Kuretase tajam tidak lagi direkomendasikan untuk evakuasi intrauterin, terutama pada kasus abortus. Saat ini, metode aspirasi vakum manual (AVM) lebih dipilih karena lebih aman, efektif, dan terjangkau. Metode kuretase tajam tidak lagi direkomendasikan karena memiliki komplikasi yang tinggi, seperti pendarahan, nyeri, dan sindrom Asherman.[1,2]
Sekilas Mengenai Metode Evakuasi Intrauterin
Metode evakuasi intrauterin dapat digolongkan menjadi intervensi medikamentosa dan pembedahan. Mengingat keterbatasan intervensi medikamentosa, baik dari segi ketersediaan obat ataupun tidak semua kasus dapat ditangani dengan obat-obatan, maka metode pembedahan lebih sering digunakan.[2,3]
Teknik pembedahan yang umum dilakukan adalah kuretase tajam (dilatation & curettage atau D&C), aspirasi vakum elektrik (AVE), dan aspirasi vakum manual (AVM). Kuretase tajam dilakukan di ruang bedah dengan menggunakan anestesi total ataupun anestesi regional, sehingga pasien harus dirawat inap. Oleh karenanya, tindakan ini akan lebih memakan waktu dan biaya.[2,3]
Pemilihan metode evakuasi intrauterin dapat berdasarkan tingkat fasilitas kesehatan; keterampilan klinis operator; ketersediaan alat, perlengkapan, dan obat; kondisi klinis pasien; serta preferensi atau pilihan pasien. Dokter harus dapat menjelaskan kepada pasien terkait pilihan metode yang tersedia, disertai kelebihan dan risikonya.[1,4,5]
Risiko Komplikasi Tindakan Kuretase Tajam
Metode kuretase tajam memiliki risiko komplikasi intraprosedur yang besar, antara lain perforasi uterus, laserasi vagina, laserasi serviks, dan perdarahan postpartum pada kehamilan berikutnya.
Selain itu, kuretase tajam juga bisa memicu sindrom Asherman akibat pengelupasan lapisan basal endometrium yang akhirnya menyebabkan terjadinya jaringan parut intrauterin. Pasien dengan sindrom Asherman dapat mengalami amenorrhea, abnormalitas siklus menstruasi, nyeri panggul, abortus berulang, bahkan infertilitas.[1-5]
WHO pada tahun 2012, berdasarkan safe abortion technical and policy guideline 2nd ed, menyebutkan bahwa kuretase tajam atau D&C kurang aman dibandingkan dengan AVM dan jauh lebih menyakitkan bagi perempuan. Oleh karena itu, AVM harus menggantikan kuretase tajam. Angka komplikasi berat pada prosedur kuretase tajam 2‒3 kali lebih tinggi daripada AVM.[2]
Sementara itu, International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) pada tahun 2011 merekomendasikan untuk melakukan evakuasi hasil konsepsi dengan AVM atau obat-obatan, bukan dengan kuretase tajam, untuk meningkatkan keamanan dan kualitas layanan keguguran pada perempuan.[6]
Gambar 1. Rekomendasi WHO dan FIGO untuk Tidak Menggunakan Kuretase Tajam.[2,6]
Pedoman Aspirasi Vakum Manual di Indonesia
Pedoman nasional asuhan pasca keguguran yang komprehensif tahun 2020, yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI), menyatakan bahwa tata laksana operatif yang direkomendasikan untuk evakuasi hasil konsepsi adalah aspirasi vakum.[7]
Untuk evakuasi hasil konsepsi dengan ukuran uterus <13 minggu, dilakukan aspirasi vakum dengan aspirasi vakum manual (AVM). Untuk ukuran uterus 13 minggu atau lebih, dilakukan dilatasi dan evakuasi, yaitu AVM yang didahului dengan persiapan serviks. Persiapan serviks misalnya dengan misoprostol atau laminaria.[7]
Gambar 2. Rekomendasi AVM Berdasarkan Pedoman Kemenkes 2020.[7]
Secara umum, tidak ada kontraindikasi absolut untuk tindakan AVM. Namun, AVM tidak dilakukan jika ada kecurigaan kehamilan ektopik. Selain itu, perlu kewaspadaan khusus pada pasien dengan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), di mana AKDR harus dilepaskan sebelum prosedur dimulai.[7]
Di Indonesia, AVM umumnya ditanggung oleh BPJS. Hal ini karena AVM merupakan tindakan yang direkomendasikan oleh Kemenkes, dan juga harganya yang lebih murah, aspirator dapat digunakan berulang kali, serta tindakan tidak membutuhkan anestesi total.[2,7]
Aspirasi Vakum Manual sebagai Metode Evakuasi Intrauterin
Aspirasi vakum manual (AVM) saat ini lebih direkomendasikan untuk mengganti metode kuretase tajam, dalam proses evakuasi intrauterin seperti pada kasus abortus. AVM lebih dianjurkan untuk evakuasi intrauterin, terutama pada kasus abortus dengan ukuran uterus <13 minggu.[2,7]
Gambar 3. Risiko Kerusakan Endometrium Akibat D&C Dibandingkan Dengan Keamanan Endometrium pada AVM.[7]
Metode AVM menggunakan aspirator vakum portabel yang disambungkan dengan kanul plastik semi-fleksibel, dengan teknik kontrol nyeri menggunakan obat analgesik atau blok paraservikal. Metode AVM ini tergolong mudah untuk dilakukan, dapat dilakukan di ruang klinik maupun ruang tindakan, dan tidak membutuhkan penggunaan listrik.
AVM terdiri dari 2 bagian, yaitu aspirator dan kanul. Aspirator teruji klinis aman dan dapat digunakan hingga 25 kali. Sementara, kanul AVM tersedia dalam beberapa ukuran sesuai usia gestasi atau besar jaringan yang perlu dievakuasi, sehingga meminimalisir rasa tidak nyaman pada pasien.
Gambar 4. Alat Aspirasi Vakum Manual (AVM).[16]
Metode sterilisasi yang sederhana, seperti dengan menggunakan air mendidih, juga dapat menekan biaya yang digunakan dalam metode ini. Beberapa poin tersebut mendukung AVM yang lebih cost-effective daripada kuretase tajam.[5,8,9]
Risiko Komplikasi Tindakan Aspirasi Vakum Manual
Beberapa risiko komplikasi pasca prosedur AVM yang pernah dilaporkan adalah nyeri perut, perdarahan, dan infeksi. Namun, komplikasi tersebut dilaporkan lebih jarang terjadi pada AVM daripada metode kuretase tajam.[1,3]
Perbandingan Keamanan Kuretase Tajam dan Aspirasi Vakum Manual
Studi kohort retrospektif oleh Kakinuma et al melibatkan 404 pasien keguguran pada usia kehamilan 12 minggu. Studi ini menemukan pendarahan 100 mL pasca tindakan terjadi pada 3 pasien (2,4%) di kelompok kuretase tajam dan 1 pasien (0,6%) di kelompok AVM.[1]
Evakuasi inkomplit yang membutuhkan tindakan ulang dilaporkan terjadi pada 3 pasien (2,4%) di kelompok kuretase tajam dan 1 pasien (0,6%) di kelompok AVM. Komplikasi berat tidak dijumpai di kelompok manapun, tetapi subjek dalam studi ini sedikit sehingga kurang mampu untuk menilai tingkat komplikasi.[1]
Sementara itu, studi retrospektif oleh Sekiguchi et al menyertakan kasus aborsi yang jauh lebih besar (100.851 kasus aborsi). Tingkat komplikasi secara signifikan ditemukan lebih tinggi pasca kuretase tajam (0,6%) daripada pasca tindakan aspirasi vakum (0,1%). Komplikasi yang dilaporkan adalah evakuasi inkomplit, perforasi uterus, dan perdarahan berat.[10]
Studi prospektif juga telah dilakukan oleh El Ghafar et al, yang membagi 150 pasien abortus pada trimester pertama secara acak ke dalam tata laksana AVE, AVM, dan kuretase tajam (masing-masing 50 pasien). Hasil studi melaporkan komplikasi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kuretase tajam, baik komplikasi perforasi uterus, laserasi serviks, perdarahan pasca prosedur, lama perawatan di rumah sakit, dan evakuasi inkomplit.[11]
Studi kohort prospektif observasional di Indonesia melibatkan subjek 62 pasien yang secara acak dilakukan tindakan kuretase tajam dan AVM (masing-masing kelompok terdiri dari 31 pasien). Studi ini menyimpulkan bahwa AVM memiliki keunggulan dalam kebersihan sisa konsepsi, tetapi tidak bermakna secara statistik. Selain itu, AVM memiliki keamanan yang setara dengan kuretase tajam pada tingkat gejala infeksi dan komplikasi selama prosedur.[12]
Perbandingan Komplikasi Sindrom Asherman
Telah dijelaskan sebelumnya, sindrom Asherman adalah perlengketan endometrium pasca tindakan abortus, yang dapat menyebabkan nyeri panggul hingga infertilitas. Terkait perlindungan terhadap endometrium, Gilman et al meneliti terjadinya sindrom ini pada 884 pasien abortus aktif pada trimester pertama. Sindrom Asherman dikonfirmasi dengan kombinasi gejala klinis menstruasi dengan hasil histeroskopi.[13]
Hasil penelitian mencatat sindrom Asherman dialami oleh 6 dari 483 pasien (1,2%) yang ditangani dengan kuretase tajam saja atau dengan kombinasi kuretase tajam dan AVE. Sementara, tidak dijumpai adanya kasus sindrom Asherman pada pasien yang ditangani dengan AVM.[13]
Perbandingan Efisiensi/Biaya Kuretase Tajam dengan Aspirasi Vakum Manual
Studi oleh Kakinuma et al melaporkan durasi tindakan kuretase tajam adalah selama 7,2‒14,7 menit, sedangkan tindakan AVM selama 4,2‒11,2 menit. Oleh karenanya, AVM merupakan tindakan yang lebih cepat daripada kuretase tajam.[1]
Studi di atas menyimpulkan bahwa teknik AVM memiliki tingkat efisiensi dan keamanan yang hampir sama bila dibandingkan dengan metode kuretase tajam. Akan tetapi, studi observasional prospektif oleh Choobun et al melaporkan bahwa tata laksana abortus dengan metode AVM lebih praktis, aman, murah, dan menghemat waktu.[5]
Median pengeluaran untuk metode AVM adalah 54,67 US dollar, sedangkan pengeluaran untuk metode kuretase tajam mencapai 153,97 US dollar. Median durasi rawat inap pada kelompok AVM juga secara signifikan lebih singkat daripada kelompok kuretase tajam, yaitu 4 vs 20 jam. Selain itu, 90% pasien pada kelompok AVM hanya membutuhkan 1 kali kunjungan dibandingkan dengan 72,5% pada kelompok kuretase tajam.[5]
Suatu studi di Indonesia melaporkan bahwa rata-rata biaya per pasien dengan menggunakan D&C (Rp 3.988.000) lebih tinggi 1,5 kali daripada rata-rata biaya AVM (Rp 2.656.211). Selain itu, jumlah kunjungan yang lebih sedikit pasca AVM ini penting untuk kondisi di Indonesia, karena akses rumah sakit dan janji temu rawat jalan yang cukup sulit. Pasien seringkali memerlukan waktu satu hari kerja penuh hanya untuk kontrol ke rumah sakit.[14]
Analisis sistemik oleh Sihaloho et al mempelajari 12 penelitian mengenai biaya medis langsung per pasien dalam mengakses layanan evakuasi intrauterin. Hasil analisis menyimpulkan bahwa AVM cenderung memiliki biaya yang lebih rendah dan berpotensi menurunkan biaya yang signifikan jika dibandingkan dengan kuretase tajam.[15]
Kesimpulan
Sejumlah studi telah melaporkan bahwa metode aspirasi vakum manual (AVM) secara umum efektif dan aman untuk evakuasi intrauterin, dengan tingkat komplikasi yang rendah. Metode ini dapat menggantikan prosedur kuretase tajam yang memiliki risiko komplikasi lebih berat, seperti pendarahan, nyeri, dan sindrom Asherman. Kuretase tajam juga membutuhkan waktu dan biaya prosedur yang lebih besar.
AVM telah direkomendasikan oleh WHO, FIGO, POGI, serta Kementerian Kesehatan untuk evakuasi intrauterin usia kehamilan <13 minggu. Metode ini tergolong mudah dan praktis untuk dilakukan, serta tidak mengharuskan penggunaan anestesi total.
Metode AVM dapat dilakukan di ruang praktek ataupun ruang tindakan, dengan pengendalian nyeri menggunakan obat analgesik atau blok paraservikal. Tindakan AVM dapat menekan biaya operasional kesehatan terutama di rumah sakit, menurunkan lama rawat, dan 90% pasien tidak memerlukan janji kontrol sehingga akan menghemat waktu dan uang pasien.