Tumor marker atau penanda tumor merupakan parameter biokimia yang berhubungan dengan keganasan. Tumor marker dapat diproduksi oleh sel tumor ataupun oleh tubuh sebagai respons terhadap sel tumor. Secara klinis, tumor marker umumnya dapat diukur dengan pemeriksaan laboratorium darah.[1]
Tumor marker dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi kanker, menjadi indikator prognostik untuk progresivitas kanker, serta menilai kanker yang relaps. Meski demikian, banyak klinisi menggunakan tumor marker sebagai alat skrining dan diagnosis kanker. Selain itu, bahkan terdapat paket medical check up yang memasukkan pemeriksaan tumor marker tanpa stratifikasi risiko pasien, yang kemudian bisa menyebabkan hasil positif palsu yang tinggi.
Hal ini kurang tepat karena berbagai studi telah menunjukkan bahwa tumor marker memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Selain itu, diagnosis kanker umumnya hanya bisa ditegakkan dengan biopsi.[1,2]
CEA untuk Kanker Kolorektal
Carcinoembryonic antigen (CEA) secara luas digunakan dalam skrining dan diagnosis kanker kolorektal. Padahal, kadar CEA juga bisa meningkat akibat kondisi lain, seperti kanker payudara, kanker ovarium, dan kanker paru. CEA juga memiliki sensitivitas yang rendah untuk kanker kolorektal, yakni 37% untuk kanker kolorektal primer dan 54% untuk kanker kolorektal rekuren.
Dalam sebuah tinjauan sistematik terhadap 42 studi yang melibatkan total 9.834 pengukuran CEA untuk deteksi kanker kolorektal rekuren, dilaporkan bahwa sensitivitas CEA sangat bervariasi dengan rentang 17,4–100%. Spesifisitas dilaporkan 66,1–98,4%, positive predictive value 45,8–95,2%, sedangkan negative predictive value 74,5–100 %. Angka tersebut tidak menunjukkan reliabilitas yang meyakinkan. Selain itu, manfaat pemeriksaan CEA dalam menurunkan mortalitas juga belum terbukti.[3-7]
CA 15-3 untuk Kanker Payudara
CA 15-3 merupakan bentuk larut dari protein MUC-1. Gen MUC-1 telah dilaporkan mengalami ekspresi berlebihan pada pasien dengan kanker payudara, sehingga pengukuran CA 15-3 dianggap akan bermanfaat dalam deteksi kanker payudara. Meski demikian, kadar CA 15-3 juga ditemukan meningkat pada kasus keganasan lain, seperti kanker pankreas, kanker paru, kanker kolon, dan kanker hepar. CA 15-3 juga telah ditemukan meningkat pada penyakit payudara dan hepar jinak.[8]
Belum ada pedoman klinis yang tersedia saat ini yang merekomendasikan penggunaan CA 15-3 untuk skrining, diagnosis, ataupun penentuan derajat kanker payudara. Selain itu, belum ada bukti bahwa pengukuran CA 15-3 mempengaruhi luaran klinis penting seperti kesintasan, kualitas hidup, terapi, maupun cost-effectiveness.[9-11]
CA-125 untuk Kanker Ovarium
Pada kasus kanker ovarium, kadar tumor marker CA-125 dilaporkan meningkat. Meski demikian, penanda tumor ini memiliki berbagai keterbatasan. Peningkatan kadar CA-125 telah dilaporkan memiliki sensitivitas yang rendah, terutama pada stadium dini dari kanker ovarium. Selain itu, peningkatan kadar CA-125 juga bisa ditemukan pada menstruasi, kehamilan, dan endometriosis.[12,13]
Studi yang tersedia menunjukkan ada risiko cukup tinggi untuk hasil skrining false positive (spesifisitas rendah berkisar 69–78%). Sensitivitas pemeriksaan CA-125 juga rendah pada kanker ovarium tahap awal, yakni berkisar 23–50% pada stadium 1.[22]
Sebuah studi melibatkan kohort dengan total 50.780 pasien yang menjalani pemeriksaan CA-125 untuk kanker ovarium. Dengan nilai ambang 35 U/ml, sensitivitas pemeriksaan ini dilaporkan sebesar 77%, spesifisitas 93,8%, positive predictive value (PPV) 10%, dan negative predictive value (NPV) 99%.
Meski demikian, perlu dicatat pula bahwa studi ini juga menemukan insidensi yang tinggi kanker non-ovarium pada pasien dengan peningkatan kadar CA-125, terutama yang berusia di atas 50 tahun. Studi ini juga tidak mengevaluasi lebih lanjut bagaimana akurasi diagnostik dari CA-125 berdasarkan stadium kanker ovarium. Selain itu, manfaat pemeriksaan CA-125 terhadap kesintasan dan mortalitas pasien kanker ovarium juga belum terbukti.[14]
Tabel 1. Contoh Hasil Skrining Kanker Ovarium pada 1000 orang
Penyakit (+) | Penyakit (-) | |
Hasil tes (+) | True positive: 25 orang | False positive: 225 orang |
Hasil tes (-) | False negative: 8 orang | True negative: 742 orang |
Tebal di atas merupakan contoh yang akan didapatkan jika CA-125 digunakan sebagai alat skrining pada 1000 orang. Bisa dilihat bahwa kebanyakan orang yang menjalani pemeriksaan CA-125 sebagai skrining dan dites positif akan mendapatkan hasil positif palsu.
200 orang akan menjalani pemeriksaan lanjutan yang lebih invasif seperti USG, CT Scan, biopsi, atau laparoskopi yang semuanya memiliki risiko komplikasi. Pasien juga menjadi terpapar pada stres yang tidak perlu, biaya keuangan, dan waktu yang dihabiskan untuk menyelidiki lebih lanjut hasil tes positif ini.
PSA untuk Kanker Prostat
Peningkatan kadar prostate specific antigen (PSA) banyak digunakan dalam skrining dan diagnosis kanker prostat. Meski demikian, peningkatan kadar PSA dapat dijumpai pada laki-laki berusia di atas 60 tahun tanpa kelainan prostat. Kadar PSA juga dapat meningkat akibat prostatitis dan benign prostate hyperplasia (BPH).[15]
Menurut sebuah tinjauan sistematik terhadap 5 uji klinis acak terkontrol yang melibatkan total 721.718 pria, skrining dengan PSA tidak mempengaruhi tingkat mortalitas segala sebab. Skrining dengan PSA juga tidak memiliki efek apapun pada tingkat mortalitas terkait prostat.[16,17]
Hasil serupa juga dilaporkan dalam studi yang melibatkan 419.582 laki-laki di Inggris. Dalam studi ini, pemeriksaan PSA tidak mempengaruhi tingkat mortalitas dibandingkan kontrol yang tidak menjalani pemeriksaan.[17]
AFP untuk Kanker Hepatoseluler
Pasien kanker hepatoseluler atau hepatocellular carcinoma sering tidak menunjukkan peningkatan kadar alfa fetoprotein (AFP). Hal ini karena saat ukuran tumor <2,5 cm kadar AFP yang dilepas tidak cukup untuk terdeteksi. AFP meningkat setelah kanker berada pada stadium lanjut dan saat sudah muncul gejala. Kadar AFP juga bisa meningkat pada keadaan non-kanker, seperti hepatitis dan sirosis hepatis.
Dalam sebuah tinjauan sistematik mengenai sensitivitas dan spesifisitas AFP untuk skrining kanker hepatoseluler, nilai ambang batas AFP 400 ng/mL memiliki sensitivitas 32% dan spesifisitas 99%. Sementara itu, nilai ambang AFP 200 ng/mL memiliki sensitivitas 49% dan spesifisitas 98%; dan nilai ambang AFP 20‒100 ng/mL memiliki sensitivitas 61% dan spesifisitas 86%. Meskipun begitu, belum ada bukti bahwa skrining AFP mempengaruhi kesintasan pasien.[18,19]
CA 19-9 untuk Kanker Gastrointestinal
Carbohydrate antigen 19-9 (CA 19-9) adalah kompleks glikoprotein permukaan sel yang paling sering dikaitkan dengan adenokarsinoma duktus pankreas. Meski demikian, CA 19-9 juga dapat meningkat akibat kondisi lain, seperti penyakit traktus bilier, pankreatitis, dan kanker ovarium.[20]
Pada populasi asimptomatik dan simptomatik, tumor marker CA 19-9 telah dilaporkan memiliki performa yang buruk sebagai alat skrining karena nilai PPV yang rendah dan NPV yang tinggi. Dalam sebuah studi terhadap 70.940 individu asimptomatik, kadar CA 19-9 dilaporkan memiliki PPV 0,9% meskipun sensitivitasnya 100% dan spesifisitasnya 98,5%. Hal yang sama juga ditemukan pada pasien simptomatik, dimana PPV CA 19-9 telah dilaporkan antara 0,5-0,9%.[21]
Kesimpulan
Tumor marker tidak cocok digunakan sebagai alat skrining dan diagnosis kanker. Hal ini karena berbagai tumor marker yang telah digunakan secara klinis juga ditemukan meningkat pada berbagai kondisi non-kanker. Tumor marker juga tidak selalu meningkat pada stadium awal dari berbagai jenis kanker. Selain itu, belum ada bukti yang menunjukkan manfaat pengukuran tumor marker terhadap kesintasan dan mortalitas pasien.
Penggunaan tumor marker sebagai alat diagnosis dan skrining akan menghasilkan angka positif palsu yang tinggi yang selanjutnya meningkatkan jumlah pemeriksaan radiologi dan biopsi yang tidak diperlukan pada pasien. Hal ini malah akan memaparkan pasien pada risiko komplikasi yang tidak perlu, seperti nyeri dan perdarahan.