Triple Vs Dual Inhaler Untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronik Derajat Sedang-Berat - Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Triple versus dual inhaler therapy in moderate-to-severe COPD: A systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials

Zayed Y, Barbarawi M, Kheiri B, et al. Triple versus dual inhaler therapy in moderate-to-severe COPD: A systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Clin Respir J, 2019. doi: 10.1111/crj.13026. PMID: 30947394.

Abstrak

Latar Belakang: Terapi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) semakin berevolusi, terutama dengan diperkenalkannya terapi triple inhaler.

Tujuan: Melakukan meta-analisis guna mengevaluasi aspek keamanan dan efikasi dari terapi triple inhaler yang terdiri dari kombinasi glukokortikoid inhalasi (ICS), antagonis muskarinik kerja panjang (LAMA), dan beta2 agonis kerja panjang (LABA) dibandingkan dengan terapi dual inhaler ( ICS-LABA atau LAMA-LABA).

Metode: Tim peneliti melakukan pencarian basis data elektronik untuk uji klinis acak terkontrol (RCT) yang membandingkan antara triple vs dual inhaler. Analisis data dikotomi menggunakan pooled rate-ratio (RR) atau odds ratio (OR), sedangkan data kontinu dianalisis dengan menghitung weighted mean difference (MD) bersama-sama dengan 95% interval kepercayaan (CI).

Hasil: Studi ini mengikutsertakan data dari 12 RCT dengan total 19.322 pasien, rerata umur 65±8,2 tahun dan 62% partisipan adalah laki-laki. Analisis gabungan menunjukkan ada penurunan signifikan pada eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) derajat sedang-berat dengan penggunaan terapi triple inhaler (RR 0,75; 95%CI 0,69-0,83; p< 0,01). Bukan hanya itu saja, terapi triple mampu meningkatkan FEV1 secara signifikan, mengurangi rerata skor St.George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ), dan lebih banyak pasien mengalami penurunan ≥ 4 poin skor SGRQ. Triple therapy berkaitan dengan peningkatan risiko pneumonia dibandingkan LABA/LAMA, tetapi tidak ada perbedaan bermakna pada kejadian efek samping dengan dual inhaler.

Kesimpulan: Di antara pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) derajat sedang-berat, terapi triple inhaler berkaitan dengan penurunan eksaserbasi, peningkatan fungsi paru, maupun perbaikan kualitas hidup pasien jika dibandingkan dengan terapi dual inhaler. Namun, ditemukan peningkatan risiko pneumonia pada terapi triple inhaler.

Triple Vs Dual Inhaler Untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronik Derajat Sedang-Berat-min

Ulasan Alomedika

Terlepas dari kemajuan di bidang medis, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) masih menjadi masalah kesehatan bermakna di seluruh dunia. Dalam manajemen PPOK, tujuan utama ialah untuk meningkatkan fungsi paru, kualitas hidup pasien, sekaligus mengurangi frekuensi eksaserbasi penyakit.

Menurut pedoman klinis saat ini, terapi lini pertama PPOK masih menerapkan terapi dual inhaler. Meski demikian, hasil dari uji klinis dan meta analisis mengenai efikasi terapi dual inhaler masih inkonsisten. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti melakukan studi ini guna mengevaluasi efikasi dan keamanan dari terapi triple inhaler yang dibandingkan dengan dual inhaler pada pasien PPOK eksaserbasi sering atau terkontrol buruk (poorly controlled).

Ulasan Metode Penelitian

Peneliti melakukan meta analisis data uji klinis menurut pedoman the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses Protocols (PRISMA-P) 2015. Pencarian data dilakukan pada basis data PubMed, Embase, dan Cochrane Library hingga publikasi di bulan desember 2018. Tidak diterapkan batasan bahasa dalam pencarian tersebut.

Kriteria inklusi mencakup data uji klinis yang membandingkan terapi triple inhaler (ICS/LABA/LAMA) dengan dual inhaler (ICS/LABA atau LABA/LAMA) pada pasien PPOK derajat sedang-berat. Tim peneliti menilai kualitas studi dengan Cochrane Collaboration’s tool sekaligus mengevaluasi risiko biasnya.

Luaran primer studi ini ialah incidence rate ratio (RR) eksaserbasi PPOK derajat sedang-berat, yang didefinisikan sebagai eksaserbasi yang membutuhkan terapi selain dari inhaler, antibiotik sistemik kortikosteroid, atau eksaserbasi yang membutuhkan rawat inap atau kematian. Luaran sekunder meliputi perbedaan forced expiratory volume measured at 1 second (FEV1), St.George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ), maupun proporsi kualitas hidup pasien (didefinisikan sebagai penurunan 4 unit atau lebih pada skor SGRQ dibanding skor awal).

Luaran keamanan yang dievaluasi meliputi efek samping serius, efek samping yang menyebabkan penghentian pengobatan, pneumonia, maupun kejadian kardiovaskuler. Semua luaran tersebut dibagi ke dalam 2 subgrup; yakni ICS/LABA/LAMA dibandingkan dengan ICS/LABA, serta ICS/LABA/LAMA dibandingkan dengan LABA/LAMA.

Ulasan Hasil Penelitian

Pencarian komprehensif basis data elektronik menghasilkan 1.139 studi dan 39 studi melalui pencarian manual, namun hanya 12 data uji klinis dengan total 19.322 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. 8.492 pasien ada pada kelompok triple inhaler dan 10.830 pasien pada kelompok dual inhaler. Rerata usia 65±8,2 tahun dan 62,8% adalah laki-laki.

Analisis gabungan untuk luaran primer menunjukkan bahwa terjadi penurunan eksaserbasi PPOK derajat sedang-berat pada grup triple inhaler jika dibandingkan dengan grup dual inhaler. Hasil serupa ditemukan pula pada analisis subgrup antara triple inhaler dibandingkan dengan ICS/LABA (RR 0,82), dan triple inhaler dibandingkan dengan LABA/LAMA (RR 0,71). Analisis metaregresi tidak menemukan adanya modifier effect kovariat antar studi yang mencakup faktor usia, jenis kelamin, status perokok, durasi terapi, ataupun baseline FEV1 terhadap luaran primer.

Untuk luaran sekunder, terapi triple inhaler mampu meningkatkan FEV1 secara signifikan, mengurangi rerata skor St.George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ), serta meningkatkan kualitas hidup pasien dengan reduksi ≥ 4 poin skor SGRQ (OR 1,27).

Pada analisis keamanan, tidak ditemukan perbedaan bermakna pada kejadian efek samping apapun, efek samping serius, efek samping yang menimbulkan diskontinuasi terapi, ataupun untuk efek samping kardiovaskular. Namun, ditemukan peningkatan risiko pneumonia yang signifikan pada terapi triple inhaler jika dibandingkan dengan terapi dual LABA/LAMA (OR 1,25).

Kelebihan Penelitian

Kelebihan penelitian ini terletak pada penggunaan basis data yang valid. Studi yang diikutkan dalam analisis juga hanya uji klinis saja, terlepas dari bahasa yang digunakan, serta meta analisis dilakukan sesuai pedoman PRISMA.

Limitasi Penelitian

Dalam meta analisis ini, ditemukan adanya heterogenitas moderat antar studi yang diikutkan dalam evaluasi. Kriteria inklusi dari masing-masing studi yang dianalisis juga memiliki diskrepansi, misalnya terkait penilaian keparahan eksaserbasi PPOK

Selain itu, uji klinis yang dianalisis belum membandingkan secara langsung (head-to-head comparison) regimen obat yang dibandingkan. Oleh karena itu, hasil dari studi ini baru mencerminkan perbandingan secara tidak langsung.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Terlepas dari limitasinya, hasil studi meta analisis ini telah menyajikan data awal efikasi maupun keamanan dari penerapan metode triple inhaler. Regimen yang digunakan untuk terapi triple inhaler telah tersedia di Indonesia sehingga sangat bisa untuk diterapkan.

Meski demikian, perlu diingat bahwa meskipun meta analisis ini menunjukkan efikasi terapi triple inhaler dibandingkan dual inhaler, didapatkan pula adanya peningkatan risiko pneumonia. Selain itu, masih perlu dilakukan studi lanjutan terkait efeknya terhadap beban biaya medis akibat penambahan satu jenis obat pada regimen triple inhaler dibandingkan dengan penurunan biaya akibat keperluan rawat inap dan eksaserbasi.

Referensi