Interventions to improve retention-in-care and treatment adherence among patients with drug-resistant tuberculosis: a systematic review
Stephanie Law, Amrita Daftary, Max O'Donnell, Nesri Padayatchi, Liviana Calzavara, Dick Menzies
European Respiratory Journal Jan 2019, 53 (1) 1801030; DOI: 10.1183/13993003.01030-2018
Available from: https://erj.ersjournals.com/content/53/1/1801030.long
Abstrak
Latar Belakang: angka kasus loss to follow-up (LTFU) secara global pada tuberkulosis resistan obat cukup tinggi, yaitu 15%. Peneliti melakukan kajian literatur sistematis untuk menggali intervensi yang dapat mengurangi LTFU dalam pengobatan tuberkulosis resistan obat.
Metode: peneliti mencari studi yang diterbitkan antara Januari 2000 hingga Desember 2017 yang menyediakan berbagai bentuk dukungan psikososial maupun material untuk pasien dengan tuberkulosis resistan obat. Peneliti memberi estimasi untuk estimasi titik dan 95% confidence interval (CI) dari proporsi LTFU. Peneliti melakukan analisis subkelompok dan terkelompok (pooled) menggunakan exact binomial likehood approach.
Hasil: Terdapat 35 kelompok kohort tuberkulosis resistan obat dari 25 penelitian. Studi kohort yang menggunakan bentuk dukungan psikososial dan materi memiliki angka LTFU yang lebih rendah dibandingkan dengan pelayanan standar. Dukungan psikososial selama pengobatan, melalui sesi konseling atau kunjungan rumah, berhubungan dengan penurunan angka LTFU dibandingkan dengan dukungan yang diberikan melalui jumlah visitasi yang terbatas atau tidak sama sekali, dengan proporsi LTFU terkelompok sebanyak 8.4% (4.0 – 16.7%) dan 20.5% (15.2 – 27.0%), secara berurutan.
Kesimpulan: Hasil studi ini menyarankan pemberian dukungan psikososial sebaiknya diberikan selama pengobatan tuberkulosis resistan obat untuk mengurangi pengobatan lost to follow up. Studi ke depannya perlu menggali potensi dari pemberian terapi mandiri dengan dukungan psikososial selama fase lanjutan.
Ulasan Alomedika
Angka kematian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis multidrug resistant (TB MDR) dan rifampicin resistant (TB RR) per tahunnya mencapai 15% dari angka kematian tuberkulosis secara keseluruhan. TB MDR didefinisikan sebagai tuberkulosis yang resistan terhadap setidaknya rifampisin dan isoniazid. Data di Indonesia menunjukkan bahwa tahun 2014 kasus TB MDR ditemukan dari 2% kasus baru dan 12% kasus pengobatan ulang. [1]
Kondisi resistensi obat pada tuberkulosis juga menyebabkan pengobatan menjadi lebih sulit, mahal dan terjadi peningkatan tingkat terhentinya pengobatan atau lost to follow-up (LTFU) yang didefinisikan lebih dari 2 bulan tidak konsumsi regimen obat TB. Hal ini dapat berujung pada penurunan kualitas hidup pasien dan peningkatan transmisi penyakit. Sehingga, diperlukan intervensi untuk mengurangi kasus pengobatan LTFU.
Ulasan Metode Penelitian
Kajian sistematik ini mengambil sampel penelitian yang memberikan intervensi terhadap TB MDR/RR dalam bentuk bantuan psikologis, edukasi maupun materi yang mencantumkan hasil penelitiannya termasuk LTFU sebagai hasil primer. Hasil sekunder yang didapatkan adalah pengukuran lain yang terkait dengan kepatuhan berobat.
Ulasan Hasil Penelitian
Usaha yang telah dibuktikan berhubungan dengan penurunan kasus LTFU adalah dukungan konseling secara individual dan kunjungan rumah oleh pekerja kesehatan selama masa pengobatan (termasuk pada fase lanjutan), baik pasien dalam program DOT (directly observed treatment) maupun tidak. Peningkatan alokasi waktu tenaga kesehatan dalam memberikan intervensi dalam mendukung pengobatan TB ditemukan meningkatkan kepatuhan berobat.
Retention-in-care adalah program pelayanan kesehatan berkelanjutan untuk memastikan pengobatan yang digunakan pada penyakit-penyakit dengan pengobatan yang panjang. Studi ini membahas mengenai program retention-in-care yang efektif yang dapat meningkatkan kepatuhan minum obat pada pasien dengan TB resistan obat (TB MDR).
Alokasi dana untuk kompensasi finansial untuk transportasi dan kehilangan gaji akibat pengobatan dan program pendukungnya ditemukan efektif meningkatkan retention-in-care. Sebaliknya, alokasi dana yang bersifat berkelompok (contoh: konseling dalam keluarga atau orang sebaya) ditemukan tidak efektif. Namun, hal ini belum dapat dibuktikan dengan baik karena terdapat faktor perancu.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini melibatkan jumlah sampel yang relatif besar, yaitu 5114 pasien dari berbagai pusat penelitian dalam 25 studi. Dari 25 studi tersebut, 23 studi dilakukan pada negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi (terutama di Asia dan Afrika). Studi ini mampu memberikan gambaran terhadap usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan retention-in-care melalui dukungan psikososial, edukasi dan materi secara spesifik pada pasien tuberkulosis resistan obat.
Limitasi Penelitian
Keterbatasan studi terdapat pada deskripsi yang luas atau tidak spesifik terhadap intervensi yang diberikan. Dukungan edukasi dan psikososial sebagai salah satu intervensi tidak banyak dijelaskan dengan mendalam.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Studi ini memberikan gambaran bahwa dukungan secara moral maupun material terbukti berpengaruh terhadap kepatuhan berobat. Peningkatan kepatuhan berobat pasien tuberkulosis resistan obat ini diharapkan juga meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengurangi transmisi penyakit. Untuk itu, dukungan moral maupun material perlu dipertimbangkan untuk dimasukkan menjadi bagian dari program pemerintah untuk menangani tuberkulosis, baik sebagai bagian dari program DOT atau sebagai program yang berdiri sendiri.
Usaha pemberian dukungan psikososial yang terbukti meningkatkan kepatuhan berobat pada pasien tuberkulosis resistan obat diharapkan juga dapat diterapkan pada pasien tuberkulosis yang masih bisa menggunakan obat lini pertama. Selagi strategi ini belum menjadi program pemerintah, dokter sebaiknya secara mandiri menyediakan konseling individual dan kunjungan rumah oleh tenaga kesehatan selama masa pengobatan sebagai bagian dari strategi penanganan tuberkulosis paru di layanan kesehatan. Saat ini, teknologi sudah dikembangkan untuk membantu dan memantau pengobatan pasien.
Dukungan psikososial terhadap pasien tuberkulosis, baik tuberkulosis paru yang masih sensitif terhadap obat lini pertama, maupun TB MDR/RR, akan meningkatkan luaran klinis pasien dan juga dapat menurunkan tingkat beban ekonomi akibat tuberkulosis.