
Berdasarkan rekomendasi The Royal Australian and New Zealand College of Psychiatry (RANZCP), pilihan pertama untuk mengatasi disfungsi seksual akibat terapi antidepresan adalah menggunakan antidepresan dengan risiko DSTA paling minimal sebagai terapi awal. Pemilihan antidepresan perlu ditentukan oleh adanya faktor-faktor penyulit, seperti usia lanjut, riwayat penggunaan alkohol, obat-obatan yang rutin dikonsumsi, gangguan fisik, dan masalah hubungan dengan pasangan.
Apabila hal ini tidak dapat dilaksanakan, maka menggunakan antidepresan dengan dosis efektif terendah, atau menunggu sampai terjadinya toleransi, dapat menjadi alternatif. Hal ini dikarenakan disfungsi seksual sangat berkaitan dengan dosis antidepresan dan beberapa kasus dapat membaik jika terbentuk toleransi.
Jika disfungsi seksual tetap terjadi walaupun sudah diberikan antidepresan dengan dosis efektif terendah, atau toleransi tidak terbentuk, atau jika pasien meminta untuk mengganti antidepresan, klinisi dapat mengganti terapi ke antidepresan dengan risiko efek disfungsi seksual terkecil.
Penggunaan sildenafil 25-100 mg sesaat sebelum melakukan hubungan intim, baik pada pasien pria maupun wanita, dapat dianjurkan jika DSTA tidak dapat teratasi.[8]
Rekomendasi dari Berkshire Healthcare National Health Services memaparkan beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai tata laksana disfungsi seksual akibat antidepresan, antara lain:
- Menurunkan dosis atau menghentikan antidepresan (jika memungkinkan)
- Terus melakukan pemantauan karena sekitar 10% kasus DSTA mengalami remisi spontan dan 11% mengalami remisi parsial tanpa membutuhkan intervensi apapun
- Mengganti ke antidepresan dengan risiko efek disfungsi seksual paling kecil
- Memeriksa kadar hormon prolaktin. Kadar hormon prolaktin yang tinggi (hiperprolaktinemia) dapat menimbulkan disfungsi seksual dan gangguan menstruasi
-
Drug holiday tidak disarankan karena dapat menimbulkan sindrom penghentian maupun withdrawal
- Sildenafil dapat memperbaiki fungsi seksual pada pria dan meningkatkan fungsi seksual pada wanita yang menggunakan SSRI. Hasil penelitian menunjukkan sildenafil, tadalafil, dan bupropion dapat berfungsi sebagai terapi augmentasi untuk meningkatkan fungsi seksual[9]
Kesimpulan
Salah satu pertimbangan memilih antidepresan adalah lebih besar manfaat daripada efek samping. Disfungsi seksual merupakan salah satu efek samping yang sering terjadi pada penggunaan beberapa antidepresan, khususnya kelas selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI).[1,2]
Padahal, kualitas seksual merupakan salah satu penentu kualitas hidup dan kepatuhan terapi pada pengguna antidepresan. Hal ini menjadi salah satu bagian penting yang perlu klinisi tanyakan kepada pasien pengguna obat antidepresan. Pemilihan obat dengan risiko DSTA rendah, penggantian jenis obat, penurunan dosis antidepresan hingga dosis efektif terendah, penambahan obat lain untuk mengurangi gejala, serta psikoterapi yang sesuai, dapat menjadi strategi terbaik untuk mengatasi DSTA.[1-4]
Saat ini, di Indonesia, tersedia obat antidepresan dengan Kategori A dan B, yaitu bupropion, agomelatine, dan vortioxetine. Sementara itu, terapi augmentasi dengan sildenafil belum banyak digunakan di Indonesia dan belum ada rekomendasi khusus mengenai hal ini.