Botulinum Toxin dalam Bidang Estetika: Mitos dan Bukti

Oleh :
dr.Megawati Tanu

Penggunaan botulinum toxin tipe A atau BoNT-A di bidang estetika meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir, termasuk juga perkembangan berbagai formulasi baru yang dikatakan memiliki efikasi lebih baik. Akan tetapi, beberapa pernyataan mengenai  perbedaan antar formulasi BoNT-A masih belum didasari oleh bukti klinis yang kuat.[1]

Penggunaan BoNT-A dalam bidang estetika umumnya bertujuan untuk mengatasi garis glabellar, garis periorbital dan perioral, platysma, garis leher horizontal, dan masseter. Tiga formulasi BoNT-A yang disetujui di Amerika Serikat untuk indikasi estetika adalah abobotulinumtoxinA (Dysport), Botox, and incobotulinumtoxinA (Xeomin). Formulasi ini saling berbeda dalam hal unit dosis (tidak interchangeable). Di Eropa dan Asia, terdapat juga bermacam formulasi lain.[1]

Young,Asian,Woman,Making,Cosmetology,Treatment,Skin,Injection,,Mesotherapy,Of

Adanya dosis yang bervariasi antar formulasi dan adanya marketing yang agresif sering menyebabkan timbulnya persepsi bahwa satu formulasi lebih baik daripada yang lain. Artikel ini bertujuan untuk mengulas bukti klinis yang ada dan menyingkirkan mitos yang tidak tepat terkait botulinum toxin tipe A.[1]

Apakah Produk Botulinum Toxin Tipe A yang Berbeda Memberikan Hasil Berbeda

Uji klinis acak terkontrol yang dirancang dengan baik untuk membandingkan produk BoNT-A pada setting klinis yang riil masih tergolong sedikit. Banyak uji klinis BoNT-A dilakukan pada kondisi ‘artifisial’ di mana dosis, interval, dan lokasi sudah baku. Studi komparatif juga masih terbatas karena konsensus mengenai rasio konversi produk masih kurang dan ada banyak variabel perancu seperti dilusi, penempatan, dan seleksi pasien.[1,2]

Terdapat beberapa studi yang menunjukkan bahwa efikasi Botox lebih unggul daripada Dysport untuk mengurangi kerutan. Namun, ada juga studi yang menunjukkan hasil sebaliknya. Inkonsistensi ini menimbulkan keraguan, terutama karena ada studi yang menunjukkan bahwa hasil Botox maupun Dysport sebenarnya tidak berbeda signifikan secara statistik.[1]

Untuk saat ini, analisis berbagai studi yang ada menunjukkan bahwa keunggulan salah satu produk botulinum toxin tipe A dibandingkan produk yang lain belum didukung bukti secara pasti. Apalagi bila dosis unit yang digunakan dalam perbandingan tidak benar ekuivalen (rasio dosis unit lebih dari 2 atau 2.5:1). Bila dosis unit tidak ekuivalen, maka berarti kuantitas BoNT-A yang digunakan juga tidak ekuivalen, sehingga perbandingan tidak akurat.[1,3]

Apakah ada Pengaruh dari Perbedaan Profil Difusi Botulinum Toxin Tipe A

Difusi mengacu pada dispersi kinetik toxin ke arah luar tempat injeksi akibat pengaruh teknik injeksi, volume, kecepatan, dan sudut penyuntikan. Difusi dapat tidak merata, tergantung pada densitas reseptor pada area target. Namun, berdasarkan studi klinis yang ada, tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa beban protein memengaruhi proses difusi.[1,4]

Difusi BoNT-A tergantung pada komponen pengikat aktif pada reseptor target, ujung saraf, atau permukaan kelenjar sebasea dan ekrin. Jenis kulit, lokasi anatomi, jumlah reseptor dan aktivitas kelenjar juga penting untuk menentukan efek toxin dibandingkan kedalaman injeksi dan konsentrasi. Kecepatan difusi diduga sama untuk semua produk BoNT-A karena inti neurotoxin yang bertanggung jawab untuk efek terapeutik memiliki massa yang sama (150 kDa).[4]

Perbandingan difusi Botox (0.25 unit), Dysport (1.0 unit), dan Xeomin (0.25 unit) pada percobaan hewan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada hasil difusi. Formulasi BoNT-A tidak berbeda dalam hal penyebarannya ke otot yang berdekatan.[1]

Rasio perbandingan 2:1 (Dysport:Botox) memiliki efek yang ekuivalen secara statistik untuk efek otot dan anhidrosis. Pada rasio dosis 2.5:1, Dysport menunjukkan area yang lebih luas dan diameter horizontal yang lebih luas untuk efek anhidrotik dibandingkan Botox. Hal ini mendukung hipotesis bahwa dosis merupakan faktor terpenting yang memengaruhi ukuran dan luas efek toxin. Selain itu, area tubuh yang berbeda mungkin memerlukan dosis BoNT-A yang berbeda untuk mendapatkan efek klinis.[1]

Apakah Protein Load Botulinum Toxin Tipe A Penting Secara Klinis

Secara teori, protein pengompleks dapat membatasi pergerakan dan difusi BoNT-A dari jaringan target. Terdapat spekulasi awal bahwa protein terkait mungkin berperan dalam stabilisasi neurotoxin dalam vial atau mengurangi difusi setelah injeksi dilakukan tetapi hal ini tidak benar. Munculnya produk bebas protein kompleks (Xeomin) menunjukkan bahwa protein terkait tidak diperlukan untuk stabilitas produk.[1]

Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa kompleks progenitor toxin terdisosiasi saat pengenceran produk di dalam vial, bukan pada injeksi. Namun, perbedaan ukuran kompleks dan kandungan protein dalam terapi estetika masih belum jelas dan masih memerlukan studi lebih lanjut.[1,5]

Apakah Antibodi Neutralizing Menyebabkan Kegagalan Perawatan Estetika

Terdapat spekulasi bahwa kandungan protein dapat meningkatkan risiko terbentuknya Neutralizing Antibody (NAbs), yang melemahkan efektivitas terapi Botox.[1,6,7]

Terbentuknya NAbs relatif jarang terjadi pada formulasi BoNT-A kontemporer karena produk tersebut dihubungkan dengan produksi antibodi yang terdeteksi sangat rendah, terutama bila digunakan pada dosis rendah untuk estetika. Tingkat pembentukan NAb Dysport beragam, yaitu 0% pada garis glabellar hingga kurang dari 3% pada distonia servikal. Sementara itu, tingkat pembentukan NAb Xeomin adalah 1,1% sepanjang program pengembangannya.[1]

Studi menunjukkan bahwa imunogenisitas BoNT-A secara umum dan pada dosis yang digunakan untuk indikasi estetika tidak menghasilkan tingkat pembentukan NAb yang signifikan secara klinis.[1]

Non-responsivitas sekunder adalah kondisi di mana pasien mendapatkan efek positif dari injeksi pertama, tetapi menurun atau tidak berefek pada injeksi berikutnya. Namun, hubungan pembentukan NAb dengan respons klinis belum jelas. Beberapa pasien menunjukkan Nab positif tetapi masih responsif, sedangkan beberapa pasien secara klinis tidak responsif terhadap BoNT-A tetapi tidak memiliki NAb yang terdeteksi.[1,6]

Berikut kondisi lain yang perlu dipertimbangkan sebagai penyebab kurangnya respons klinis, yaitu: perubahan aktivitas otot (karena perkembangan penyakit), dosis yang tidak memadai, kegagalan identifikasi dan injeksi otot secara akurat, kesulitan menarget otot yang dituju, dan yang paling penting, perubahan ekspektasi pasien.[1,6]

Upaya untuk meminimalkan terbentuknya NAb adalah menggunakan produk dengan dosis minimal, menghindari suntikan booster tambahan, mengurangi dosis suntikan tunggal, dan melakukan suntikan dengan interval minimal 3 bulan.[7]

Apakah Pengaruh dari Larutan Rekonstitusi

Mayoritas formulasi BoNT-A disimpan dalam bentuk bubuk yang dilarutkan dengan larutan garam steril yang tidak diawetkan, sesuai anjuran produsen. Namun, studi saat ini menunjukkan bahwa rekonstitusi dengan menggunakan larutan garam steril yang diawetkan dapat meningkatkan kenyamanan pasien dari segi rasa nyeri (dinilai dengan Visual Analog Scale) tanpa mengurangi kemanjuran terapi.[1,4]

Pasien melaporkan penurunan rasa nyeri yang signifikan saat diberikan injeksi dengan rekonstitusi larutan garam steril yang diawetkan dibandingkan larutan garam steril yang tidak diawetkan.[8]

Besarnya Volume Rekonstitusi

Setiap praktisi menggunakan volume rekonstitusi (pengenceran) BoNT-A yang berbeda. Contohnya, spesialis okuloplastik biasanya menggunakan sekitar 1 mL/100 unit Botox, sedangkan dokter kulit dan bedah plastik umumnya menggunakan pengenceran 1-5 mL/100 unit.[1]

Volume pengenceran yang lebih tinggi menghasilkan blok neuromuskular yang lebih besar dan pengurangan spastisitas serta kontraksi yang lebih besar. Namun, umumnya perbedaan besarnya volume ini tidak berpengaruh signifikan dalam bidang estetika. Terdapat perbedaan luas ‘wheal’ diameter injeksi, tetapi hal ini berkaitan dengan sudut injeksi dan tidak signifikan secara klinis.[1,9]

Bagaimana Protokol Perawatan Setelah Injeksi Botulinum Toxin Tipe A

Beberapa praktisi menganjurkan untuk menghindari berbaring selama 6 jam untuk mencegah kemungkinan penyebaran racun dan terjadinya ptosis. Namun, tidak ada bukti bahwa mengubah posisi horizontal atau menundukkan kepala bisa memengaruhi kejadian ptosis atau difusi toksin ke kelopak mata. Sebagian BoNT-A berada dalam vesikel sinaptik otot 5-10 menit setelah proses pengikatan.[1]

Beberapa manuver seperti massage otot dan meratakan “benjolan” pascainjeksi (teknik injeksi subdermal) diduga dapat meningkatkan penyerapan dan penyebaran toxin. Namun, beberapa penulis menyarankan untuk berhati-hati saat melakukan massage otot karena dapat terjadi difusi yang menyebabkan munculnya procerus dan bunny line.[1]

Aplikasi es (pendinginan) pascainjeksi menyebabkan vasokonstriksi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri dan pembengkakan, mengurangi keluarnya cairan dan memar, serta mengatasi crow’s feet infraorbital. Namun, apakah pendinginan memengaruhi penyerapan BoNT-A masih belum jelas.[1]

Kesimpulan

Botulinum toxin tipe A (BoNT-A) adalah perawatan estetika yang terkenal dan sudah digunakan sejak lama dengan beragam formulasi yang terus berkembang. Karena perbandingan dosis yang tidak tepat antara berbagai formulasi dan adanya kampanye marketing yang kuat, timbul berbagai mitos dan kesalahpahaman tentang penggunaan BoNT-A untuk indikasi estetika.

Saat ini tidak ada bukti kuat yang menunjukkan perbedaan yang signifikan secara klinis antar produk BoNT-A kontemporer, baik dalam hal imunogenisitas atau medan efek, jika dilakukan perbandingan berdasarkan data yang tepat dan benar. Timbulnya NAb pasca perawatan estetika jarang terjadi dengan formulasi BoNT-A kontemporer, yang dikaitkan dengan tingkat deteksi NAb yang sangat rendah secara klinis. Hubungan NAb dan respons klinis masih belum jelas dan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Belum ada bukti kuat yang mendukung spekulasi bahwa protein load menghasilkan perbedaan difusi yang relevan secara klinis. Difusi lebih didominasi oleh pengaruh dosis. Rekonstitusi dengan larutan garam steril yang diawetkan dapat mengurangi rasa nyeri dan tidak mengurangi efikasi terapi.

Referensi