Autonomic dysreflexia adalah suatu sindrom klinis yang bisa terjadi pada pasien cedera medulla spinalis, yang ditandai dengan hipertensi akut dan tidak terkontrol. Kondisi ini merupakan suatu kegawatdaruratan yang harus ditangani dengan segera karena dapat berujung pada edema paru, infark miokard, perdarahan intrakranial, dan kematian.[1-3]
Autonomic dysreflexia terjadi setelah cedera medulla spinalis, terutama pada cedera yang terjadi di level T6 atau di level atasnya. Cedera menyebabkan gangguan refleks saraf simpatis terhadap berbagai stimulus mengganggu (noxious stimuli) yang berasal dari area di bawah level cedera. Contoh noxious stimuli yang paling umum memicu hipertensi akut pada pasien autonomic dysreflexia adalah stimulus dari saluran kemih dan saluran cerna.[1-3]
Mekanisme Terjadinya Autonomic Dysreflexia Setelah Cedera Medulla Spinalis
Setelah cedera medulla spinalis, terjadi peningkatan growth factor saraf. Peningkatan ini akan memicu sprouting intraspinal dari jaras nosiseptif aferen menuju kornu dorsal medulla spinalis di bawah level cedera. Luasnya sprouting berkorelasi dengan tingkat keparahan autonomic dysreflexia yang terjadi.[2,3]
Selain itu, pasien cedera medulla spinalis dapat mengalami plastisitas abnormal dari propriospinal, yang menyebabkan amplifikasi stimulus aferen dari bawah level cedera. Amplifikasi stimulus tersebut menyebabkan noxious stimuli lebih mudah mengaktivasi refleks simpatis, sehingga muncul episode autonomic dysreflexia.[2,3]
Peningkatan sensitivitas adrenergik pada pembuluh darah di bawah level cedera juga berkontribusi terhadap terjadinya autonomic dysreflexia. Peningkatan jumlah reseptor adrenergik pada dinding pembuluh darah dapat memberikan respons yang berlebihan terhadap katekolamin seperti epinefrin dan norepinefrin. Respons vasokontriksi yang berlebihan akan meningkatkan tekanan darah secara signifikan meskipun stimulus hanya bersifat ringan.[2,3]
Pemicu Hipertensi Akut pada Autonomic Dysreflexia
Pemicu hipertensi akut yang paling sering pada kasus autonomic dysreflexia adalah stimulus saluran kemih dan saluran cerna. Menurut laporan, >80% kasus disebabkan oleh kedua hal tersebut. Stimulus saluran kemih dapat berupa distensi vesika urinaria (retensi urine) dan infeksi saluran kemih, sedangkan stimulus saluran cerna paling sering berupa impaksi fekal (konstipasi). Pemicu lainnya dapat berupa ulkus dekubitus, infeksi kuku, kegawatan abdomen, dan fraktur.[2,3]
Cedera medulla spinalis letak tinggi, yakni di level T6 atau di atasnya, menyebabkan gangguan modulasi supraspinal sehingga terjadi penurunan tonus simpatis di bawah level cedera. Reorganisasi sirkuit spinal dan plastisitas neuron preganglionic simpatis menyebabkan pembentukan sinaps aberans yang bisa menimbulkan refleks simpatis berlebihan terhadap berbagai noxious stimuli tersebut di atas.[2,3]
Munculnya Manifestasi Klinis Autonomic Dysreflexia
Aktivasi sistem saraf simpatis yang berlebihan akan disertai kompensasi dari sistem saraf parasimpatis. Aktivasi simpatis akan memunculkan hipertensi dan piloereksi. Hipertensi pada autonomic dysreflexia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah 20–40 mmHg di atas baseline.[2]
Kompensasi parasimpatis akan menyebabkan nyeri kepala, konstriksi pupil, kongesti sinus, dan bradikardia. Pada kasus autonomic dysreflexia yang serius, komplikasi dapat berupa aritmia, infark miokard, edema paru, kejang, perdarahan retina, dan perdarahan intrakranial.[2]
Pencegahan Episode Autonomic Dysreflexia pada Cedera Medulla Spinalis
Dokter perlu mencegah iritasi dan distensi vesika urinaria yang merupakan pemicu episode autonomic dysreflexia tersering. Pemasangan kateter bagi pria maupun wanita untuk mengosongkan vesika urinaria dan penjagaan kebersihan kateter diperlukan untuk mencegah episode autonomic dysreflexia.[4]
Injeksi toksin botulinum pada otot detrusor vesika urinaria dapat dilakukan untuk tata laksana inkontinensia urine pada kondisi neurogenic detrusor over-activity maupun detrusor-sphincter dyssynergia. Menurut studi, setelah injeksi toksin botulinum, subjek tidak mengalami episode autonomic dysreflexia selama kurang lebih 9 bulan.[4]
Nyeri dan iritasi di area kolorektal merupakan penyebab autonomic dysreflexia yang tersering kedua. Konstipasi, hemoroid, dan fisura ani sering ditemukan sebagai noxious stimuli. Untuk mencegah konstipasi, lakukan bowel program secara teratur.[4]
Aplikasi lidokain topikal di area rektum tidak terbukti sebagai pencegahan autonomic dysreflexia. Namun, intersphincteric anal block dengan lidokain terbukti bisa membatasi respons autonomic dysreflexia pada pasien yang akan menjalani prosedur anorektal.[4]
Wanita yang mengalami cedera medulla spinalis letak tinggi juga berisiko mengalami autonomic dysreflexia saat persalinan. Bila level cedera medulla spinalis di atas T10, kontraksi uterus sering dirasakan sebagai perasaan tidak nyaman di abdomen, yang diikuti dengan peningkatan spastisitas dan timbulnya episode autonomic dysreflexia. Pemberian anestesi adekuat diperlukan saat persalinan. Anestesi epidural dilaporkan sebagai pilihan terbaik untuk pencegahan autonomic dysreflexia saat persalinan.[4]
Manajemen Episode Autonomic Dysreflexia pada Cedera Medulla Spinalis
Autonomic dysreflexia memerlukan tata laksana segera untuk menghilangkan faktor pemicu dan menurunkan tekanan darah.[2,4]
Manajemen Nonfarmakologis untuk Autonomic Dysreflexia
Episode autonomic dysreflexia akan mengalami perbaikan bila noxious stimuli yang memicu segera diatasi. Bila tekanan darah sulit dikendalikan, lakukan perawatan di rumah sakit untuk pengawasan lebih intensif sekaligus mencari faktor pemicunya.[2,4]
Pengukuran tekanan darah dan pemantauan gejala harus segera dilakukan saat pasien menunjukkan gejala. Langkah pertama adalah memposisikan pasien duduk tegak dan melonggarkan pakaian yang ketat. Posisi duduk tegak dapat memfasilitasi penurunan tekanan darah melalui redistribusi darah secara hidrostatik ke ekstremitas bawah. Langkah selanjutnya, identifikasi dan atasi faktor pemicu. Pemeriksaan fisik awal yang dilakukan adalah identifikasi ada tidaknya distensi vesika urinaria.[2,4]
Pasang kateter urine bila belum terpasang. Sebelum pemasangan, aplikasikan gel lidokain 2%. Bila kateter urine sudah terpasang tetapi ada distensi vesika urinaria, periksa apakah ada obstruksi kateter. Bila ada obstruksi, irigasi kateter dengan cairan saline yang bersuhu sama dengan suhu tubuh dalam jumlah kecil secara berhati-hati. Bila distensi vesika urinaria merupakan faktor pemicu, tekanan darah akan segera kembali ke awal setelah distensi teratasi.[2,4]
Bila tekanan darah tetap tinggi (sistolik >150 mmHg), terapi farmakologis dapat dimulai bersamaan dengan identifikasi ada tidaknya impaksi fekal. Sebelum prosedur evakuasi feses, oleskan gel lidokain 2% di area rektum. Bila tidak ada impaksi fekal, identifikasi kemungkinan faktor pemicu lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.[2,4]
Manajemen Farmakologis untuk Autonomic Dysreflexia
Beberapa ahli berpendapat bahwa captopril dapat digunakan sebagai terapi lini pertama dalam tata laksana autonomic dysreflexia. Pemberian captopril 25 mg peroral dapat menurunkan tekanan darah secara aman dan efektif pada 4 dari 5 pasien autonomic dysreflexia. Captopril dapat diberikan secara sublingual untuk mempercepat onset kerjanya.[1,5]
Nifedipine kadang digunakan sebagai opsi. Namun, belum banyak studi klinis mengenai efektivitas dan keamanannya pada autonomic dysreflexia. Nifedipine tersedia dalam bentuk tablet 10 mg, yang dikonsumsi dengan cara dikunyah terlebih dahulu untuk mempercepat onset kerja. Nifedipine dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara drastis, sehingga konsumsi secara sublingual tidak dianjurkan dan tekanan darah harus dipantau berkala.[1,6]
Prazosin memiliki efek terhadap fungsi jantung dan tekanan darah yang lebih minimal, sehingga lebih aman digunakan pada pasien cedera medulla spinalis dengan hipotensi kronis. Prazosin tersedia dalam bentuk tablet, dengan dosis awal sekitar 0,5–1 mg yang diberikan 2–3 kali sehari.[4]
Kesimpulan
Autonomic dysreflexia terjadi setelah cedera medulla spinalis karena terganggunya refleks saraf simpatis terhadap noxious stimuli. Hal ini menyebabkan hipertensi akut dan tidak terkontrol, yang dapat berujung pada infark miokard, edema paru, perdarahan intrakranial, dan kematian. Kondisi ini merupakan suatu kegawatdaruratan.
Identifikasi dan manajemen noxious stimuli yang memicu episode autonomic dysreflexia merupakan tata laksana utama. Noxious stimuli yang paling sering menjadi pemicu adalah distensi vesika urinaria dan impaksi fekal. Apabila tata laksana nonfarmakologis tidak berhasil mengatasi episode, terapi farmakologis dapat diberikan. Namun, studi lebih lanjut untuk menentukan terapi farmakologis atau kombinasi yang paling efektif untuk autonomic dysreflexia masih dibutuhkan.