Teknik Intubasi
Teknik intubasi endotrakeal, disebut juga sebagai endotracheal tube / ETT intubation, yang paling umum dilakukan adalah dengan metode rapid sequence intubation (RSI).[2-4]
Teknik ini meliputi beberapa komponen penting, yaitu persiapan yang meliputi persiapan pasien dan alat, posisi, preoksigenasi, premedikasi, intubasi dan konfirmasi, dan manajemen pasca intubasi
Persiapan Pasien
Persiapan pasien yang harus dilakukan sebelum intubasi endotrakeal terdiri dari pemeriksaan saluran napas (airway assessment), penentuan ukuran tuba endotrakeal, pemasangan akses intravena, dan pemasangan monitor[1,3-6]
Pemeriksaan Saluran Napas (Airway Assessment)
Pemeriksaan saluran napas diperlukan untuk mendeteksi adanya penyulit ketika dilakukan intubasi. Pemeriksaan jalan napas yang tepat dapat mencegah mortalitas dan morbiditas karena intubasi dan komplikasinya. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pendekatan LEMON (Look, Evaluate, Mallampati, Obstruction, Neck).[1,2,4]
L (Lihat):
Lakukan inspeksi secara eksternal jalan napas pasien. Hal-hal yang menandakan adanya jalan napas sulit dapat berupa facies abnormal atau trauma wajah, mandibula kecil, lidah besar, serta leher pendek dan lebar atau bull neck[1,2,4]
E (Evaluasi):
Evaluasi dilakukan berdasarkan aturan 3-3-2 untuk menilai pembukaan mulut (mouth opening), jarak hiomental, dan jarak tirohioid. Hal ini dapat dilakukan pada pasien dengan jalan napas tanpa penyulit.[1,2]
Pengukuran dilakukan dengan meminta pasien membuka mulut dan memasukkan 3 jari di antara gigi. Apabila dapat mengakomodasi 3 jari, maka insersi laringoskop dan tuba endotrakeal relatif lebih mudah[1,2]
Selanjutnya, pengukuran jarak hiomental dilakukan dengan meletakkan 3 jari pada dasar mandibula, diantara mentum dan tulang hioid. Terakhir, penilaian jarak tirohioid dilakukan dengan meletakkan 2 jari diantara kartilago tiroid dan tulang hioid.[1,2]
Apabila pasien tidak dapat menggunakan jarinya sendiri, maka dapat digunakan jari pemeriksa.[1,2]
M (Mallampati):
Klasifikasi Mallampati dilakukan untuk menilai ukuran lidah dan rongga oral. Penilaian ini dibedakan menjadi 4 kelas yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah. Klasifikasi Mallampati kelas III dan IV menunjukkan adanya manajemen jalan napas sulit, sehingga intubasi sulit dilakukan.[1,4]
Tabel 1. Klasifikasi Mallampati
Kelas I | Terlihat palatum durum, palatum mole, seluruh tonsil dan uvula |
Kelas II | Terlihat palatum mole, palatum durum, bagian atas tonsil dan uvula. |
Kelas III | Terlihat palatum durum, mole, dan dasar uvula |
Kelas IV | Hanya terlihat palatum durum |
Sumber: dr. Gabriela, Alomedika, 2022.[1,4]
O (Obstruksi / Obesitas):
Obstruksi ditandai dengan adanya stridor, suara tidak jelas (hot potato voice), dan sulit menelan cairan. Obstruksi pada saluran napas atas merupakan penanda adanya jalan napas sulit. Indeks massa tubuh > 30 juga merupakan penyulit manajemen jalan napas.[1,2,4]
N (Neck):
Mobilitas leher perlu dinilai. Mobilitas leher yang kurang baik akan mengganggu visualisasi glotis pada saat laringoskopi. Adanya kondisi seperti penggunaan kolar leher, ankilosing spondylitis, atau artritis rematik juga dapat mempengaruhi mobilitas leher. Selain itu, lingkar leher juga perlu dinilai. Lingkar leher > 17 inch (43 cm) juga dapat menyulitkan visualisasi glottis.[1,2]
Ditemukannya penyulit pada pemeriksaan-pemeriksaan tersebut bukan indikasi bahwa intubasi tidak dapat dilakukan. Apabila pada pemeriksaan tidak ditemukan adanya penyulit, intubasi umumnya lebih mudah dilakukan.[1-4,6]
Penentuan Ukuran Tuba Endotrakeal
Ukuran diameter tuba endotrakeal secara umum pada pasien dewasa adalah 6.0 – 7.5 (wanita) dan 7.0 -9.0 (pria). Tuba endotrakeal umumnya dimasukkan hingga 21 cm (wanita) dan 23 cm (pria). Pada anak-anak ukuran tuba endotrakeal dapat dihitung dengan rumus:
- Diameter = (Usia dalam tahun / 4) + 4
- Panjang = (Usia dalam tahun / 2 ) + 4
Sedangkan pada bayi, umumnya digunakan ukuran tuba endotrakeal dengan diameter 3.5 dan panjang 12 cm.[1,3]
Pemasangan Akses Intravena
Akses intravena diperlukan pada seluruh pasien. Jika diperlukan, 2 buah akses intravena perifer dapat dipasang.[1-3]
Monitoring
Pemasangan monitor dilakukan untuk pemantauan tanda vital pasien, terutama tekanan darah, saturasi oksigen, dan jantung. Jika tersedia, perlu dilakuakn pemantauan karbon dioksida dengan menggunakan kapnografi/monitor end-tidal carbon dioxide (EtCO2).[1-3]
Peralatan
Peralatan untuk intubasi endotrakeal yang rutin digunakan antara lain adalah:
- Monitor: Kardiorespiratori, oksimeter, tekanan darah
- Akses intravena, kateter penghisap / suction, selang ETT dalam beberapa ukuran
- Alat saluran napas, berdasarkan preferensi dokter dan ketersediaan alat: Bag valve mask, introducer/stilet/bougie, oropharyngeal tube, nasopharyngeal tube, supraglotic airway device, laryngeal mask airway, laringoskop dan blade Miller. stilet
- Stetoskop, spuit 10 cc
- Oksigen: sumber, selang, masker, nasal kanul
- Plester
- Obat-obat anestesi misalnya ketamine, propofol, suksinilkolin, rokuronium, atau fentanyl
Metode manajemen jalan napas lain, seperti masker laring (laryngeal mask) atau krikotiroidektomi juga harus siap dilakukan jika intubasi gagal dilakukan. Penggunaan teknologi video laryngoscope sebaiknya digunakan bila tersedia karena akan sangat mempermudah prosedur intubasi.[1,2,7]
Posisi Pasien
Posisi pasien saat intubasi endotrakeal ataupun manipulasi jalan napas lainnya sangat penting dalam menentukan kemudahan serta keberhasilan tindakan yang akan dilakukan. Posisi yang dianjurkan adalah sniffing position pada pasien tanpa penyulit. Bila terdapat kelainan servikal, maka kepala harus diletakkan dalam posisi netral. Apabila pasien memiliki obesitas morbid, posisikan kepala 30o dengan bantal pengganjal. Kepala dapat direposisi hingga glottis mudah terlihat.[1,2]
Prosedural
Prosedur intubasi endotrakeal umumnya dilakukan dengan teknik RSI. Teknik ini dilakukan dengan:
- Preoksigenasi
- Premedikasi
- Proteksi dan posisi
- Intubasi
- Konfirmasi[1-3]
Preoksigenasi
Preoksigenasi merupakan proses penting yang harus dilakukan. Berikan pasien 100% oksigen via masker nonrebreather selama 3-5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan nitrogen (denitrogenisasi) dan memberikan cadangan oksigen, sehingga dapat memperpanjang durasi apnea aman / safe apnea. Proses ini sebaiknya dilakukan tanpa ventilasi tekanan positif. Ventilasi dengan bag-valve-mask juga sebaiknya dihindari dan hanya dilakukan apabila saturasi oksigen < 90%.[1-3,8]
Medikasi
Medikasi untuk intubasi terbagi menjadi 3, premedikasi, induksi, dan agen paralitik.
Premedikasi:
Premedikasi tidak umum dilakukan. Jika diperlukan, obat premedikasi yang dapat diberikan adalah lidocaine (1.5 mg/kgBB/IV), atau atropine.
Induksi:
Jika diberikan premedikasi, induksi dilakukan setelah pemberian obat-obat premedikasi. Obat yang umum diberikan adalah fentanyl, ketamine, propofol, etomidate, midazolam, dan thiopental.
Agen Paralitik:
Agen paralitik terbagi menjadi agen depolarisasi dan nondepolarisasi. Agen depolarisasi satu-satunya adalah succinylcholine. Obat ini bisa meningkatkan kadar kalium darah sehingga sebaiknya tidak digunakan pada kondisi dengan risiko tinggi hiperkalemia, yaitu:
Luka bakar pada area yang luas atau lebih dari 7 hari
- Crush injury
- Cedera tulang belakang atau cedera saraf lainnya
- Nekrosis otot ekstensif
- Miopati
- Hiperkalemia yang sudah terjadi sebelum intubasi
Pada kondisi di mana succinylcholine tidak dapat digunakan, dapat digunakan agen paralitik nondepolarisasi, seperti rokuronium, veruconium, mivacurium, atau pancuronium.[2,3]
Proteksi dan Posisi
Jalan napas pasien harus diproteksi dari aspirasi. Teknik penekanan krikoid atau manuver Sellick umumnya dilakukan, namun demikian teknik ini sudah tidak dianjurkan karena dinilai tidak efektif dalam mengurangi aspirasi.
Pasien diposisikan dalam posisi sniffing dengan cara elevasi kepala sekitar 10-15o. Pada intubasi yang tidak dilakukan di ruang operasi, dokter harus memastikan posisi pasien dan dirinya sendiri optimal untuk melakukan intubasi, misalnya dengan menggeser posisi pasien ke pinggir ranjang.[1,2,4,9]
Intubasi
Setelah dilakukan preoksigenasi dan premedikasi, pasien pada umumnya akan mengalami apnea. Durasi waktu saat pasien mengalami apnea hingga teroksigenasi melalui pemasangan intubasi merupakan waktu yang sangat krusial. Apabila terjadi kesalahan, pasien dapat mengalami desaturase yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Oleh karenanya, proses oksigenasi apneik dapat dilakukan dengan cara memasang nasal kanul aliran tinggi sepanjang intubasi dilakukan dengan oksigen 15 L/menit. [8,10]
Intubasi endotrakeal dilakukan dalam beberapa langkah, yaitu:
- Melakukan laringoskopi dengan Laringoskop dan Blade Miller untuk visualisasi bukaan glottis. Laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Pasien dalam posisi
- Blade Miller dimasukkan dari sisi kanan rongga orofaring, lidah digeser ke arah kiri atas faring dengan laringoskop. Hindari kontak dengan gigi. Ujung blade umumnya akan masuk dalam valekula
- Manipulasi eksternal dengan manuver BURP (backward, upward, rightward, pressure) dapat dilakukan untuk membantu visualisasi glottis bila sulit terlihat
- Ambil tuba endotrakeal (dapat menggunakan introducer/stylet jika tersedia) dengan tangan kanan dan masukkan ke dalam glottis dengan menyusuri blade laringoskop hingga batas panjang tuba yang direkomendasikan. Pastikan visualisasi tuba memasuki korda vokalis
- Keluarkan stylet
- Inflasi balon tuba endotrakeal dengan udara seminimal mungkin
- Hubungkan tuba endotrakeal dengan bag-valve-mask ataupun ventilator
Lakukan konfirmasi posisi intubasi setelah selang endotrakeal berhasil dimasukkan.[1-3]
Konfirmasi
Konfirmasi posisi intubasi dilakukan dengan empat metode: visualisasi, kapnografi/end-tidal carbon dioxide (EtCO2), auskultasi, atau rontgen toraks. Auskultasi dilakukan pada toraks dan epigastrium. Palpasi fossa jugularis sternalis juga dapat dilakukan untuk konfirmasi lokasi tuba. Tanda-tanda gagal intubasi antara lain adalah:
- Suara napas unilateral
- Hipoksia dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi
- Tuba endotrakeal tidak teraba
- Ekspansi dada tidak simetris
Apabila terdapat gagal intubasi berupa intubasi esofagus, maka intubasi harus diulang. Pada intubasi bronkial, tuba endotrakeal dapat direposisi dengan menarik beberapa centimeter sampai posisi dipastikan benar.[1-3]
Follow-Up
Follow-up atau manajemen pasca intubasi yang harus dilakukan pasca intubasi endotrakeal antara lain adalah:
- Fiksasi tuba endotrakeal
- Ventilasi mekanik
- Pemantauan fungsi jantung dan paru
- Pemantauan tekanan darah. Apabila terdapat hipotensi, dapat diberikan bolus kristaloid intravena atau vasopressor
Persiapan untuk melakukan ekstubasi juga perlu dilakukan.[1,2]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja