Teknik Anger Management Therapy
Teknik anger management therapy berfokus pada dua hal, yaitu teknik untuk mengenali dan memantau perilaku marah yang sudah menjadi kebiasaan maladaptif, serta mengembangkan strategi untuk menghentikan kemarahan segera dan mencegah timbulnya kemarahan. Strategi yang digunakan beragam, mulai dari pengenalan pencetus, kontrol impuls, timeout, hingga tindakan pencegahan.[1-4]
Persiapan Pasien
Tidak ada persiapan spesifik untuk dilakukan anger management therapy. Pada pasien yang memiliki kondisi gangguan medis yang mendasari, seperti schizophrenia, gangguan bipolar, atau cedera otak traumatik, akan lebih baik untuk mengatasi kondisi dasar terlebih dulu.
Prinsip Dasar Anger Management Therapy
Prinsip dasar yang perlu diperhatikan untuk anger management therapy adalah mengetahui kemarahan adalah kebiasaan, memutus kebiasaan marah, mengembangkan strategi yang efektif, serta mengenali tanda kemarahan.[1-4]
Kemarahan Merupakan Kebiasaan
Kemarahan adalah kebiasaan. Kemarahan bisa menjadi respon rutin, familiar, dan bisa diprediksi terhadap berbagai stressor atau stimulus. Ketika kemarahan diekspresikan secara frekuen dan agresif, maka hal ini akan menjadi kebiasaan maladaptif.
Bila kemarahan sudah menjadi kebiasaan, maka hal ini akan menjadi perilaku otomatis yang berulang, tanpa dipikirkan terlebih dahulu konsekuensi negatif yang akan ditimbulkan.[1-4]
Memutus Kebiasaan Marah
Pola kebiasaan marah bisa diputus dengan cara mengenali kejadian atau situasi yang memicu timbulnya kemarahan, serta konsekuensi negatif yang ditimbulkan.[1-4]
Pengembangan Strategi Efektif
Setelah bisa mengenali hal ini, pasien diajari mengembangkan strategi yang efektif untuk menangani kemarahan. Setelah pasien bisa mengembangkan dan melakukan strategi tersebut, maka selanjutnya dilakukan restrukturisasi kognitif pasien.[1-4]
Tanda Kemarahan
Ada tanda-tanda yang bisa dikenali dalam terjadinya kemarahan sebagai pola kebiasaan. Mengenali hal ini akan sangat membantu dalam anger management therapy. Tanda tersebut adalah:
- Penanda fisik, yaitu respon yang ditimbulkan tubuh. Misalnya peningkatan denyut nadi, rasa tertekan di dada, merasa wajah panas atau flushes
- Penanda perilaku, yaitu apa yang dilakukan pasien, misalnya mengepalkan tangan, bersuara keras, atau melotot
- Penanda emosional, yaitu perasaan yang muncul bersama dengan kemarahan, seperti cemburu, takut, merasa terluka, atau diremehkan
- Penanda kognitif, yaitu apa yang dipikirkan pasien terhadap kejadian pemicu[1-4]
Prosedural
Isi sesi anger management therapy, secara umum terdiri dari tahapan berikut:
- Mengenali kejadian, stimulus, stressor pemicu, dan penanda yang dirasakan, serta melakukan pemantauan perilaku kemarahan selama 1 minggu
- Merencanakan strategi untuk mengendalikan kemarahan. Strategi ini terdiri dari strategi untuk segera menangani kemarahan dan strategi untuk mencegah timbulnya kemarahan
- Restrukturisasi kognitif untuk mengubah pikiran-pikiran irasional tentang stimulus atau kejadian pemicu kemarahan, serta menghentikan pikiran tersebut[1-4]
Mengenali Kemarahan Sebagai Kebiasaan Maladaptif
Pada awal sesi, terapi difokuskan untuk mengenali bahwa kemarahan sudah menjadi kebiasaan maladaptif, serta mengenali situasi atau kejadian yang memicu atau mengeskalasi kemarahan. Disini pasien diminta tidak hanya mengenali pemicu kemarahan saat ini, tapi juga diminta mengingat kembali kemarahan di masa lalu pasien.[1-4]
Mengenali Penanda Kemarahan dan Memantau Kemarahan
Selanjutnya, pasien diajak mengenali penanda-penanda kemarahan sebagai respon dari stimulus pemicu. Tahap berikutnya pasien diminta untuk memantau respon kemarahannya setiap hari selama 1 minggu.
Cara yang paling sederhana adalah dengan menggunakan anger meter. Dengan metode ini, klien diminta menilai tingkat kemarahan setiap hari dengan skor 0 sampai 10, dimana 0 adalah kondisi tidak ada kemarahan dan 10 adalah kondisi dimana terjadi kemarahan yang eksplosif dan kehilangan kendali hingga menimbulkan konsekuensi negatif.
Pasien diminta mencatat kejadian pemicu, penanda yang dirasakan, dan skor anger meter.[1-4]
Perencanaan Strategi Untuk Mengendalikan Kemarahan
Tahap selanjutnya adalah merencanakan strategi untuk mengendalikan kemarahan. Dua strategi harus dikembangkan, yaitu strategi untuk segera mengatasi kemarahan dan strategi untuk mencegah timbulnya kemarahan.
Strategi Segera Mengatasi Kemarahan:
Strategi yang bisa dilakukan untuk segera mengatasi kemarahan adalah timeout dan dukungan sosial. Timeout dilakukan dengan cara mengambil napas dalam beberapa kali begitu mengenali adanya situasi pemicu dan penanda kemarahan, kemudian berpikir mengenai hal tersebut, bukannya bereaksi terhadap hal tersebut. Timeout juga bisa dilakukan dengan meninggalkan atau menghentikan situasi yang memicu kemarahan.
Komponen penting lain untuk mencegah kemarahan adalah dukungan sosial. Hal ini dilakukan dengan membentuk jaringan orang-orang yang mengerti dan mendukung upaya pasien untuk mengendalikan kemarahan, sebaiknya didapatkan dari anggota keluarga dan orang-orang yang bisa dipercaya.[1-4,8,9]
Strategi Pencegahan:
Strategi pencegahan yang bisa dilakukan mencakup olahraga teratur, relaksasi rutin, dan mengubah pikiran irasional atau restrukturisasi kognitif yang akan dibahas di poin berikutnya.[1-5]
Restrukturisasi Kognitif
Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinan irasional terkait kejadian atau stimulus pemicu kemarahan. Ada 2 model yang bisa digunakan, yaitu model A-B-C-D dan thought stopping.
Model A B C D:
Model A B C D terdiri dari komponen:
- A (activating event) yaitu mengenali kejadian atau stimulus pemicu
- B (beliefs about the event), yaitu keyakinan pasien mengenai kejadian tersebut. Karena kemarahan umumnya bukan dipicu oleh kejadiannya, tapi oleh apa yang diyakini oleh pasien tentang kejadian tersebut
- C (emotional consequences), yaitu perasaan yang dialami pasien karena keyakinan mengenai kejadian tersebut dan interpretasinya
- D (dispute), bila pasien bisa mengidentifikasi A B dan C, maka berikutnya pasien dibantu mengidentifikasi apakah keyakinannya maladaptif dan membantahnya dengan pikiran atau keyakinan lain yang lebih realistis atau rasional
Thought Stopping:
Thought stopping adalah metode yang lebih sederhana dibandingkan model A B C D. Model ini mengajarkan pasien untuk memerintahkan dirinya sendiri untuk menghentikan pikiran-pikiran yang menyebabkan kemarahannya, misalnya dengan kata-kata:
- “Aku harus berhenti memikirkan hal ini.”
- “Pikiran-pikiran ini hanya akan membawa masalah, jadi sebaiknya dihentikan.”
- “Jangan tergoda untuk marah karena situasi ini.”
Pilihan tidak hanya terbatas pada kata-kata tersebut, melainkan bisa digantikan dengan kata-kata lain yang membantu pasien mengendalikan pikirannya. Kata-kata ini diulang-ulang sampai pasien bisa mengendalikan pikiran dan mencegah eskalasi kemarahannya.[1-4,8,9]
Follow up
Pada sesi follow up, biasanya pasien akan diajarkan resolusi konflik dan perilaku asertif. Perilaku asertif bisa mengurangi konflik dengan orang lain dan menurunkan kemungkinan terjadinya kejadian atau stimulus pemicu kemarahan.[1,6]
Resolusi konflik diawali dengan mengidentifikasi masalah dan perasaan yang timbul akibat masalah, mengidentifikasi dampak spesifik yang ditimbulkan, kemudian memutuskan apakah akan mengatasi masalah, menghindari, atau membiarkannya.
Pada tahap ini, pasien memutuskan apakah masalah ini cukup besar sehingga harus diselesaikan, atau hanya masalah kecil yang bisa diabaikan. Langkah berikutnya adalah merencanakan waktu untuk menyelesaikan masalah, kemudian menggambarkan dan mengekspresikan perasaan sesudahnya.[1,7]