Risiko transmisi, reinfeksi, dan morbiditas COVID-19 varian Omicron masih dievaluasi lebih lanjut oleh berbagai studi. Data preliminary yang ada saat ini melaporkan bahwa COVID-19 varian Omicron memiliki morbiditas yang lebih rendah daripada varian Delta. Akan tetapi, varian Omicron memiliki tingkat transmisi dan reinfeksi yang lebih tinggi.
Pada 26 November 2021, World Health Organization (WHO) menetapkan SARS-CoV-2 varian B.1.1.529 (Omicron) sebagai variant of concern. Varian ini pertama kali dideteksi di Afrika Selatan dan dilaporkan memiliki banyak mutasi, termasuk 26–32 mutasi di protein spike yang berhubungan dengan potensi immune escape dan risiko transmisi lebih tinggi.[1,2]
Saat ini studi yang telah dipublikasi tentang varian Omicron masih terbatas. Artikel ini akan mengulas risiko transmisi, proteksi yang diberikan vaksin dan infeksi sebelumnya, serta morbiditas varian Omicron berdasarkan data preliminary yang ada. Akan tetapi, karena data-data ini masih berasal dari studi preprint yang belum selesai menjalani peer-review, interpretasi data-data ini perlu dilakukan dengan hati-hati.[1,3]
Risiko Transmisi COVID-19 Varian Omicron
Per 6 Januari 2022, Omicron telah teridentifikasi di 149 negara. Varian ini menunjukkan pertambahan kasus yang lebih signifikan daripada varian Delta. Hal ini dihubungkan dengan beberapa faktor, seperti adanya immune evasion dan potensi peningkatan transmisibilitas intrinsik. Namun, data lebih banyak masih dibutuhkan untuk memastikan hal tersebut.[1]
Secara genetik, varian Omicron memiliki beberapa delesi dan lebih dari 30 mutasi. Beberapa di antaranya adalah 69–70del, T95I, G142D/143–145del, K417N, T478K, N501Y, N655Y, N679K, dan P681H, yang sama dengan varian Alpha, Beta, Gamma, dan Delta. Mutasi-mutasi tersebut diketahui menyebabkan peningkatan transmisibilitas, afinitas viral binding, dan antibody escape.[4]
Bukti epidemiologi awal menunjukkan bahwa jumlah kasus akibat varian Omicron meningkat di Afrika Selatan. Studi di Inggris dan Denmark menunjukkan bahwa Omicron lebih berisiko menulari kontak erat dalam satu rumah tangga dibandingkan Delta. Sebuah studi non-peer reviewed dari Afrika Selatan memperkirakan bahwa varian Omicron 36,5% lebih menular daripada varian Delta.[1,4]
Studi non-peer reviewed lain menunjukkan bahwa varian Omicron memiliki tingkat immune evasion 25–50% dan hal tersebut dihubungkan dengan peningkatan kasus di Afrika Selatan. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa Omicron lebih cepat menginfeksi saluran pernapasan dibandingkan Delta, sehingga meningkatkan risiko transmisi, terlepas dari faktor immune evasion.
Data dari Korea menunjukkan bahwa serial interval (durasi interval antara kasus primer dan kasus sekunder) Omicron adalah 2,22 hari. Durasi ini lebih cepat daripada varian Delta yang berdurasi 3,26 hari.[1]
Tingkat infeksi asimtomatik yang lebih tinggi diduga berkontribusi terhadap transmisi Omicron. Suatu studi di Afrika Selatan melaporkan bahwa proporsi infeksi asimtomatik lebih tinggi di periode dominasi Omicron daripada di periode dominasi Beta dan Delta (16% vs 2,6%).[1]
Morbiditas Varian Omicron
Bukti preliminary menunjukkan bahwa lebih banyak pasien COVID-19 varian Omicron mengalami gejala ringan bila dibandingkan varian Delta. Namun, saat ini masih terlalu dini untuk memastikan data tersebut.[1,5]
Studi non peer-reviewed oleh Jassat et al di Afrika Selatan menunjukkan bahwa tingkat rawat inap akibat COVID-19 di gelombang Omicron (4,9%) lebih rendah daripada gelombang-gelombang sebelumnya (Beta 18,9% dan Delta 13,7%) meskipun jumlah kasus lebih tinggi pada gelombang Omicron. Angka pasien yang mengalami gejala berat saat gelombang Omicron (28,8%) juga lebih rendah daripada gelombang sebelumnya (Beta 60,1% dan Delta 66,8%).[5,6]
Namun, studi tersebut juga menyebutkan bahwa 73% populasi orang dewasa di area tersebut sudah pernah terinfeksi COVID-19 sebelum dominasi Omicron. Angka kasus yang ada juga sudah termasuk pasien-pasien dengan hasil positif yang ditemukan secara insidental saat skrining. Hal-hal tersebut bisa menimbulkan bias, sehingga morbiditas atau disease severity Omicron sendiri belum dapat dipastikan.[6]
Suatu laporan dari UK Health Security Agency (UKHSA) memperkirakan bahwa individu yang terinfeksi Omicron memiliki risiko rawat inap lebih rendah sebesar 50% bila dibandingkan Delta. Studi oleh Sheikh A et al di Skotlandia dan laporan dari Kanada juga menunjukkan penurunan risiko rawat inap pada infeksi Omicron.[5,7,8]
Studi di Universitas Hong Kong menemukan bahwa varian Omicron dapat bereplikasi hingga 70 kali lebih cepat di bronkus dibandingkan varian Delta dan wild type, tetapi bereplikasi jauh lebih lambat di paru-paru. Lambatnya replikasi Omicron ini juga disebut dalam studi pre-print di Inggris dan diduga berkontribusi terhadap ringannya gejala.[1]
Namun, kebanyakan studi tidak memperhitungkan faktor waning immunity dan angka reinfeksi, sehingga dapat terjadi underestimation morbiditas Omicron. Penting juga untuk mengingat bahwa imunitas sebelumnya dari infeksi alami dan/atau vaksinasi dapat berkontribusi terhadap ringannya gejala pada infeksi setelahnya.
Selain itu, perlu diingat juga bahwa pada studi yang berasal dari Eropa, median usia pasien dengan kasus Omicron di Eropa pada awal Januari 2022 adalah 30, sedangkan median usia keseluruhan di Eropa adalah 43. Oleh karena itu, tidak ada banyak data morbiditas Omicron pada golongan lanjut usia dan individu dengan komorbiditas.[5]
Risiko Reinfeksi Varian Omicron dan Pengaruh Vaksinasi
Studi non-peer reviewed oleh Pulliam et al di Afrika Selatan menemukan 35.670 suspek reinfeksi dari 2.796.982 individu dengan infeksi COVID-19 yang terkonfirmasi oleh hasil laboratorium dalam 90 hari sebelum 27 November 2021. Studi tersebut menyimpulkan varian Omicron memiliki kemampuan menghindari imunitas dari infeksi sebelumnya.
Namun, reinfeksi hanya ditemukan pada 1,2% orang, yang mungkin merupakan suatu overestimation karena peneliti hanya menghitung orang yang terkonfirmasi COVID-19 dan tidak menghitung orang dengan gejala ringan atau orang tanpa gejala.[3]
Laporan di Inggris menghitung perkiraan efektivitas vaksin berdasarkan 204.036 kasus Omicron dan 169.888 kasus Delta. Pada individu yang mendapat dua dosis vaksin COVID-19 Pfizer, efektivitas vaksin terhadap varian Omicron adalah 63% pada 2–4 minggu setelah dosis kedua dan menurun menjadi 10% setelah 25 minggu. Angka tersebut lebih rendah daripada efektivitas vaksin terhadap Delta (64%) pada periode yang sama.
Pada individu yang mendapat dua dosis vaksin COVID-19 AstraZeneca, tidak ada efek protektif vaksinasi terhadap infeksi Omicron simtomatik sekitar 20 minggu setelah dosis kedua. Namun, luaran yang penting secara klinis (infeksi serius yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit dan kematian akibat reinfeksi) tidak dilaporkan oleh studi ini. Studi lebih lanjut masih diperlukan.[1,7]
Laporan tersebut juga menemukan bahwa orang yang telah divaksin memiliki risiko rawat inap yang lebih rendah daripada orang yang belum divaksin, yakni penurunan sebesar 65% pada individu yang menerima dua dosis vaksin dan 81% pada individu yang menerima tiga dosis vaksin. Namun, alasan rawat inap tidak dicatat dalam studi ini, sehingga tingkat infeksi yang serius tidak jelas. Studi Sheikh et al di Skotlandia juga menemukan penurunan risiko infeksi Omicron simtomatik pada individu yang sudah menerima tiga dosis vaksin.[5,7,8]
Menurut WHO, studi terkait efektivitas vaksin harus diinterpretasikan secara hati-hati, khususnya studi-studi awal mengenai Omicron karena tingginya kemungkinan bias observasi. Efektivitas vaksin secara klinis membutuhkan studi epidemiologi dan surveilans yang kontinu, sehingga WHO mendorong negara-negara dengan kasus Omicron positif untuk mengadakan studi terkait efektivitas vaksin, khususnya terhadap gejala berat dan kematian.[1]
Kesimpulan
Data-data yang ada tentang COVID-19 varian Omicron saat ini masih berasal dari studi preliminary yang belum selesai menjalani peer-review. Oleh karena itu, interpretasi data-data ini perlu dilakukan dengan hati-hati.
COVID-19 varian Omicron dilaporkan memiliki morbiditas atau disease severity yang lebih rendah daripada varian Delta. Namun, varian Omicron memiliki tingkat transmisi dan reinfeksi yang lebih tinggi. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk memeriksa luaran yang penting secara klinis, seperti proteksi dari vaksin atau proteksi dari infeksi COVID-19 sebelumnya terhadap COVID-19 berat yang membutuhkan ICU atau yang menimbulkan kematian.