Lessons Learned From a COVID-19 Dog Screening Pilot in California K-12 Schools
Glaser CA, Marchand CE, Rizzo K, et al. JAMA Pediatrics. 2023 April 24. DOI: 10.1001/jamapediatrics.2023.0489
Abstrak
Latar belakang: Departemen Kesehatan Masyarakat California mendukung program tes antigen COVID-19 berbasis sekolah di seluruh wilayah bagian California. Meskipun efektif, program ini membutuhkan alat, sumber daya manusia, dan waktu untuk mengambil sampel, serta menimbulkan sampah medis.[1]
Anjing yang terlatih untuk mengenali aroma sebagai skrining COVID-19 merupakan strategi yang cepat, tidak invasif, hemat biaya, dan ramah lingkungan. Program skrining COVID-19 dengan anjing terlatih ini menjadi pelengkap dari program tes antigen COVID-19 di sekolah.[1]
Tujuan: Mempelajari pengalaman skrining COVID-19 menggunakan anjing terlatih di sekolah K-12 (taman kanak-kanak sampai kelas 12) California.[1]
Metode: Peneliti bekerja sama dengan Early Alert Canines untuk melatih 2 anjing agar dapat mengidentifikasi senyawa organik, mudah menguap atau volatile organic compounds (VOCs), yang dihasilkan oleh penderita COVID-19. Studi diagnostik ini telah disetujui oleh California’s State Committee for the Protection of Human Subjects.[1]
Pada hari swab antigen COVID-19 yang telah dijadwalkan, subjek satu sama lain dengan jarak 6 kaki (sekitar 1,8 meter). Kemudian, anjing terlatih yang dipandu oleh pawangnya, mengendus pergelangan kaki (ankle) dan kaki subjek. Anjing terlatih akan duduk jika mendeteksi infeksi COVID-19 potensial pada subjek. Seluruh subjek diminta mengalihkan pandangan dari anjing, untuk melindungi kerahasiaan subjek.[1]
Setelah sesi skrining oleh anjing terlatih, semua subjek diperiksa swab antigen COVID-19. Hasil swab antigen dan deteksi anjing terlatih dicatat. Peneliti menilai sensitivitas dan spesifisitas deteksi infeksi COVID-19 anjing terlatih dengan membandingkan hasil swab antigen.[1]
Apabila hasil swab antigen negatif tetapi anjing mendeteksi hasil positif, maka disebut positif palsu. Sebaliknya, apabila hasil swab antigen positif tetapi anjing mendeteksi hasil negatif, maka disebut negatif palsu.[1]
Hasil: Penelitian ini melibatkan 1.558 subjek berusia 5‒18 tahun. Secara keseluruhan, hasil deteksi anjing terlatih dan swab antigen ada 3.897 yang kemudian dianalisis. Anjing terlatih berhasil mendeteksi 85 dan mengesampingkan 3.411 infeksi COVID-19 (akurasi keseluruhan mencapai 90%).[1]
Dari 383 sampel yang memperoleh hasil positif pada antigen, 18 sampel gagal dideteksi oleh anjing terlatih. Anjing terlatih memiliki sensitivitas 83% (95% CI, 75%-90%) dan spesifisitas 90% (95% CI, 89%-91%).[1]
Kesimpulan: Skrining infeksi COVID-19 dapat dilakukan dengan anjing terlatih, oleh karena akurasinya yang baik. Meskipun demikian, skrining COVID-19 dengan anjing terlatih dapat dipengaruhi oleh gangguan dari suara, anak usia muda, angin, dan bau lain, yang dapat memengaruhi sensitivitas dan spesifisitas.[1]
Ulasan Alomedika
Penelitian ini berusaha menentukan ketepatan anjing terlatih dalam mendeteksi infeksi COVID-19, tetapi terdapat masalah etika dan metodologis yang serius dengan penelitian ini.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini mendeteksi dilakukan pada subjek secara langsung, di mana metode ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang meneliti kemampuan anjing terlatih untuk mendeteksi infeksi COVID-19 pada spesimen. Penelitian sebelumnya dilakukan pada setting laboratorium, dengan faktor pengganggu dapat dikontrol, seperti kebisingan dan bau lain.[2-4]
Grandjean et al mengemukakan rasio kesuksesan setiap anjing dalam mendeteksi infeksi COVID-19 dari spesimen keringat aksila pada setting laboratorium mencapai 76‒100%. Sementara, penelitian oleh Angeletti et al menggunakan anjing terlatih untuk mendeteksi COVID-19 dari spesimen keringat aksila dengan hasil yang reliabilitas signifikan (p<0,0001).[3,4]
Namun, belum ada data/bukti ilmiah yang menjelaskan bagaimana performa anjing dalam mendeteksi sesuatu (dalam hal ini infeksi COVID-19) yang sebelumnya selalu dilakukan di setting laboratorium kemudian dilakukan di setting lapangan (seperti pada penelitian pada jurnal ini).
Risiko Context Shift Effect Akibat Anjing Berpindah Lokasi:
Anjing yang dilatih untuk mendeteksi senyawa organik mudah menguap dapat mengalami context-shift effect. Para ahli menyebutkan bahwa senyawa organik mudah menguap kadang memiliki profil yang sama satu sama lain, yang dipengaruhi oleh prosedur pengumpulan sampel atau hewan yang menjadi vektor penyakit.
Selain itu, studi sebelumnya menyebutkan bahwa sensitivitas anjing dalam mendeteksi kanker paru pada pasien menurun dan terjadi positif palsu ketika anjing berpindah rumah sakit.[5]
Risiko Persamaan Profil Virus sebagai Senyawa Organik Mudah Menguap:
Penelitian Steppert et al menyebutkan bahwa SARS-CoV-2 memiliki profil senyawa organik mudah menguap yang berbeda daripada influenza, meskipun jenisnya tidak terdeteksi secara spesifik. Oleh karena itu, penelitian ini menyebutkan bahwa anjing dapat mendeteksi perbedaan infeksi COVID-19 dengan influenza.[7]
Namun, masih diperlukan penelitian lebih lanjut terkait kemampuan anjing membedakan infeksi COVID-19 dengan infeksi virus lainnya (selain influenza). Saat ini, memang belum diketahui atau belum ada penelitian apakah deteksi SARS-CoV-2 oleh anjing dapat dibedakan dengan infeksi virus lainnya, seperti virus H9N2, H6N2 dan H1N1.[6]
Risiko Positif Palsu Akibat Peningkatan Hormon:
Diasumsikan bahwa kemampuan deteksi COVID-19 oleh anjing dipengaruhi oleh level luteinizing hormone (LH) dalam tubuh, alih-alih oleh virusnya sendiri. Terdapat bukti bahwa pria yang terinfeksi COVID-19 mengalami peningkatan level LH secara signifikan. Hal ini yang diduga menjadi dasar peningkatan positif palsu pada wanita yang sedang ovulasi (level LH tinggi), dan ini tidak dapat diuji dalam penelitian pada anak sekolah.[3,8]
Risiko Infeksi pada Anjing:
Selain kendala teknis di atas, terdapat masalah etik terkait transmisi infeksi COVID-19 ke hewan. Anjing peliharaan secara signifikan lebih berisiko positif COVID-19 bila tinggal bersama manusia yang terinfeksi COVID-19, walaupun umumnya tidak bergejala. Studi membuktikan anjing yang terinfeksi COVID-19, baik pada anjing tua maupun anjing dengan penyakit, tidak mengalami gejala.
Reseptor angiotensin-converting enzyme tipe 2 (ACE2) pada anjing memiliki 83% kesamaan dengan manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan anjing bisa menjadi agen perantara penularan COVID-19 ke manusia.[9]
Etika Penelitian pada Usia Anak:
Sebelum mengikuti penelitian ini, peneliti telah memperoleh persetujuan dari subjek sendiri atau penanggungjawab subjek. Subjek/penanggung jawab yang tidak memberikan persetujuan tidak diikutsertakan dalam penelitian.
Namun, mengingat jangka waktu saat penelitian ini dilakukan, di mana beberapa sekolah mengecualikan anak-anak yang orang tuanya menolak vaksinasi, booster atau keharusan memakai masker, tidak jelas apakah persetujuan mungkin dipaksakan dengan mengeluarkan dari sekolah anak-anak yang walinya menolak untuk berpartisipasi.
Selain itu, populasi anak merupakan populasi rentan, sehingga perlindungan mereka dalam hal kesehatan, sosial, dan emosional merupakan prioritas. Dalam hal penelitian dengan populasi anak, data dan bukti ilmiah terkait efikasi dan keamanan perlakuan, tindakan atau terapi medis sesuai usia harus terjamin.
Penelitian deteksi COVID-19 di setting lapangan ini belum pernah dilakukan pada populasi dewasa sebelumnya, dan seharusnya tidak perlu dilakukan pada anak-anak. Memilih melakukan penelitian ini pada anak-anak, yang memiliki risiko infeksi COVID parah paling rendah, adalah tidak etis.
Selain itu, anjing pelacak lebih sering digunakan dalam masyarakat kita untuk mendeteksi narkoba dan bom, sehingga memiliki konotasi yang sangat negatif dan kemungkinan akan berkontribusi pada stigmatisasi pada anak-anak.
Ulasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang disajikan oleh penulis memberi kesan anjing dapat mendeteksi infeksi COVID-19 secara akurat, di mana data ini menyesatkan. Anjing menunjukkan 468 anak-anak memiliki COVID-19, tetapi pada hasil swab antigen hanya 85 yang dinyatakan positif. Artinya, kemungkinan besar anak-anak yang terdeteksi oleh anjing tidak mengidap COVID-19 (positif palsu).
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini memiliki kebaruan dari segi metode bila dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, di mana penelitian ini dilakukan di setting lapangan dengan menghidu pada bagian tubuh subjek secara langsung, tidak di setting laboratorium.
Limitasi Penelitian
Peneliti sendiri mengakui bahwa akurasi deteksi infeksi COVID-19 oleh anjing terlatih dapat terganggu oleh beberapa faktor, seperti suara, anak usia muda, angin, dan bau lainnya. Kelemahan lain dari metode deteksi dengan anjing terlatih adalah adanya pengaruh perubahan biokimia di tubuh manusia yang dapat mengarah pada hasil positif palsu.
Selain hanya menggunakan dua anjing terlatih, penelitian ini melibatkan subjek anak dan remaja yang secara umum merupakan populasi yang berisiko rendah terinfeksi COVID-19. Apabila mereka terinfeksi COVID-19 pun sebagian besar tidak mengalami gejala ataupun mengalami gejala derajat ringan.
Gangguan suara, bau, angin, serta kegaduhan anak (misalnya akibat respon takut terhadap anjing) tidak dapat dikontrol dan dihindarkan pada penerapannya di lapangan. Semua hal tersebut merupakan limitasi penelitian yang membuat penelitian ini kurang relevan untuk diterapkan saat ini.[11,12]
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Anjing pendeteksi COVID-19 tidak boleh dipertimbangkan untuk digunakan di Indonesia, karena cara ini tidak akurat di mana rasio ketepatan dan positif palsu adalah 1:20 anak. Selain itu, anjing pelacak lebih sering dihubungkan dengan kondisi negatif dan menyeramkan, seperti pencarian narkoba atau bom.
Ada masalah etika dan metodologis yang serius dengan penelitian ini. Penelitian ini seharusnya tidak dilakukan pada anak-anak, populasi berisiko rendah untuk infeksi COVID-19 gejala berat. Seharusnya, penelitian dilakukan pada populasi dewasa dengan risiko tinggi COVID-19, misalnya tenaga kesehatan, lansia, atau orang dewasa di tempat padat (penjara).
Risiko stigmatisasi pada anak-anak di sekolah juga tinggi. Anak-anak yang terdeteksi COVID-19 oleh anjing akan diketahui oleh teman-temannya, karena mereka dibawa pergi untuk swab antigen dan diisolasi hingga hasil keluar. Oleh karena itu, sangat mungkin bagi anak untuk merasa malu, dikucilkan, atau bahkan di-bully.
Hal lain yang perlu dikhawatirkan adalah publikasi penelitian ini oleh jurnal pediatrik terkenal, yang ditinjau oleh rekan sejawat tanpa ada masalah yang diangkat. Jadi, publikasi ini penting untuk dibaca agar dokter dan peneliti berlatih mempertanyakan (pada diri sendiri) apakah penelitian yang mereka lakukan itu etis, terutama bila menyangkut kelompok rentan, dan menyadari bahwa penelitian tidak boleh dilakukan pada anak-anak jika dapat dilakukan pada dewasa. Pesan lainnya adalah dokter harus kritis terhadap penelitian yang dipublikasikan, walaupun ada di jurnal terkenal.